Your Laughter - Pablo Neruda

04.52 Pohon Belimbing 0 Comments

Take bread away from me, if you wish,
take air away, but
do not take from me your laughter.

Do not take away the rose,
the lance flower that you pluck,
the water that suddenly
bursts forth in joy,
the sudden wave
of silver born in you.

My struggle is harsh and I come back
with eyes tired
at times from having seen
the unchanging earth,
but when your laughter enters
it rises to the sky seeking me
and it opens for me all
the doors of life.

My love, in the darkest
hour your laughter
opens, and if suddenly
you see my blood staining
the stones of the street,
laugh, because your laughter
will be for my hands
like a fresh sword.

Next to the sea in the autumn,
your laughter must raise
its foamy cascade,
and in the spring, love,
I want your laughter like
the flower I was waiting for,
the blue flower, the rose
of my echoing country.

Laugh at the night,
at the day, at the moon,
laugh at the twisted
streets of the island,
laugh at this clumsy
boy who loves you,
but when I open
my eyes and close them,
when my steps go,
when my steps return,
deny me bread, air,
light, spring,
but never your laughter
for I would die. 

0 komentar:

Feminis Berkebutuhan

09.27 Pohon Belimbing 0 Comments

Feminis Berkebutuhan
Angel Jessica

1.      Ladies First, dong!

Sekitar beberapa tahun yang lalu saat saya sedang sangat bersemangatnya mencari tahu lebih dalam mengenai apa itu feminisme, dan perannya dalam kehidupan, saya menemukan seseorang laki-laki, yang cerdas, yang sexist, tentu saja, menyindir salah satu teman feminis yang saya jumpai di internet. Laki-laki itu berkata, perempuan jika merasa direndahkan baru menyinggung nyinggung soal feminisme, tapi kalau sudah urusan hak dan kenyamanan, sepertinya perempuan justru ‘memanfaatkan’ situasi label ‘lemah’ yang melekat pada diri mereka. Namun, menurut saya, perkataan laki laki itu ada benarnya. Sering sekali saya melihat perempuan memanfaatkan situasi label ‘lemah’ yang melekat pada diri perempuan dengan ocehan ocehan ladies first.Mulai dari mengantri di supermarket, mengantri tiket kereta, sampai waiting list di restoran.

Saya sempat terkejut juga, ketika rupanya saya duduk bersebelahan dengan salah seorang yang saya jumpai mengoceh tentang ladies first di restoran itu ternyata mengaku sebagai seorang feminis. Kebetulan saja, saya mendengar percakapan perempuan itu dengan teman temannya. Dilihat dari penampilannya, jelas siapapun akan percaya bahwa ia seorang feminis. Penampilannya anggun, rambutnya dipotong mirip laki-laki, dan terlihat cerdas. Jadi saya mulai menimbang nimbang lagi, apa pengertian feminisme saya yang salah, atau presepsi masyarakat, salah satunya si mbak ‘feminis’ tadi yang salah?

Banyak sekali perempuan yang mengartikan posisi ladies first ini, sebagai hal yang menyenangkan. Banyak yang beranggapan bahwa laki-laki yang memanjakan kita dengan ‘ladies first’nya adalah seorang gentleman. Didahulukan saat berjalan, dibukakan pintu, dan sebagainya. Namun bukankah budaya ladies first itu malah menimbulkan sebuah label yang mengikat, karakter yang melekat bahwa perempuan itu butuh diperlakukan ‘istimewa’.

Sekarang saya mengajak anda melihat lebih jauh lagi. Apakah budaya ladies first, dan keistimewaan yang dilekatkan pada wajah perempuan itu sejatinya benar benar mengistimewakan perempuan? Atau melekatkan lebih tebal lagi label ‘lemah’ di wajah perempuan?

2.      Istimewa atau Beda?

Menjadi feminis, adalah tentang kesetaraan. Namun, ditengah tengah masyarakat patriarki yang kita jalani seperti ini. Apakah feminis dapat begitu saja menjalankan pemikiran dan tujuan tujuannya. Apakah feminis justru pada akhirnya tenggelam dalam kenyamanan menjadi manusia kelas dua yang di’istimewakan’?

