Tanggungan Puisi II
Kubagikan resah dan kesedihanku kepada puisi, agar kelak
kubaca kembali dan kumengerti
Betapa mencintai adalah luka, dan luka adalah tentang kata
kata
Kubagikan cintaku adalah selalu tentangmu, dan tentang doa
yang patah berserakan sejak mulanya.
Betapa cinta asing untuk diimani, dan kau usang untuk
diingat kembali
(“Tuhan, apa aku jatuh
cinta sama dia aja ya?”)
Kubagikan pertanyaan itu pada puisi, sebab tanda tanya
ialah bodoh dan kepercayaanku hilang kendali
Betapa cinta adalah kaki kaki kursi yang patah dan ganjil
untuk diduduki
“Angel cantik.”
Kubagikan kebohongan pertama itu pada puisi sebab wajahku
asing dalam ingatanmu, dan sejak mulanya mataku bukan apa apa, dan air mata di
ujung bulu mataku adalah ketidakingintahuanmu.
“Angel habis nangis.
Kenapa?”
Kubagikan sekali lagi pada puisi sebab pertanyaan kenapa
selalu tidak ada wujudnya. Ia ghaib dan asing dalam banyak kosakata, begitupun
pada bibir dan ingatanmu.
“Kalau gue mau
nganterin lo pulang belakangan emang kenapa?”
“Jangan main apa. Panas”
“Gedungnya cantik ya?”
“Lo lucu pake bandana
itu”
Kubagikan kalimat itu sebab kita berdua lucunya selalu
asing pada kesepian ternyata. Kalimat kalimat murahan ternyata padan dengan
perasaan kita yang sia sia sejak mulanya. Perasaanku sebenarnya. Perasaanmu?
Siapa tahu?
“Lah emang lo laku?
Kayak ada yang mau aja sama lo”
“Jangan suka godain dia
kenapa?”
“Terus aja. Jalan sama
laki laki yang mana lagi?”
Kubagikan kebodohanku saat kupikir kalimat kalimat itu
karena kamu cemburu. Lucunya, kau marah waktu itu saat ada laki laki yang
mendekatiku. Kalau tidak salah, dua laki laki. Satu gugup saat kamu jawab semua
pertanyaannya tentangku seakan paling tahu. Satu gugup karena kamu bilang untuk
jangan menggangguku.
“Apaansih gue peka kok sama lo”
“Lo tuh nggak peka Ngel”
“Angel nanti mau punya anak namanya siapa?”
Kubagikan kalimat itu kepadamu, agar kelak kau baca, kau
mengerti betapa kalimat yang keluar dari mulutmu tanpa dipikir itu sungguh,
sungguh neraka
“Angel kalau nikah mau
hari apa?”
“Bagus dong bisa masak.
Jadi nanti kita nggak perlu beli.”
“Angel pakai baju putih
kayak pengantin”
Iya, bodoh bukan? Imajinasi anak kecilku dibangunkan oleh
kalimat yang tidak dipikirkan.
“Angel belajar mangkanya nyuapin gue”
“Kucing aja diurusin”
“Angel harus belajar coba, potongin kuenya”
“Angel paling suka es teh.”
“Angel tuh emang kayak gitu coba. One and only.”
“Angel kayak daging gelonggongan”
“Angel kalau gue nyebur ke danau, lo nyebur juga nggak?”
“Angel sedih karena filmya tentang keluarga kan?”
“Jadi maksudnya Angel tuh gini..”
“Angel kukunya doang yang cantik”
“Iyalah, Angel sekarang cantik”
“Angel, kapan kapan nonton teater yuk”
“Lo tuh nggak bisa banget dibilangin ya?
“Oh gitu jadi bisa sakit tapi nyuekin satu orang doang
bisa?”
“Mangkanya, kalau pulang hatinya tenang”
“Nggak ada arti bukan berarti nggak berarti”
“Gue tuh lebih emosional dari ini.”
“Kalau gue nggak kayak gii, lo nggak bakal liat gue lagi
sekarang”
“Gue nggak suka kalo lo dikatain ya gajelas”
“Angel kamu mau makan apa jalan kaki aja sih?”
“Angel nggak kayak gitu. Lo aja lebay”
“Gue aja lebih inget apa yang lo omongin daripada lonya
sendiri”
“Gue bahkan lebih kenal lo dari lo kenal diri lo sendiri”
“Kalau emang passion lo di situ, ya jalanin.”
“Bisa nggak sih nggak usah nyolot?”
“Minta maaf dengan dasar apa?”
“Gue nggak ngerti sama puisi lo”
“Iya bikinnya sambil nyolot. Bagus kan hasilnya?”
“Pamer”
“Maaci”
“Gue nangis kalau lagi marah.”
“Gue nggak apa apa kalo dihina, tapi jangan sampe gue
denger orang yang gue sayang, orang tua gue yang dikatain”
“Kayaknya dia berubah deh, jadi lebih gampang dibilangin”
“Iya gue suka banget sama dia. Itu sih gue kejar”
“Gue suka sama yang ini itu udah lama.”
“Long and complicated story, Ngel. Lo gatau aja”
“Angel benci sama gue?”
“Gestur lo aja benci sama gue”
“Asal dia bahagia. Gue turutin maunya apa.”
“Habis nangis ya?”
“Kasarnya, Ngel. Dia begini ke gue juga gara gara lo”
“Harusnya yang sakit hati dia, bukan lo. Dia begini ke gue
gara gara nggak mau nyakitin orang yang suka sama gue. Kasarnya dia begini ke
gue, juga gara gara lo”
“Bisa jadi dia begitu ke lo karena kasihan kepingin gue
berubah, akhirnya suka ke lo”
“Lo nggak boleh sakit hati ke dia, dia mikirin lo”
"Alasan pertama, dia masih ada urusan yang belom selesai sama dia. Kedua dia nggak mau nyakitin orang yang suka sama gue."
"Enak ya bisa nangis."
"Biar lo tau Ngel, nggak cuma lo yang ngerasain kayak gini"
"Alasan pertama, dia masih ada urusan yang belom selesai sama dia. Kedua dia nggak mau nyakitin orang yang suka sama gue."
"Enak ya bisa nangis."
"Biar lo tau Ngel, nggak cuma lo yang ngerasain kayak gini"
“Lo bisa nggak sih suaranya alusin. Lo ngomong sama abang
lo kasar begini lo pikir kuping gue nggak sakit?
“Lo cuma mikirin perasaan dia Ngel. Lo nggak mikirin
perasaan gue”
“Lo adore sama dia, beda”
“Gue cuma pengen dia bahagia.”
“Segitunya gue nggak cocok sama dia?”
“Cobain deh eh tapi jangan deh mungkin nanti lo iris leher”
“Lo nggak peduli sama gue”
Kubagikan ini pada puisiku, agar kau baca. Seandainya bisa,
terkasih. Semua pertanyaan dalam kalimat kalimat di atas, kamu jawab sendiri.
Sisanya, memang tanggungan puisi ini. Bukan lagi tanggunganmu
P.S iya terkasih jika iris leher nggak dosa, dan sanggup memberikan bahagia untukmu. sudah kulakukan sejak jam dua pagi itu. maaf karena saya ada. maaf karena saya pernah ada. maaf karena saya kamu nggak bahagia. maaf
0 komentar: