PENGERTIAN DAN HAKIKAT PENDEKATAN STILISTIKA

08.42 Pohon Belimbing 0 Comments

Stilistika dalam konteks bahasa dan sastra mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya bahasa), kajian terhadap wujud performasi kebahasaan (Nurgiyantoro, 1998:2179).

Dengan memahami gaya dalam perspektif kesejarahan, dapat diketahui bahwa studi stilistika dalam konteks kajian sastra secara rasional dapat memanfaatkan berbagai wawasan untuk menentukan sudut pandang maupun sikap dan sifat kajian. Studi stilistika seakan-akan hanya perpanjangan tangan kajian linguistik. Sedangkan dalam kenyataannya, studi stilistika tersebut ditinjau dari sejarah perkembangannya dapat dihubungkan dengan sejumlah disiplin keilmuan, baik retorika, semiotika, linguistik, maupun teori sastra (Aminuddin, 1995:2)

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998:280) stilistika kesastraan merupakan sebuah metode analisis karya sastra yang mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan sperti yang terlihat pada struktur laihirnya. Metode analisis ini menjadi penting, karena dapat memberikan informasi tentang karakteristik khusus sebuah karya sastra. Bahkan, menurut Wellek dan Warren, ia dapat memberikan manfaat yang besar bagi studi sastra jika dapat menentukan prisip yang mendasari kesatuan karya sastra, dan jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya (Wellek dan Warren).

Melalui pendekatan stilistika dapat dijelaskan interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput dari perhatian dan pengamatan para kritikus sastra (Panuti Sudjiman, 1993:vii). Sebab, kajian stilistika dalam ssatra melihat bagaimana unsure-unsur bahasa digunakan untuk melahirkan peasan-pesan dalam karya sastra. Atau dengan kata lain, kajian stilistika berhubungan dengan pengkajian pola-pola bahasa dan bagaimana bahasa digunakan dalam teks sastra secara khas.

Langkah pertama yang lazim diambil dalam analisis stalistika adalah mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inverse susunan kata, susunan hierarki klausa, yang semuanya mempunyai fungsi estetis seperti penekanan, atau membuat kejelasan atau justru kebalikannya: usaha estetis untuk mengaburkan dan membuat makna menjadi tidak jelas (Wellek dan Waren, 1993: 226).

Stilistika adalah pendekatan kritis yang mempergunakan metode-metode dan pengetahuan linguistik untuk mempelajari karya sastra dan non-sastra. Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari cara fitur-fitur linguistik mempengaruhi makna sebuah karya secara keseluruhan dan efek-efeknya pada pembaca.

Pada mulanya, stilistika lebih terbatas pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Namun dalam perkembangannya, pengertian gaya juga dilihat dalam hubungannya di luar karya sastra. Maka dibedakan anatar gaya sastra dan gaya non sastra. Jalan pikiran yang nmenyebutkan betapa eratnya hubungan antara bahasa sastra dapat dikemukakan sebagai berikut. Pada perinsipnya , ‘seni sastra’ (baca juga ‘seni bahasa’) dapat dipandang dari dua segi kemungkinan. Pertama, ‘seni sastra’ dipandang sebagai bagian dari seni pada umumnya. Di sini, karya sastra dikaji sebagi objek estetika, dengan mengkhususkan perhatiannya pada gejala bahasa , plastik bahasa, dan penggunaan bahasa kias/majas atau bahasa figurative (figurative language), serta sarana retorika yang lain. Jadi pengkajiannya masuk kedalam kajian stilistika, retorika dan estetika. Kedua, seni sastra dipandang sebagai bagian dari ilmu bahasa (linguistik) pada umumnya.Dalam hal ini seni sastra dikaji dengan berdasarkan penggunaan bahasa yang khas. Jadi masuk pada lingustik terapan. Ia dikaji ragam bahasa yang digunakan. Apa jenisnya. Penekanannya pada pengkajian teks sastra. Landasan teorinya adalah konvensi-konvensi atauu konsepsi-konsepsi sastra atau bahasa

0 komentar:

Kusala Literary Award: Pontifikat dalam Kesusasteraan Indonesia

09.03 Pohon Belimbing 0 Comments


Kusala Sastra Khatulistiwa yang sebelumnya –2014 bernama Khatulistiwa Literary Award adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Pemenang Kusala Literary Award didasarkan pada buku-buku puisi dan prosa terbit dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yang kemudian diseleksi secara ketat oleh para dewan juri.

Latar Belakang Kusala Literary Award

Kusala Literary Award lahir dari sebagai bentuk apresiasi kepada para penulis Indonesia. Di tahun 2000, Richard Oh melontarkan sebuah gagasan untuk memberi penghargaan kepada penulis Indonesia. Richard Oh sangat prihatin dengah kondisi kehidupan kebanyakan penulis Indonesia. Kebutuhan untuk perangkat kerja seperti komputer dan tuntutan keseharian semakin menggerus waktu dan kenyamanan para penulis untuk meneruskan eksplorasi mereka dalam sastra. Keprihatinan itulah yang kemudian membuat Richard Oh berpikir sebuah anugerah sastra dengan pundi yang memadai dapat sangat membantu meringkan beban para penulis.
Dari sini terlahirlah Khatulistiwa Literary Award, yang pada tahun 2014, diganti namanya menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa. Selama 16 tahun, Kusala Sastra Khatulistiwa berkembang terus berkat masukan-masukan dari berbagai pihak di komunitas sastra. Sejak awal pendirian, Kusala Sastra Khatulistiwa dirancang sebagai sebuah anugerah sastra dari komunitas sastra untuk para penulis. Oleh karena itu, berbagai format penyeleksian dan penentuan dikembangkan agar Kusala Sastra Khatulistiwa tetap bertahan sebagai sebuah anugerah yang mencerminkan kehendak kebanyakan orang dalam komunitas sastra.

Sistem Penjurian

Sistem Penjurian dalam Kusala Literary Award, dalam kamus saya, seperti sangat rahasia. Tidak ditemukan artikel atau jurnal yang benar benar menjelaskan bagaimana pemenang Kusala Tilerary Award ini dipilih. Menurut sebuah wawancara, proses penjurian pertama kali adalah, Richard Oh sebagai penggagas Kusala Literary Award memilih sendiri ketua juri, lalu nanti ketua juri yang akan memilih juru juri lainnya. Juri juri lainnya tidak saling mengetahui dan mereka nantinya akan memilih karya sastra yang akan dijadikan kandidat. Keputusan akhir  akan diputuskan bersama.
Mengenai bagaimana penjurian dilakukan pun sepertinya menjadi bahan perdebatan, karena tidak seperti lomba-lomba pada umumnya, pertanggung jawaban juri ats proses penjurian tidak pernah dipublikasikan. Saya sendiri menyimpulkan, bahwa sejatinya, Kusala Literary Award ini hanya bersifat selera pribadi saja.

Kusala Literary Award: Paus yang Tak Punya Kuasa

Kusala Literary Award, seberapa abstraknya dan seberapa banyak masalahnya, tetap sajapunya andil yang sangat besar dalam kesusateraan Indonesia. Selain hadiahnya yang memang lumayan, penghargaan Kusala Literary Award merupakan salah satu penghargaan sastra terbesar di Indonesia.
Namun, yang dipertanyakan adalah, jika visi dari pembentukan Kusala Literary Award adalah untuk membantu penulis agar terus mengeksplorasi sastra, mengapa justru karya satsra yang dianugerahi label terbaik ini justru tidak laku di pasar sastra?
Malam Penganugerahan Kusala Literary Award 2018 yang diselenggarakan Oktober 2018, mengumumkan pemenangnya, yakni dalam kategori puisi adalah Museum Masa Kecil karya Avianti Armand, kategori prosa adalah Kura-kura Berjanggut karya Azhari Ayyub, dan kategori karya pertama dan kedua adalah Ibu Susu karya Rio Johan.
Saat membaca judul pemenang Kusala Literary Award 2018, saya kembali mempertanyakan kekuasaan pengaruh Kusala Literary Award ini. Apakah penghargaan Kusala Literary Award  ini benar benar sebuah ajang berprestasi yang harus dibanggakan penulis, atau mungkin justru tidak. Kusala Literary Award, mungkin memang berpengaruh secara prestise, tetapi seakan tidak punya kuasa apa apa. Kusala Literary Award ini bagaikan raja terkenal yang sudah mati, membanggakan memang, tapi tidak punya kuasa dan disegani. Kenyataannya memang, semua judul karya sastra di atas tidak pernah ditemukan di rak best-seller di toko-toko buku, atau bahkan kutipannya mencuat di media sosial.
Jadi, Kusala Literary Award dalam kesusasteraan Indonesia khususnya, apakah benar benar punya kuasa dan prestise, atau justru kalah kuasa malah dengan kepausan toko buku besar dan pontifikat pontifikat kecil kesusateraan di media sosial.