Menjadi feminis di tengah masyarakat patriarki memang sangat sulit. Masyarakat dipaksa menerima perbedaan yang nyata sengaja diciptakan demi tetap bertahannya situasi patriarki. Masyarakat dibentuk sedemikian rupa, mulai dari hal-hal kecil sampai ke hal-hal besar, tentang perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Masyarakat dipaksa menerima dan menjalankan begitu saja situasi patriarki dengan segala penindasan dan diskriminasi yang ada. Hal-hal ini, tentu saja, bukan hanya dirasakan oleh perempuan tetapi juga laki-laki. Mulai dari kecil, laki laki diajarkan memaknai semua hal atas dasar pemikiran yang sexist, mereka diajar untuk mulai men-gender-kan segala sesuatu, seperti warna pink itu warna perempuan, biru itu laki-laki. Boneka itu perempuan, Robot itu laki laki. Menangis itu perempuan, meninju itu laki-laki. Sejak dini, manusia yang hidup di tengah tengah situasi patriarki diajarkan untuk tidak bebas berpikir mengenai apa pun, semuanya terkotak kotak atas gender. Mereka seperti dipisahkan, dan dibelah menjadi dua golongan manusia yang berbeda. Dan pada akhirnya, manusia menjadi terbiasa untuk berbeda, manusia menjadi terbiasa mendominasi, dan didominasi hanya dengan atas pemikiran gender. Dan kita tahu, sejak dini itu siapa yang akhirnya, diharuskan memerankan peran didominasi itu. Betul, perempuan.

Bukan hanya itu, mulai di sekolah, perbedaan menjadi sangat signifikan, seperti pembagian tugas piket, harus dibedakan hal hal yang dianggap ‘tugas perempuan’ seperti menyapu, mengepel, dan merangkai bunga untuk meja kelas dan hal hal yang dianggap ‘tugas laki laki’. Perempuan dididik kembali untuk melihat perbedaan mana yang seharusnya dilakukan perempuan dan mana yang dilakukan laki-laki, dan melihat itu sebagai sebuah tanggung jawab yang dipegang perempuan. Sekali lagi, pemeranan yang dilakukan situasi patriarki, menunjukkan dominasinya.

Lalu, dewasa, masyarakat yang sudah melekat dengan situasi patriarki semakin menjadi-jadi. Situasi perempuan yang dibentuk, pada akhirnya, akan disebut dengan kodrat. Kodrat perempuan memang sudah seharusnya ini, itu, ini lagi, itu lagi. Perempuan menjadi manusia bentukkan. Perempuan menjadi boneka, sekali lagi, mainan mereka sendiri. Perempuan dimanjakan dengan perbedaan, yang dimanfaatkan pihak-pihak kapital dengan sangat cantik. Seperti barang barang khusus perempuan, yang berwarna pink, yang lainnya untuk laki laki.Perempuan dimanjakan dengan fasilitas fasilitas perempuan, seperti kereta khusus wanita, antrian khusus wanita, parkir khusus wanita. Pengkhususan dan pembedaan saat ini sudah mempunyai konotasi yang berbeda, hanya dengan pembedaan kata-kata, perempuan seakan dimanjakan dengannya. Padahal bukankah pengkhususan atau pembedaan tersebut hanya semakin membuktikan kekuasaan patriarki atas kita, atas perempuan?

3.      Jadi Feminis?

Menjadi feminis, adalah tentang kesetaraan. Kesetaraan. Feminis bukan hanya mencari kekuatan bagi perempuan, feminis bukan ada untuk menjadikan perempuan superior atau unggul, feminis ada bukan untuk keistimewaan. Feminis ada untuk kesetaraan. Feminisme bertujuan untuk menciptakan sebuah dunia di mana tida ada dominasi, di mana orang orang di hargai karena siapa mereka secara personal. Menjadi feminis, adalah menentang segala bentuk pengistimewaan.

Menjadi feminis, adalah sebuah gerakan melawan arus. Gerakan yang melawan. Melawan dan melepas label yang selama ini melekat di wajah perempuan. Namun walaupun begitu, feminis buka tentang pergerakan revolusioner yang keras, feminis bukan feminazi*. Banyak hal hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk menjadi seorang feminis. Hal yang pertama dilakukan adalah mengubah mindset. Berhenti menggunakan alasan dan ocehan yang membuat perempuan semakin tampak ‘lemah’ dan ‘tidak berdaya’, berhentilah menggunakan alasan alasan tersebut demi mendapatkan peng’istimewa’an yang sangat tidak istimewa.

0 komentar:

Rahasia

09.04 Pohon Belimbing 0 Comments

Sejumlah kata terlipat dengan sisa sisa kesedihan di kantung matamu,
Sejumlah rasa, dan kata kerja kau jaga baik dalam rahim yang tak mudah dilesap ribuan tanda tanya, yang tak juga lenyap meski ribuan tanda koma tak pernah membiarkan waktu memberinya jeda.
Apa kabar kesedihanmu?


Sejumlah amin tak pernah lagi kau ucapkan saat imanmu tak lagi sanggup mengkhayalkan ketidakmungkinan dalam doa doa panjang yang sejak lama tak lagi kau rapalkan. Kau biarkan doamu menggantung di ranting pohon mangga di pekarangan rumahmu, mengingatkanmu akan takdir yang tak pernah akan kita ketahui ujungnya.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!