Sinai - Ria Utari

05.15 Pohon Belimbing 0 Comments

Sinai melintas di depanku. Ia terlihat menawan hari ini. Tubuhnya beraroma wangi chamomile dan apricot. Rambutnya dikepang dua. Mantel panjang warna coklat tua membungkus tubuh semampainya dari dinginnya malam. Parasnya yang bulat tampak berias. Mata gemintangnya dibingkai warna ungu pucat. Maskara melentikkan bulu matanya yang panjang. Bibir tipisnya berulas warna shocking pink berkilat tersapu lipgloss. Ia sangat siap untuk tampil di depan umum. Oya, ini Jumat malam. Sudah pasti ia akan pergi ke kelab malam. Menggoyangkan tubuh indahnya di tengah desakan manusia yang berpeluh.

Ia memberiku seulas senyum. Aku begitu terpana melihat garis bibirnya yang menukik ke atas menyerupai bulan sabit. Ingin kuberikan balasan senyum setulus hati, namun ia sudah terburu berlalu. Tak menungguku untuk menanggapi salam senyumnya. Dalam sekejap, Sinai sudah membuka pintu gedung apartemen ini dan menembus angin beku di luar sana.

Dari jauh, kulihat ia berhenti sejenak. Mengeluarkan handphone mungil warna merah darah di dalam genggaman tangannya. Ia tampak mengangguk-angguk sejenak. Kemudian ia memasukkan handphone itu ke dalam tasnya. Lantas segera berjalan cepat setengah menunduk. Sesekali ia tampak menaikkan tudung kepala yang menaungi rambut hitam lurus yang jatuh hingga di atas bahu. Ingin kupeluk dan kubentengi tubuhnya dari tiupan angin. Kubayangkan kepalanya berlindung di dadaku. Oh... betapa indahnya.

Namun Sinai tetap berlalu. Ia berjalan menyusuri 7th Avenue, melintasi 16th Street, 17th Street, kemudian menyeberang menyusuri 19th Street, menuju 6th Avenue. Ia langsung berbelok menuju 20th Street begitu tiba di jalan besar 6th Avenue dan terus melangkah memasuki Avalon, diskotek yang mengambil tempat bekas gereja tua berarsitektur gothic yang terletak tepat di sudut jalan 20th Street dan 6th Avenue.

Tampak antrean panjang di pintu masuk. Ia melewati antrean itu dan langsung mendekati seorang penjaga pintu. Sinai tampak sedikit jinjit dan berbisik di telinga penjaga bersosok gempal itu. Wajah lelaki itu tampak tersenyum. Sinai langsung melintas di depannya dan masuk ke bangunan itu.

Di dalam, dentuman lagu hip hop, latin, dan rap berbaur menjadi satu. Wajah-wajah sarat hasrat hidup meliukkan tubuh mengikuti irama. Sebagian besar berpelukan dan saling mencabik bibir dalam ciuman. Sinai tampak tersenyum. Wajahnya berbinar cerah. Ia tampak tak sabar menunggu giliran penitipan mantel. Barulah aku tahu pakaian yang dikenakannya di balik mantel panjang. Rok pendek warna coklat beludru dan atasan tanpa lengan berkerah shanghai warna lavender. Ia mengenakan sepatu boot yang menutupi betis. Legging hitam tampak membalut kakinya.

Sinai bergegas melintasi lorong yang mengantarkannya menuju ruang balkon. Di bawahnya, ia melihat kerumunan orang-orang yang mengentakkan tubuh seiring dengan detak jantung yang menggema mengikuti suara musik. Kaki jenjang Sinai melangkah menuruni tangga. Dalam beberapa detik, ia sudah membaurkan diri dengan lautan manusia di bawah sana. Aku hanya bisa memandanginya dari balkon. Mengeratkan genggaman tanganku ke pinggiran terali. Dari atas, kulihat Sinai tampak mencium seorang lelaki yang menggamit pinggangnya dan segera menariknya ke dalam pelukannya. Gerahamku mengeras.

DJ memutar lagu My Love dari album terbaru Justin Timberlake. Dentuman beat mengantarkan tubuh Sinai meliuk dalam rengkuhan lelaki itu yang memeluk pinggangnya dari belakang. Tubuh mereka menyatu erat. Mereka bergerak seirama. Kulihat tangan lelaki itu menyusuri perut Sinai dan menyelipkan jemarinya di balik baju lavendernya. Kedua mataku berair melihat Sinai tampak terpejam dan menyunggingkan senyum. Kepalanya mendongak, disandarkan di bahu lelaki itu yang langsung mencium bibir Sinai dari arah belakang. Tubuh mereka terdiam. Yang kini bergerak hanya kedua tangan lelaki itu yang menjelajahi tubuh Sinai.

Tubuhku melorot bersujud di lantai. Kepalaku kusandarkan di jeruji terali. Air di kedua mataku mengalir deras. Membasahi pipi dan memasuki mulutku. Terasa asin. Menyadarkanku kembali untuk membuka mataku yang sedari tadi terpejam. Aku panik saat menyadari Sinai dan lelaki itu tak lagi ada di antara kerumunan orang di bawah sana. Tubuhku bergegas bangkit meski kusadari tak lagi ada tenaga. Namun aku harus mencari Sinai. Menyelamatkannya dari tangan kotor lelaki itu. Kuturuni tangga setengah berlari dan kini kusibak kerumunan orang-orang di lantai dansa yang meloncat-loncat mengangkat tangan mereka seolah ingin menggapai siraman cahaya kerlap-kerlip dari langit di atas sana.

Tak lagi kulihat Sinai di antara mereka. Bergegas kularikan tubuhku memasuki ruangan bar di ujungsana. Kulewati lorong gelap yang dulunya mungkin sebuah koridor menuju tempat perjamuan. Saat itu aku mendengar suara desahan di salah satu sudut yang mengarah menuju bilik kecil bertuliskan restroom. Cahaya remang di dalam ruangan itu tak dapat menyembunyikan sosok tubuh Sinai yang sangat kukenali. Tubuhnya yang kini tampak bergerak dalam desahan panjang yang membuatku mematung. Ia dan lelaki itu telah berdosa.

Aku mengenal Sinai dua tahun silam saat ia memasuki apartemen ini. Tentu saja ia langsung menyita perhatianku. Mungkin karena ia cantik. Tapi banyak penghuni apartemen lainnya yang juga cantik. Bahkan melebihi dirinya. Namun ia berbeda. Sekilas ia terlihat memiliki keraguan akan apa pun yang dilakukannya. Ia sering sekali menggigit bibir bawahnya saat berpikir. Senyum manisnya juga sering diberikannya kepada orang-orang yang kebetulan satu lift dengannya atau berpapasan.

Namun dari semua sikapnya yang menurutku cukup unik bagi orang Manhattan pada umumnya, sisi menarik Sinai adalah namanya. Ia langsung tersenyum melihat ketertegunanku saat ia menyebut namanya.

"Oh, nama itu diambil ayahku dari Injil. Sebuah gunung suci tempat Nabi Musa mendapatkan 10 perintah Allah," ujarnya pelan setengah berbisik. Seolah ia malu menyebutkan sejarah namanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan dirinya. Agaknya ketenanganku mendorongnya untuk bercerita lebih lanjut tentang dirinya. Di pertemuan kami selanjutnya, Sinai mengisahkan betapa ayahnya teramat sangat fanatik untuk menjadikannya suci. Nama telah menjadi kutukan baginya.

Beberapa kali ia memohon kepada ayahnya untuk mengganti namanya. Namun ayahnya tetap bergeming. Ia malah diberi jam malam yang mengharuskannya untuk berdoa dan membaca Injil setiap jam 6 sore. Pergantian waktu siang ke malam menurut ayahnya menandai dimulainya pencobaan bagi hidup manusia untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi kegelapan. Semua itu tak terbantahkan Sinai hingga kematian ayahnya dua tahun silam. Saat itulah Sinai memutuskan pergi ke Manhattan dan memilih malam sebagai hidupnya.

Kini Sinai di depan mataku. Memperlihatkan kegelapan yang menjadi pilihan hidupnya. Melihatnya, aku menjadi teryakinkan akan panggilan hidupku yang sebenarnya. Sesuatu yang kucari selama ini namun tak pernah dapat terdefinisikan hingga aku bertemu Sinai. Gunung suci tempat aku akan menemukan kekudusanku.

Kusiapkan penyambutan yang akan membasuh kesesatannya. Kutaburkan kelopak-kelopak mawar di lantai kamarnya. Kupasang lilin beraroma di setiap sudut ruangan. Dalam gelap, aku menghitung waktu untuk mengantarkannya kepadaku.

Suara kunci diputar. Langkah kaki setengah goyah. Mantel yang tergantung asal di kapstok. Sarung tangan yang terlempar di meja. Tanpa nyala lampu, Sinai mencopot sepatunya. Umpatan kasar menyalak dari bibirnya saat ia menginjakkan kaki telanjang di atas kelopak-kelopak mawar. Ia pasti menginjak duri mawar yang kutebar di antara kelopak. Tubuh berdebam, goyah karena nyeri dan alkohol di kepala.

Kupapah tubuh kurusnya ke sofa. Kujilati telapak kakinya yang berdarah. Kusentuhkan ke pipiku yang dingin. Tubuhnya menggigil. Ketimbang marah, sorot matanya justru terlihat ngeri. Ia terdiam saat kubuka satu per satu baju yang dikenakannya. Aku mengambil handuk dan kucelupkan ke baskom air hangat yang kuletakkan di dekat kakinya. Kubasuh seluruh tubuhnya. Wajahnya yang pias, leher, bahu, kedua payudaranya, perut, paha, hingga kakinya yang tak lagi berdarah.

"Kini kamu sudah bersih, meski tak seluruhnya." Aku berbisik pelan di telinganya sambil menghirup aroma tubuhnya. Kudesakkan kuat-kuat memasuki rongga hidungku untuk tetap berdiam di setiap relung otakku.

Sambil memandangnya menggigil, aku mengingatkannya kembali akan arti penting dirinya. Bukan bagiku. Tapi untuk dunia. Ini salahku. Seharusnya sejak dulu aku menyadarkannya. Sudah cukup waktu bermain-main bagi Sinai. Kini waktunya Sinai untuk kembali ke jalan yang sudah disiapkan Tuhan untuknya.

"Tentunya kamu ingat Sinai, sejak awal Tuhan telah menyucikanmu. Ada tertulis saat Tuhan berfirman kepada Musa untuk menguduskanmu," ujarku sambil membuka Injil. Jari-jariku gemetar, tergesa ingin segera menemukan apa yang kucari. Gerakan jemariku terhenti di Kitab Keluaran Bab 19 Ayat 10. Sambil berlutut di sofa, kubisikkan sejumlah ayat dalam kitab yang mengisahkan perjuangan Musa membawa umat Israel keluar dari Mesir.

"Pergilah kepada bangsa itu dan suruhlah mereka menguduskan diri hari ini dan besok, sebab pada hari ketiga Tuhan akan turun di depan mata seluruh bangsa itu di Gunung Sinai. Sebab itu haruslah engkau memasang batas bagi bangsa itu berkeliling sambil berkata: Jagalah baik-baik, jangan kamu mendaki gunung itu atau kena kepada kakinya, sebab siapa pun yang kena kepada gunung itu, pastilah ia dilempari dengan batu atau dipanahi sampai mati; baik binatang baik manusia, ia tidak akan dibiarkan hidup. Hanya apabila sangkakala berbunyi panjang, barulah mereka boleh mendaki gunung itu." Aku mengakhiri pembacaanku, menutup Injil dengan bunyi berdebam, kemudian mengelus rambut Sinai.

"Kau tahu artinya itu, Sinai? Tidak sembarangan orang bisa menyentuhmu. Untuk itulah ayahmu menamai dirimu. Dalam dirimulah seharusnya bertakhta kekudusan Tuhan." Sinai menggigil. Ia menggigit bibir bawahnya.

Kuletakkan Injil dengan takzim di meja dekat sofa tempat tubuh Sinai terbaring. Kulintasi ruangan tanpa menghiraukan duri mawar yang juga menusuk telapak kakiku. Aku menuju dapur. Segalanya harus dibersihkan. Sinai harus kembali dikuduskan. Kutarik sebilah pisau yang tertancap di penahan kayu di atas meja dapur. Pisau itu tampak mengkilat di genggamanku. Meski di kegelapan tanpa cahaya di kamar ini.

Sinai tergetar di sofa saat melihatku menghampiri dirinya sambil membawa pisau.

"Tenang Sinai, aku tak akan membunuhmu. Aku hanya akan menguduskanmu. Menyadarkanmu ke dirimu yang dulu. Dirimu yang sebenarnya. Kau terlupa dengan panggilan hidupmu."

Kulihat Sinai meronta. Tubuhnya berpeluh. Terpaksa aku harus menahan tubuhnya. Kedua kakiku menjepit pinggangnya. Kini aku setengah duduk di atas tubuhnya. Tangan kiriku menahan dadanya yang terus bergerak. Tak ada pilihan lain. Aku harus segera melakukan penyucian ini.

Tangan kananku bergerak cepat, menghunjamkan pisau ke dada kirinya. Kurobek cepat dan di sanalah terletak pencarianku. Kugerakkan pisauku memotong urat-urat tak perlu dan kuambil jantungnya dengan tangan kiriku. Kini sepotong jantung berdenyut di telapak kiriku. Merah kehitaman. Ini jantung Sinai. Juga jantungku. Lubang di dada Sinai menganga. Pun dadaku.***

New York, Maret 2007

Cerpen tulisan Ria Utari
http://bahastraindonesia33.blogspot.com/search/label/Kumpulan%20Cerpen

0 komentar:

Secangkir Teh

04.14 Pohon Belimbing 0 Comments


Apa yang bisa diharapkan dari secangkir teh? Seolah ada yang tak sederhana dari pertanyaan ini. Seperti diucapkan oleh Hercule Poirot, dalam nuansa redup ruangan, ketika aroma remah kelopak melati melayang-layang. Namun sesuatu yang samar seperti sedang atau telah terjadi. Sesuatu yang -oleh penggemar kisah misteri-menjadi awal ketegangan.

Ya. Dengan kandungan yang terdiri dari catechin, kafein teh, antibiotik dan entah apa lagi, maka diolah dengan cara apa pun, pastilah gizi dalam teh bukan sesuatu yang sebanding dengan susu. Tapi nenekku berharap terlalu banyak. Dirasanya teh cukup layak untuk diposisikan sebagai pengganti susu.

Maka, hampir setiap subuh, untuk mengawali hari, cerah atau tersaput mendung, yang dilakukan nenek pertama kali adalah menjerang air penyeduh teh. Sesudah itu baru dibukanya kandang ayam si burik dan si jago beserta anak-anaknya. Beberapa genggam jagung ditaburkan untuk sarapan ayam-ayam itu. Cukup sekali sehari, selebihnya keluarga besar ayam itu akan berkelana di kebun untuk mengais makan siangnya sendiri.

Sesaat kemudian air pun mendidih, lalu dituang untuk menyeduh sejumput daun hitam teh di teko. Dilengkapi beberapa sendok gula pasir, segera air panas itu akan menjadi cairan coklat pekat yang manis dan sepat serta menguapkan aroma wangi yang khas. "Minumlah." Nenek menuang secangkir teh untukku. "Tak ada cukup uang untuk membeli susu, tapi teh ini akan sanggup mengenyangkan perutmu sampai siang nanti."?

Berteman kue serabi atau ketan dengan taburan kelapa parut dan bubuk kedelai, itulah sarapanku boleh dikatakan setiap hari sebelum berangkat sekolah. Semacam ritual, atau upacara kecil yang membuat sukma menjadi lebih percaya diri dalam mengarungi hari.

Nenek selalu mengira bahwa rasa kenyang yang muncul sesudah melahap teh dan kue serabi itu akan memberikan manfaat yang sebanding dengan komposisi gizi yang terdapat dalam susu. Barangkali harapan yang berlebihan walau ternyata tidak terlalu keliru. Kenyataannya, aku cukup sehat selama itu. Tulangku juga tidak merapuh, meski kupakai berjalan sepanjang 2 km pergipulang ke dan dari sekolah tiap hari.

Sampai sekarang pun aku tidak merasa memerlukan susu untuk menu sarapanku, meski andai mau, bisa kubeli berlusin-lusin kotak susu. Gaji bulananku sebagai manajer keuangan cukup untuk membeli merk susu termahal sekalipun. Secangkir teh tetap menjadi menu sarapan pilihanku. Meski tak ada lagi kue serabi karena bukan hal mudah menemukan penganan lembut gurih itu, di kotasebesar ini.

***

Ayahku memiliki harapan yang berbeda pada secangkir teh. Setiap kali kutuangkan secangkir teh untuknya di sore hari, selepas pulang dari kantor di kecamatan, selalu dimintanya aku duduk bersamanya di beranda. Banyak hal diperbincangkan, kejadian seharihari yang menurutnya pantas dibagi kepada anak perempuan satu-satunya. Tentang kemarau yang terlalu panjang, misalnya. Atau perihal pohon-pohon tua di sisi lapangan kecamatan yang sudah saatnya ditebang dan digantikan dengan batang yang lebih muda. Kadang-kadang juga mengenai petani yang mengeluh karena pembagian air irigasi tidak merata dan harga pupuk semakin tinggi. Sesekali ayah mengizinkanku melihatnya membersihkan keris yang hanya sebilah itu, meski melarangku menyentuh warangan, serbukpembersih keris yang sangat jarang dipergunakannya.

Dan suatu senja ia menyampaikan semacam keinginan. "Kelak, temanilah selalu suamimu menikmati secangkir tehnya. Pasti hatinya tak akan berpaling ke mana pun. Dia akan selalu rindu rumah, tempat kamu berada di dalamnya. Sebuah tempat teduh yang tak ada duanya."

Itu kalimat bijak -atau doa?- seorang ayah untuk putrinya. Berharap nasihat sederhana itu akan berguna sebagai bekal si semata-wayang ketika mengarungi bahtera pernikahan. Ayah tahu bahwa biduk perkawinan itu akan melewati gelombang yang dahsyat sehingga diperlukan pengikat yang kuat untuk tetap bertahan di dalamnya. Ucapan yang ingin meyakinkan dirinya, namun entah kenapa, justru menampakkan rasa bimbang. Mengapa harus ada kekuatan itu?

Di kemudian tahun, ketika kutemukan seorang laki-laki yang akhirnya menjadi suamiku, kulaksanakan petuah bijak ayah. Selalu kuhidangkan seduhan teh terbaik untuk suamiku, sejak awal menjadi istrinya. Pagi atau petang hari. Aku berusaha tidak beranjak sekejap pun dari sisinya, kecuali untuk mengambil sesuatu yang diperlukannya dengan segera. Koran, misalnya, atau sigaret dan pemantiknya. Atau, ah, mengapa harus lekat dalam ingatan?

Agaknya perkiraan ayahku keliru. Sesuatu yang cukup kuat untuk mengikat hati beliau ternyata tidak berlaku untuk suamiku. Apa pun yang kulakukan tidak pernah cukup berarti untuk menghentikan keluhannya. Juga ketika dengan sabar aku menunggu dia menuntaskan hasrat biologisnya atas tubuhku.

"Tak adakah inisiatifmu untuk membalas gairahku? Ini lebih mirip bercinta dengan sebatang pohon atau guling, bedanya kau punya sesuatu yang basah dan mereka tidak," ucapnya terengah menyudahi keliarannya. Lebih mirip bentakan setajam karat kelewang.

Baiklah. Tanpa kata-kata aku mengaku keliru. Lalu kubaca banyak buku tentang hal-hal semacam itu. Juga bertanya pada teman-temanku. Aku bahkan berkonsultasi dengan pelatih kebugaran yang kutahu sering mengajarkan senam tertentu pada para perempuan.

Selanjutnya, mungkin aku pandai meliuk selentur balerina dalam keadaan berbaring. Kini aku, dengan sedikit rasa was-was, mulai pintar mengerang panjang, melenguh bagai sapi. Sesuatu yang aku sendiri tak berminat mendengarnya.

"Apa yang kaulakukan? Kau begitu liar mirip kuda binal yang tak menemukan pejantan di musim kawin. Ini lebih mirip bercinta dengan pelacur, bedanya aku tak perlu membayarmu," begitulah ungkapan reaksinya.

Aku tak hendak mengingatnya, sungguh. Rasa malu itu memberangus sekaligus wajah dan perasaanku. Karena aku seperti memerankan seorang penari tayub yang kesurupan. Aku lebih wirang ketimbang yang kupikirkan.

Untunglah masih kumiliki sisa-sisa kesabaran ayahku. Warisan yang aku syukuri dengan perasaan pedih. Aku kembali pada kesabaranku dan berpikir bahwa barangkali nasihat orang bijak tak selalu universal, melainkan hanya berlaku untuk orang dengan kebijakan yang setara. Suamiku rupanya memiliki kebijaksanaan yang berbeda.

***

Ibuku juga memiliki harapan yang berbeda pada secangkir teh. Ibu tidak pernah menikmati teh hangat. Secangkir teh hangat yang dituangkan nenek untuknya setiap pagi, selalu dibiarkan menjadi dingin hingga tengah hari. Lalu akan dicampurnya dengan potongan es baku, yang kemudian memunculkan titik-titik embun membasahi seputar dinding cangkir. Selepas makan siang baru direguknya dengan puas es teh itu. Dengan sekali teguk, biasanya, teh dingin di cangkir itu langsung tandas. Memang begitulah ibu, selalu melakukan sesuatu dengan serbacepat namun terencana. Ia menyesap minuman tidak memerlukan menit hingga cangkir atau gelasnya kosong. Namun untuk menyiapkan rasa nikmat tehnya, ia bersabar hingga tengah hari. Ia selalu merencanakan demi kenikmatan beberapa jam yang akan datang. Seperti yang selalu dilakukannya terhadapku.

"Sudah selesai belajarmu? Selesaikanlah siang ini sebelum pergi bermain.Nanti sore jangan lupa hidangkan teh untuk ayahmu, gulanya sedikit saja."

"Mengapa bukan Ibu yang menyeduh teh sore untuk ayah? Seperti yang dilakukan ibu teman-temanku," tanyaku suatu kali.

"Tidak ada waktu untuk itu. Sore hari ketika para karyawan pulang dari pabrik, maka kios Ibu akan ramai pembeli. Dari mereka kita peroleh uang untuk membayar uang sekolahmu."?

"Bukankah sudah ada uang ayah, gaji dari kecamatan?"

"Sudah beruntung kalau gaji ayahmu cukup untuk makan tiga kali sehari, itupun cuma berlauk tempe-tahu atau kerupuk. Tak ada yang tersisa untuk uang sekolahmu, bayar listrik, obat nenek...," sergah ibu dengan suara mulai ketus.

Bila suara ibu beranjak naik begitu, maka nenek buru-buru datang menuang teh di cangkir ibu, ditambahkannya beberapa potong es batu dari termos. Segera, dingin es teh baru itu akan membasahi tenggorokan ibu dan merendahkan kembali nada suaranya yang meninggi. Lalu nenek akan mengisyaratkan aku untuk menjauh, sebelum kutemukan kembali pertanyaanpertanyaan lain yang bisa menyalakan kemarahan ibu. Karena hal itu akan membuat nenek memerlukan lebih banyak es teh untuk memadamkannya.

***

Apa yang bisa diharapkan dari secangkir teh? Berbeda dengan nenek, ayah dan ibu, aku menyimpan harapanku sendiri. Suatu hari kulihat suamiku berkemas dengan sibuk.

"Akan ke manakah?" tanyaku. Seolah kulihat pertanda buruk pada kehidupanku.

"Ke suatu tempat, ada urusan penting," jawabnya tanpa sekilas pun menoleh padaku.

"Jangan pergi," kataku dengan harapan setipis kabut. Bahkan ketika mengucapkannya, ada keraguan mendapat jawaban setimpal.

"Ini perjalanan terpenting dalam hidupku, tidak akan kubiarkan seorang pun menghadang langkahku."

"Sekalipun itu aku?" Suaraku menyimpan jerit yang tak tersampaikan. "Siapa pun itu!" tegasnya bergeming.?

Sebuah jawaban yang menyalakan kemarahanku. Nenek sudah lama berpulang sehingga tak mungkin lagi ia menyiapkan es teh bagiku untuk memadamkan bara kemarahan itu. Begitu pun ayahku, sehingga tak tersisa lagi kesabarannya yang pernah kumiliki, yang masih kusimpan adalah sisa warangan, serbuk yang dulu dijauhkan ayah dariku karena ternyata mengandung senyawa kimiawi arsenikum, zat berbahaya yang tidak layak untuk tangan kecilku. Kini hanya ibu yang masih bertahan mendampingiku, dengan rambut yang nyaris seluruhnya putih keperakan.

Lalu, kuseduh secangkir teh. "Minumlah dulu sebelum berangkat," kataku dengan kelembutan, yang entah dari mana datangnya, melewati tungku api keters inggungan. "Siapa tahu akan jauh perjalananmu dan tak tersedia minuman sepanjang perjalanan itu."

Suamiku ragu sejenak. Barangkali ia baru menyadari betapa istrinya begitu penuh perhatian. Namun terdengar suara mobil datang, rodanya gemeretak melindas kerikil di depan pagar. Tentu itu sebuah taksi yang telah diteleponnya dan tiba sebagai penjemput. Tanpa sempat menimbang keraguan lagi, segera diraihnya cangkir dari tanganku dan menandaskan isinya tanpa menyisakan setetes pun. Ah, barangkali ingin diberikannya kepuasan terakhir, sebagai penghargaan bagiku dengan mereguk teh hangat seduhanku.

Dan, berangkatlah dia. Aku tahu, sangat tahu, ke mana dia akan pergi. Sebaris pesan singkat pada ponselnya terbaca olehku sesaat lalu, sewaktu dia mencukur jambangnya di kamar mandi.

"Persiapan pernikahan kita sudah beres. Kita bertemu di bandara sore ini. Datanglah segera, jangan membiarkanku menunggu, sayangku ..."?

Pengirimnya tercatat?dengan kode nama: kekasih. Alangkah indahnya nama itu, sebaris huruf yang tak pernah terucap untukku. Aku di dalam ponselnya tetaplah tertulis sebagai apa adanya namaku, sebanding dengan beratus nama lain yang tersimpan di sana.

Aku seorang perempuan dan juga seorang istri yang memiliki ideologi puritan, antipoligami. Tentu tidak akan kubiarkan suamiku menikah lagi dengan orang lain, sementara buku nikah yang sah masih berada di tanganku.

***

Apa yang bisa diharapkan dari secangkir teh? 
Barangkali setiap orang akan memiliki harapan yang berbeda pada secangkir tehnya masing-masing. Tapi ketika seduhan teh itu dilengkapi dengan setabur warangan, tiada lagi harapan yang tersimpan selain satu hal: sebuah penyelesaian. Dan, yang secangkir itu telah ditandaskan oleh suamiku. Melewati jalan licin kerongkongannya langsung menuju lambung.

Secangkir teh itu akan menunaikan tugasnya dengan baik, mengantar suamiku pada sebuah perjalanan yang terpenting dalam hidupnya. Bukan ke bandara, tempat seseorang yang akan dinikahinya tengah menunggu; melainkan pada sebuah perjalanan terakhir yang akan dilalui setiap manusia.

Untuk lebih melapangkan jalannya, tentu aku tak ingin terjadi kehebohan sehubungan dengan "keberangkatannya". Akan kujelaskan pada pihak yang berwenang bahwa suamiku memang mengidap penyakit tertentu, sehingga tidak perlu ada otopsi, visum atau apa pun yang semacam itu. Setidaknya, aku memang memiliki hasil periksa kesehatan lengkap tahunan dari kantornya, yang kebetulan mengandung banyak keluhan.

Sesungguhnya di sini, di ruangan ini, tidak ada Hercule Poirot. Tidak ada pertanyaan apa pun, dari siapa pun, walau memang ada aroma remasan kelopak melati yang melayang-layang, terbang bersama kepulan uap teh hangat yang kuseduh.


Aku duduk dengan tenang. Setenang patung peri yang ditatah dari batu onyx. Menunggu datangnya kabar hasil eksekusi itu. Entah melalui telepon dari bandara, dari rumah sakit, atau justru dari sopir taksi langganan yang gugup itu. Kureguk teh di cangkirku sendiri. Hangat, kental, wangi dan sedikit rasa pahit berpadu dengan sempurna. Yang ini tentu tanpa warangan. ***

(Secangkir terima kasih untuk Kurnia Effendi)

Cerpen Sanie B. Kuncoro
Copyright @2008 IT Dept. JAWA POS
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

0 komentar:

Alegori

03.53 Pohon Belimbing 0 Comments


Malam, masih sama dingin, tak mau mempedulikan Siang. Mereka hendak bertanya sampai kapan mereka akan tetap berada dalam ketidakpastian. Malam datang, Siang pergi. Siang datang, Malam yang pergi. Tak pernah mereka berada dalam satu tempat atau satu waktu yang bersamaan, seperti saling membenci mungkin, atau memang tak pernah bisa disatukan. Siapa yang tahu.
Dan inilah apa yang terjadi:
Dulu, mereka tak saling kenal. Saat itu Malam yang memang selalu sunyi dan dingin pada apapun yang hidup tak pernah mau memulai untuk berbicara. Saat itu umurnya belum mencapai dewasa seperti yang orang-orang katakan. Belum cukup umur untuk mempunyai kartu-kartu izin, atau untuk menonton hal-hal yang dibumbui seksualitas pada beberapa adegannya. Tetapi itu dulu, saat belum cukup umur. Walaupun sekarang umur telah berbeda, tetapi ia tetap tak mau jika terdapat banyak suara, maka dari itu setiap ia berada di tempat yang ramai ia selalu menghindar. Tapi, ia bukan orang yang kesepian, ia mempunyai cahaya yang selalu menemaninya setiap saat. Ia menamainya Bintang, gadis yang memancarkan sinar kecantikannya, gadis yang sukar untuk kaum lelaki taklukan, karena memang ia memegang teguh apa yang ia punya, hatinya: yang selalu disembunyikannya.
Bintang sering berkata, “kalau kau terus seperti itu dengan batu yang melekat pada tiap-tiap rambutmu, kau tak akan pernah sanggup mengenali apalagi mencinta.” Dan setiap ia berkata seperti itu, Malam selalu menjawab dengan jawaban yang selalu sama, “biarlah, lagi pula cinta itu apa? Ketika kamu dihadapkan dengan cinta, bagaimana caramu untuk mendapatkan cinta itu? Lalu setelah kamu mendapatkannya, bagaimana cara untuk mengelola cinta tersebut sebelum kamu memberikan lalu menitipkannya dengan penuh rasa percaya, atau rasa curiga.” Percakapan mereka sering tak pernah berhenti, pertanyaan yang sama dijawab dengan jawaban yang sama.
Di kehidupan yang lain, Siang selalu mencermati apa yang ia lihat. Kepergian, kedatangan, perpisahan, pertemuan, kesedihan, kesenangan, membuat ia seakan hidup hanya sebagai pengamat, namun tak pernah bisa merasakannya. “Mengapa hidup tak pernah bisa aku atur supaya apapun yang hidup mampu untuk merasakan hidup yang sesungguhnya? Setiap orang berhak merasakan apa yang ia mau, bukan apa yang ia dapati.” Siang meski selalu diramaikan dengan apa yang ada di sekelilingnya, tetap ia tak mampu merasakan apa yang lingkungannya rasakan. Apapun yang ia lihat, ia tak bisa mengalaminya.
Itulah mereka, Malam dan Siang yang selalu berada dalam kehidupan yang berbeda, kehidupan yang bertolak belakang, namun saling bertautan satu dengan yang lainnya. Malam ingat betul saat ia pertama kali bertemu dengan Siang. Saat itu Senja menjadi sosok yang mendasari pertemuan mereka. Pertemuan, memang selalu indah dengan segala hal yang menjadikannya indah.
Saat itu, tanpa Malam ketahui, Senja datang dengan membawa teman yang berbeda, padahal seharusnya ia datang bukan dengan teman yang satu ini, “seharusnya dengan Fajar” ucap Malam dalam hati. Malam yang saat itu memang tidak memperhatikan dengan jelas -hanya sepintas-, tidak terlalu menanggapi pembicaraan mereka. Tetapi, Senja mendesak Malam supaya mau melihat orang yang ia bawa. Dengan sewajarnya Malam melihat teman Senja itu, ia hanya bisa terdiam, saat melihat sesuatu yang sepertinya berbeda dengan ia, dengan apa yang ada pada dirinya dan bertolak belakang dengan apa yang sering ia jumpai. Saat bertemu dengan Siang. Saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, Malam percaya, ia sudah mendapatkan cinta, ia hanya harus siap untuk mengelola dan kemudian memberikan untuk selanjutnya menitipkan apa yang ia telah dapatkan.
Siang, ia harus pulang saat gelap hampir tiba. Namun, Senja yang saat itu terus mendesaknya, membuat ia lemah untuk menolak orang yang selalu dikagumi oleh semua orang, khususnya para penyair yang sepertinya mabuk karena Senja tanpa alasan yang pasti. Siang merasa harus pulang, tapi seseorang yang baru saja ia temui membuat ia tak bisa pergi, karena ia terlalu menikmati suasana itu. Tak berapa lama, Siang dapat merasakan apa yang sering ia lihat: pertemuan. Dan ia mampu merasakan juga, sebuah kedatangan. Namun berbeda dengan apa yang sering ia lihat, kali ini ia kedatangan sesuatu yang tak terpegang dan sulit untuk disentuh namun sangat halus untuk dirasakan, cinta.
Mereka tak terpisahkan, Siang dan Malam, meskipun berbeda tetapi pada saat itu mereka merasa kalau mereka sama, meski di antara Siang dan Malam terselip Senja yang memisahkan mereka. Namun Senja bukanlah penghalang bagi mereka, justru Senjalah yang mempertemukan mereka, Senjalah gerbang untuk mereka saling melihat, untuk saling menjamah tubuh mereka masing-masing, untuk saling memberikan dan menitipkan apapun yang mereka punya, meski mereka tak akan bisa bersama selamanya. Mereka tahu itu.
Setiap hari mereka selalu meluangkan waktu untuk bertemu, saat Siang harus pergi karena memang gelap hampir tiba, saat itu pula Senja yang mempertemukan mereka walau bukan untuk waktu yang lama.
Sikap Siang dan Malam yang berbeda saat gelap akan datang membuat Matahari dan Bulan mencurigai pasangan mereka masing-masing. Ya, sebenarnya Bulan adalah pasangan Malam, dan Matahari adalah pasangan Siang. Mereka, Bulan dan Matahari meski tak pernah saling bertemu apalagi mengenal, sama-sama mempunyai perasaan dan prasangka yang tidak baik bagi pasangan mereka masing-masing. Mereka sering mempertanyakan itu pada pasangan mereka masing-masing, namun tak pernah mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Sampai suatu saat, mereka secara bersamaan tak menampakan wujudnya pada Malam dan Siang. Seketika itu pun, Siang yang selalu bersinar bagi lingkungannya menjadi gelap tanpa adanya Matahari. Malam yang selalu memberi kesunyian bagi lingkungannya mendadak riuh gemuruh tanpa adanya Bulan. Mereka tahu, ada yang salah dan menjanggal bagi lingkungannya jika mereka tak muncul dengan pasangan mereka masing-masing. Akhirnya, pada saat pertemuan Senja selanjutnya, mereka tak bertemu. Sebuah perpisahan, kata yang sukar diucapkan. Tetapi perpisahan, adalah bukti kalau mereka pernah bertemu.
Lama mereka tak pernah bertemu kembali, hanya kata-katalah yang mempertemukan mereka dalam lembaran kertas pada sebuah surat. Diam-diam, mereka sering berbalas surat. Dengan perantara Angin, seseorang yang selalu hadir pada setiap kehidupan, pada kehidupan Malam ia melengkapi kesunyian Malam, pada kehidupan Siang ia menyejukkan keadaan lingkungan Siang. Ia menjadi perantara bagi mereka berdua. Surat-surat yang mereka titipkan pada Angin, selalu sampai pada tangan yang tepat dan disambut dengan tangan terbuka. Mereka bertemu, walau hanya pertemuan kata.
“…Siang tersayang. Meski kini aku tak bisa kembali menyentuh kulit tubuhmu, atau menatap indahnya dirimu, aku akan tetap menjaga titipan yang kamu berikan padaku, dulu. Meskipun kini, aku tak mampu menggambarkan wujudmu lagi lewat coretan gambar. Tapi, yang aku dapat lakukan saat ini hanyalah menggambar wujudmu lewat kata-kata, juga kenangan tentang kita, hanya mampu terekam dalam kata-kata dan tetap diam dalam hati, meski itu semu kurasakan…”
Itulah penggalan isi dari surat yang Malam kirimkan pada Siang. Hati Siang remuk, menahan perasaan rindu dan cintanya pada Malam, namun pada siapa ia mampu mengadu? Jika saja ia memiliki Bintang seperti yang Malam miliki, mungkin ia tak akan kesepian dan mampu membagi kerisauan hatinya.
“…Namun Malam tercinta, walaupun aku masih menyimpan catatan tentang alamat rumahmu, aku tak mampu berjanji untuk datang kembali, dan menjumpaimu dengan rasa rindu yang tertahan dan meluapkannya lewat pelukan hangat dengan tubuhmu. Tapi, jika kita terlalu fokus pada hal yang telah terjadi, kita takkan mampu melihat apa yang akan terjadi di masa depan…”
Saat membaca isi surat dari Siang tersebut, semakin hancur perasaan Malam. Tak mampu ia membendung rindunya yang tertahan itu. “Bagaimanapun caranya, aku ingin bertemu dan menyampaikan rinduku pada Siang”, ucap Malam kepada Bintang yang mendampingi Malam saat itu.
Bintang, yang ingin membatu temannya itu menjadi muram, cahayanya sedikit kelabu, tak seperti biasanya. Ia seperti merasakan apa yang Malam rasakan, walau tak mengalaminya langsung, namun Malam telah menjadi bagian dari hatinya, sebagian hatinya telah menjadi milik Malam, temannya. Saat Bintang hampir putus asa untuk membantu Malam, ia terkejut dengan seseorang yang menepuk pundaknya saat ia melamun di pinggir jalan menuju rumahnya. Dialah Fajar, seseorang yang sempat ia temui di Restoran seberang, saat ia dan Malam tengah makan bersama.
“Hai Bintang, karena apa kau terlihat muram seperti itu? Kemana temanku Malam? Apa ia sehat?” tegur Fajar. Bintang yang terkaget melihat Fajar tersebut mendadak teringat sesuatu, kalau Fajar ini mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Siang.
“Fajar! Tolong aku, teman kita, Malam, saat ini tengah muram sekali. Ia merindukan Siang, tetapi mereka tak bisa pergi karena pasangan mereka akan marah jika mendapati mereka saling bertemu. Tolonglah!”, ucap Bintang dengan tergesa.
“Apa? Mengapa mereka bisa mempunyai nasib malang seperti itu? Tetapi, walaupun cinta mereka suci, tetapi mereka tak bisa saling memiiki untuk selamanya, kau tahu itu Bintang, pertemuan mereka hanya akan membuat mereka lebih tersakiti. Mereka tak bisa bersanding, karena mereka sudah mempunyai pasangan yang telah ditentukan.”
“Aku tahu! Tapi tegakah kau melihat orang yang sedang dilanda asmara terpisahkan begitu saja?”
“Tapi keputusan yang baik, jika dibuat untuk alasan yang salah, bisa menjadi keputusan yang salah.”
“Aku tak peduli! Aku hanya ingin melihat ia bahagia, meskipun itu salah.” Bintang mulai menangis dan jatuh dalam pelukan Fajar. “Aku tak mau mereka merasakan apa yang aku rasakan dulu, sampai aku harus menyembunyikan hatiku supaya tak ada orang yang mampu merebut hatiku, aku tak mau jika mereka melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.”
Fajar pun mengerti apa yang Bintang mau. “Aku bersedia melakukan hal ini, akan aku lakukan ini bersama Senja, akan kami pertemukan kembali mereka.”
Senja dan Fajar telah merencanakan sesuatu. Fajar tahu, Siang harus pulang jika gelap hampir tiba, Senja pun tahu kalau Malam harus pulang jika terang hampir tiba. Rencana mereka, adalah mempertemukan mereka pada saat dimana gelap dan terang akan tiba. Siang dengan Senjanya, dan Malam dengan Fajarnya. Saat akan gelap, Senjalah yang akan menjadi gerbang pertemuan mereka. Di saat akan terang, Fajarlah yang akan mempertemukan mereka. Itulah yang mereka lakukan, mempertemukan kembali dua cinta yang saling merindukan. Meskipun mereka semua mengetahui, ini adalah keputusan yang salah, tetapi jika untuk alasan yang baik, maka akan menjadi keputusan yang baik, bagi mereka. Bagi mereka, memilih bukanlah perkara sulit, namun komitmen dengan hasil pilihan membutuhkan kedewasaan diri.
Namun, karena memang harus hidup bersama pasangan mereka masing-masing, maka mereka hidup dalam kehidupan masing-masing bersama pasangannya. Seperti tak ada lagi apa-apa tentang mereka, saat Malam datang, Siang pergi. Siang datang, Malam yang pergi. Tak pernah mereka berada dalam satu tempat atau satu waktu yang bersamaan, seperti saling membenci atau memang tak pernah bisa disatukan. Tapi sekarang kita tahu, bahwa mereka sering bertemu, pada saat hampir gelap, mereka bertemu di antara Senja. Pada saat hampir terang, mereka bertemu di antara Fajar. Dan untuk meluapkan rasa rindunya, mereka menggambarkan rindunya lewat kata dalam lembaran kertas pada sebuah surat yang disampaikan Angin.
Begitulah rahasianya, hanya antara mereka. Malam, Siang, Senja, Fajar, Angin dan tentunya Bintang, yang tak pernah mengungkapkan kebenarannya.
Cerpen Karangan: Pramaswara
Facebook: Ricky Putra Pramaswara
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia

0 komentar:

Michael Buble - Lost

00.35 Pohon Belimbing 0 Comments



I can't believe it's over
I watched the whole thing fall
And I never saw the writing that was on the wall
If I'd only knew
The days were slipping past
That the good things never last
That you were crying

Summer turned to winter
And the snow it turned to rain
And the rain turned into tears upon your face
I hardly recognized the girl you are today
And, God, I hope it's not too late
Hmmm... It's not too late
'Cause you are not alone
I'm always there with you
And we'll get lost together
'Til the light comes pouring through
'Cause when you feel like you're done
And the darkness has won
Babe, you're not lost
When your world's crashing down
And you can't bear the thought
I said, babe, you're not lost

Life can show no mercy
It can tear your soul apart
It can make you feel like you've gone crazy
But you're not
Things have seemed to change
There's one thing that's still the same
In my heart you have remained
And we can fly fly fly away

'Cause you are not alone
And I am there with you
And we'll get lost together
'Til the light comes pouring through
'Cause when you feel like you're done
And the darkness has won
Babe, you're not lost
When the world's crashing down
And you can not bear the cross
I said, baby, you're not lost
I said, baby, you're not lost
I said, baby, you're not lost
I said, baby, you're not lost


http://www.azlyrics.com/lyrics/michaelbuble/lost.html


0 komentar:

Laki-Laki Ke-5

04.26 Pohon Belimbing 0 Comments

Pertanyaan pertama: apakah kau perempuan?

Pertanyaan kedua: apakah orientasi seksualmu hetero?

Bila kedua jawaban tersebut adalah ''ya'', maka inilah pertanyaan ketiga: pernahkah berpikir untuk menghitung berapa laki-laki yang berkelindan di dalam hidupmu?
Bila ada salah satu yang terjawab ''tidak'', maka tidak ada pertanyaan lanjutan. Pembacaan ini boleh saja dilanjutkan, atau bisa saya dihentikan. Terserah opsi mana yang terpilih.

Ini sama sekali bukan sebuah uji statistik, bukan pula sebuah pikiran iseng yang mendatangi ketika keadaan diri sedang atau kosong tanpa berkegiatan. Tiba-tiba saja pertanyaan itu menghampiriku suatu ketika --tanpa merasa perlu untuk menjelaskan alasan yang melatarinya-- dan menggandengku untuk menelusuri jalur perjalanan masa silam dengan sosok laki-laki di beberapa perhentiannya.
Banyak laki-laki kutemui di sepanjang perjalanan, tidak semuanya mampu membuatku untuk benar-benar berhenti dan singgah dalam kehidupan mereka.

Di antara yang menghentikanku itu, tidak setiap kali kumaksudkan perhentianku sebagai sekadar singgah. Ada beberapa di antaranya yang membuatku ingin menetap. Membuatku tidak ingin pergi lagi. Bukan karena aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan, melainkan lebih karena merasa telah menemukan sebuah ''rumah'' yang tepat, yang membuatku selalu merasa ingin berada di dalamnya.

Tapi agaknya dinamika kehidupan tidak selalu terwujud seperti yang kita inginkan. Banyak hal mengondisikanku untuk tidak menetap, melainkan hanya singgah untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Dengan atau tanpa keinginan. Meninggalkan luka atau sekaligus membawa kepahitan. Beberapa luka itu tersembuhkan dengan cepat, namun di antaranya ada yang memiliki sayatan begitu dalam sehingga meski di permukaan nampak pulih, namun sesungguhnya luka di dalamnya masih menyimpan kepedihan yang terbawa ke mana pun. Luka dalam ingatan yang tak beranjak pergi meski dihantam dengan antibiotik dosis tinggi sekalipun.

Persinggahan pertama itu tidak akan pernah kulupa.
Seorang berbeda iman, namun melakukan satu hal untukku yang melekat dalam ingatan hingga hari ini.

''Pukul berapa ibadahmu besok?'' tanyanya pada suatu akhir pekan
''Entahlah,'' jawabku ringan. ''Belum kutahu akan kupilih pagi atau sore hari.''

Namun ternyata aku bangun terlalu pagi hari itu hingga kusiapkan diri untuk mengikuti ibadah pertama.

Lalu kutemukan dirinya di depan pintu diam-diam menunggu untuk mengantarku beribadah. Pagi begitu muda ketika itu, bahkan kabut masih berserak di beberapa tempat dengan dingin yang menebar. Namun alangkah hangat perhatian yang disentuhkannya padaku.

Pagi itu aku merasa sangat dicintai, sekaligus sangat mencintainya. Ketika berada di boncengan motornya, alangkah ingin aku memeluknya. Namun aku terlalu rikuh untuk melakukannya, maka hanya kusandarkan diri pada punggungnya. Punggung yang hangat, yang menghadang angin menerpaku.

Sandaranku yang pertama.

Sampai suatu ketika dia absen beberapa lama dari kampus dan seorang teman tanpa prasangka memberitahu bahwa dia harus pulang kampung karena tunangannya sakit.

Tunangan?

Aku gemetar ketika itu, apalagi saat kudapati jawaban yang tanpa beban.

''Apa istimewanya pertunangan? Janur belum melengkung, aku masih punya hak untuk berganti pilihan, dan aku akan memilihmu,'' katanya tenang, meyakinkanku.

Namun tidak ada keyakinan di dalam diriku bahwa pilihannya padaku akan bertahan selama yang kuinginkan. Andai pun janur telah melengkung untukku, bisa terjadi akan dimilikinya dalih untuk menegakkan janur itu kembali demi mengesahkan hasrat untuk berganti pilihan.

Maka, aku memilih untuk tidak terpilih.

Aku berkemas dan beranjak pergi dari sandaran hangat itu, sembari membawa kepedihanku. Sayatan lukaku yang pertama.

***

Laki-laki yang kedua adalah seseorang yang pada mulanya menjadi sahabat.

Seorang dengan kecerdasan terbaik yang pernah kukenal, sekaligus memiliki nilai-nilai moral yang sedemikian lurus. Sedemikian rupa kelurusan itu teguh mengakar di dalam dirinya sehingga membuatnya terlalu keras pada diri sendiri dan orang lain.
Digariskannya satu keyakinan bahwa perempuan selayaknya tidak hanya mengoleksi indeks prestasi tinggi pada rapor hidupnya, melainkan juga keahlian meracik bumbu di dapur sekaligus melahap banyak literatur.

Sementara kutemukan di dalam diriku bahwa aktivitasku di dapur hanyalah merebus air atau telur. Indeks prestasi kumulatifku selalu tidak lebih dari 3 (dengan skala 4). Dan literatur yang kulahap hanyalah fiksi roman.

Maka, aku merasa menyusuri lorong labirin. Teduh lorong itu dengan dinding yang kuat. Mengamankan aku dari ancaman cuaca atau sergapan bahaya apa pun. Aku tak akan terhantam oleh angin, hujan, panas apalagi dingin. Setiap jengkal dinding bisa kusandari dengan rasa aman yang meyakinkan.

Namun sekaligus itu adalah labirin yang melelahkan, yang memberikan tekanan pada setiap langkah untuk menjadi sebagai seseorang dengan kualitas yang memenuhi standar-standar terpancang, sementara tidak kumiliki cukup daya untuk mencapai standar itu.

Maka aku menyerah.

Lalu dibukanya pintu dan dilepasnya aku pergi. Tanpa saling melukai atau menyimpan sakit hati. Kesepakatan bersama lebih karena terlalu banyak hal yang mesti dipertimbangkan demi keselarasan.
Namun ternyata kami tak pernah benar-benar saling pergi. Selalu ada kesempatan untuk saling mengunjungi beranda masing-masing, mengunyah remah-remah kedekatan yang tersisa. Meneguk minuman pertemanan yang tidak selalu manis dan hangat, melainkan terkadang pahit dan bahkan membuat tersedak. Namun keping persahabatan selalu tersedia dan tersimpan rapi di dalam stoples benak kami masing-masing. Jalinan persahabatan yang tak usai hingga kini.

***

Laki-laki ketiga adalah seorang anak bungsu yang mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian penuh dari seluruh keluarga, terutama ibunya. Sedemikian rupa perhatian itu menguasainya sehingga dia mengira akan mendapatkan hal yang sama dari semua orang. Bahkan merasa berhak untuk menuntut apa yang diinginkannya.

Ketika itu aku sedang dalam masa awal meniti karir, sehingga sedemikian bergairah mengerjakan tugas-tugas kantor, bahkan membawa pulang kertas-kertas kerja untuk lembur di rumah. Suatu ketika kertas kerja itu membuatku tidak terlalu mempedulikan kedatangannya. Maka, begitu saja direbutnya kertas kerjaku dan dihamburkannya berserak.

Kemarahan yang sama sekali tak terduga. Sangat mengejutkanku. Namun, kemarahan itu ternyata segera mereda dengan belaian dan kecupan yang kuberikan. Sama persis dengan seorang anak yang mereda tangis dan rengekannya ketika mendapatkan permen atau mainan yang diinginkannya.
Tidak sulit sebetulnya mengendalikan tipikal laki-laki semacam itu, yang diperlukan hanya kesabaran. Tapi, masalahnya tidak kumiliki persediaan kesabaran yang memadai.

Suatu kali aku dikejar oleh deadline sebuah tugas yang sangat mendesak. Kukerjakan tugas itu di dalam mobil sementara dia mengemudi. Kupikir tugas itu bisa selesai sebelum kami sampai di tujuan sehingga acara kami tidak akan terganggu, sekaligus tugasku selesai dengan rapi tepat waktu.

Tapi, mendadak kemudian direnggutnya kertas-kertasku, dirobek, dibuang, dan diusirnya aku dari mobilnya. Aku turun dengan segera, tanpa sempat terkejut dan mengejar lembaran kertasku yang terbuang. Aku tidak ingin kehilangan kertas-kertas itu karena tidak ada waktu lagi untuk mengulang mengerjakannya. Lalu kucari angkutan umum, meski dia memohon padaku untuk kembali ke mobilnya.

Tidak. Aku tidak hanya tidak kembali masuk dalam mobilnya, melainkan pergi dari seluruh kehidupannya. Kuyakinkan pada diri sendiri bahwa tidak kumiliki kesabaran seorang ibu, apalagi pengabdian seorang pengasuh.

Benar bahwa suatu kali nanti aku akan menjadi ibu dan akan kuasuh anak-anakku dengan kesabaran dan kasih sayang. Tapi aku tidak akan menjadi ibu dan pengasuh bagi seorang laki-laki berumur seperempat abad yang selayaknya menjadi sandaranku.

***

Lalu, perkembangan karirku menyita hari-hariku hingga bertahun-tahun kemudian. Seakan kujejaki dunia baru yang membuatku sedemikian bergairah, memberiku kecukupan dalam banyak hal dan tidak memberi jeda untuk mencari hal-hal yang menggelisahkan sekaligus merepotkan semacam laki-laki.

Hingga kemudian kutemukan laki-laki keempat itu.

Seseorang yang membawaku kembali pada dunia dan komunitas yang lama kutinggalkan. Seorang laki-laki bukan bujangan yang bertahun kemudian masih mengingat gaun yang kukenakan kala pertama kali bertemu dengannya. Seorang laki-laki yang pada pertemuan kedua telah menempatkan aku di dalam pelukannya. Pelukan yang mengembalikan ingatanku tentang kenyamanan rasa bersandar. Rasa yang telah terlupa dan seakan tak kuperlukan lagi.

Seorang laki-laki yang keberadaannya membuatku harus melakukan permainan serupa layang-layang. Tarik ulur lambungan rasa antara kangen dan dirindui serta perasaan terhempas ketika terjauhi.
Permainan yang sesungguhnya mengasyikkan, memicu adrenalin sekaligus membimbangkan ketika ingatan pada etika moral memberikan peringatan. Berapa lama permainan semacam ini akan bertahan?
Lalu pada suatu ketika kuputuskan untuk mengakhiri permainan itu. Kurenggangkan tali dari genggaman, dan kurasakan benang bergerak perlahan menelusuri telapak tangan dan akhirnya terlepas, mengikuti gerak layang-layang melayang pergi terbawa arah angin. Tak ada kesedihan ketika itu, serupa melepas kertas melayang tak berarti.

Sampai kemudian pemilik layang-layang itu datang dan memberiku sebuah buku cerita dengan tokoh utama memiliki nama yang sama persis dengan nama lahirku, sekaligus tahi lalat pada posisi yang serupa dengan yang kupunya. Itu adalah tahi lalat air mata. Setitik bercak hitam persis di bawah garis mata sebelah kanan. Dan, nama lahir itu, adalah nama lahir yang tidak lagi kupakai dan sangat sedikit orang mengetahuinya. Laki-laki itu tidak termasuk di antara yang sedikit itu.

Barangkali itu hanya semacam kebetulan. Namun alangkah mengharukan ''kebetulan'' itu bagiku.

Maka, kemudian kutemukan sesuatu yang berserak di dalam diriku. Serakan serupa kepingan yang berasal dari patahan bernama hati. Patahan yang senantiasa memunculkan luka. Maka kupungut kepingan berserak itu, bukan untuk disusun kembali -karena niscaya akan terlalu banyak retakannya- melainkan untuk disimpan sebagai kenangan.

Kepatahan yang memicu kesendirian, yang menghampiri dan menggigitku dengan ketajaman taring-taringnya. Untuk pertama kalinya aku merasa gentar menghadapi kesendirian, yang selama ini kunikmati bahkan kucari dengan gagah berani. Kali ini aku gentar, oleh suatu kesadaran betapa getir kesendirian itu sesungguhnya.
Lalu rasa takut itu merayapiku, dan menggerakkanku untuk menemukan laki-laki kelima, yang suatu kali pernah kuabaikan.

Serupa menemukan plester penutup luka, aku tahu bahwa seseorang ini akan mengatasi lukaku untuk sementara. Sementara, karena aku tahu dengan pasti laki-laki itu memiliki banyak hal yang tidak kusuka. Tipikal pemberontak yang tak pernah memiliki basa-basi, namun menyimpan koleksi puisi yang memabukkan.
Tanpa basa-basi apalagi permisi, laki-laki itu menyergapku pada sebuah dini hari dengan sebuah pagutan. Pagutan yang sangat telak sekaligus kurang ajar. Namun justru menjadikannya sebagai pagutan menggetarkan yang membekas lama dalam ingatan.

Lalu, ditemukannya kemulusanku yang menakjubkannya, dan kemudian dijelajahinya tanpa mampu kucegah.
''Kau milikku dan aku akan menjadi laki-laki pertama yang menelanjangimu,'' katanya sepenuh keyakinan.

Sangat kurang ajar.

Namun yang kudapati pada diriku bukan rasa marah, melainkan rasa tertaklukkan. Sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Kini aku mencecapnya, menikmatinya dan bahkan menghendakinya kembali pada suatu ketika. Dominasi laki-laki itu atasku menjejakkan sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Dominasi itu entah bagaimana, tidak terasa menjajah, namun justru melenakan.

Alangkah ambigunya perempuan.

Selalu tidak ingin dianggap lemah, kerapkali merasa dilecehkan, namun pada sisi yang lain muncul keinginan untuk ditaklukkan, mencari sebuah dekapan yang mampu membuat diri ingin menyerah pasrah.
Tapi mengapa aku harus menyerah oleh karena sebuah interaksi yang bahkan tidak melibatkan cinta di dalamnya, selain hanya ketakjuban sesaat? Namun pada saat yang sama aku juga tidak ingin kehilangan, sekaligus pula aku bukan pula seorang yang bisa sungguh-sungguh menyerah. Kontradiksi yang membimbangkan, memicu segala gerak yang tanggung.
Dengan segera penyerahanku yang tanggung membuatnya gusar.

''Kau perempuan paling tidak jelas yang pernah kutemui,'' katanya habis sabar. Lalu pergi.

Apakah kalian tahu rasanya ditinggalkan?

Itu adalah perasaan yang membuatmu serupa jerami, batang padi yang kosong tak berguna setelah masa panen. 


Merasa sia-sia setelah dieksplorasi tuntas selama masa pertumbuhan.
Maka, aku tidak mau ditinggalkan.
Aku hanya mau meninggalkan.
Aku tidak sudi ditinggalkan, apalagi oleh seseorang yang telah menelusuri sudut-sudut terjauh di dalam diriku.
Tapi, laki-laki itu berlalu dariku.

Aku diam, sendirian, dengan perasaan tersayat. Lalu lelatu, bunga api dendam mulai memercikkan api yang melayang ....

Tidak mudah menyingkirkan seseorang dari ingatan. Otak manusia tidak terkonfigurasi serupa perangkat komputer bertombol delete, yang akan menunaikan tugasnya menghapus sebuah file, ketika tombol itu ditekan atau diklik. Program ingatan di benak manusia memiliki sistem tak terjelaskan untuk mengingat atau melupakan sesuatu atau seseorang.
Aku tidak menghendaki seorang yang telah meninggalkanku, berdiam di dalam ingatanku, sementara tombol delete itu tidak kupunya dan ingatan tidak selalu menaati kehendakku.
Maka, cara terbaik menyingkirkan laki-laki itu adalah dengan membunuhnya. Itu cara tepat menyingkirkan seseorang dari duniaku, meski belum tentu akan terenyah dari ingatan.

Ya, laki-laki itu harus kubunuh.

Kuhembuskan napas panjang. Kureguk sisa kopi di cangkir.
Baiklah, akan kupikirkan beberapa alternatif cara terbaik untuk membunuh laki-laki ke-5 itu, dalam beberapa hari ini. Sebuah cara membunuh yang elegan, rapi, dan tak berjejak.

Lalu, kumatikan laptop dengan satu sentuhan.

Aku yakin redaksi yang baik hati itu akan sabar menungguku menemukan cara membunuh yang terbaik.
Deadline surat kabar itu masih beberapa hari lagi. (*)


Cerpen Sanie B. Kuncoro
Copyright @2008 IT Dept. JAWA POS
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555


http://cerpeninspirasi.blogspot.com/

0 komentar:

Wardhani - Adimas Immanuel

01.44 Pohon Belimbing 0 Comments

kau masih terus mencariku.
aku tahu sebab kau tapak kaki
yang membekas di tiap jejakku.

kau masih terus membangunku.
aku tahu sebab kau masih tunas
dalam setiap musim kemarauku.

kau masih terus mengenangku.
aku tahu sebab kau masih suara
yang menyusuri igau dan racauku.

sebab kalau bukan hangat kau
siapa lagi yang jadi nyala api
dalam setiap musim dinginku?

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!