0 komentar:

Sayap Sayap Patah - Sebuah Laporan Bacaan

01.54 Pohon Belimbing 0 Comments


Sebelum menuliskan keindahan dari buku ini, buku ini awalnya ditulis tahun 1912, didedikasikan untuk Mary Elizabeth Haskell, perempuan yang sungguh dicintai oleh Gibran. Mungkin memang fiksi, tetapi disini kita bisa melihat bagaimana seorang Kahlil Gibran menggambarkan cinta yang tidak membahagiakan.

Tokoh utama dari cerita ini adalah seorang pemuda, yang menggambarkan Kahlil Gibran itu sendiri, dan seorang perempuan bernama Salma Karama, yang berumur 20 tahun kala itu. Mungkin saja, ini adalah cinta pertama dan terakhir Kahlil Gibran. Salma adalah gadis cantik muda dari Beirut yang digambarkan begitu indah seperti kolam, begitu dalam sedalam lautan, dan menghidupi hidupnya. Cerita dimulai ketika Gibran pergi ke Lebanon untuk jalan-jalan dan bertemu dengan sahabat ayahnya, Farris Effandi Keremy. Farris berusia cukup tua dan sangat lembut dan baik hati dan telah kehilangan istrinya ketika Salma masih remaja. Dia mengundang Kahlil Gibran ke rumahnya. Suatu malam Gibran pergi ke sana dan bertemu dengan seorang gadis cantik Selma yang merupakan putri Farris, dan begitulah mereka saling jatuh cinta.

Cinta sejati mereka akhirnya tidak membahagiakan karena Salma dipaksa menikahi keponakan Uskup Bulos Galib yang bernama Mansour, yang meskipun tanpa restu dari ayahnya tetapi tetap dilaksanakan karena tidak ada yang bisa melawan Uskup. Kehidupan Salma berubah menjadi kesengsaraan setelah pernikahannya, sementara Gibran menderita kehilangan perempuan yang dicintainya.

Dan setelah lima tahun menikah. Salma melahirkan seorang anak laki-laki  yang meninggal segera setelah ia dilahirkan. Selma juga, pada akhirnya, meninggal.

Sungguh, cerita ini adalah cerita paling tragis, dan menyedihkan, menurut saya setelah Romeo & Juliet dari Shakespeare. Ini adalah adalah kisah cinta yang sederhana, sejuk, tenang, lembut, dan dengan akhir yang menyedihkan. Cerita ini memberitahu kita bagaimana mengekspresikan diri tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan bagaimana cara mendengarkan keheningan. Cerita ini memberi tahu kita apa arti kata “cinta”  yang sesungguhnya dan makna dari kebahagiaan dan juga kesedihan. Cerita ini menceritakan betapa mudahnya memahami cinta yang sesungguhnya namun betapa sulitnya kadang-kadang teguh memegangnya.

Dalam cerita ini juga, Kahlil Gibran mengatakan bahwa cinta itu seperti air, kita tidak bisa menahannya di tangan. Kita bisa menghirupnya di dalam diri kita, tetapi kita tidak bisa menahannya, air itu masuk ke dalam diri. Bahkan, air itu menghasilkan kehidupan di dalam diri kita. Cinta bukan tetntang mendapatkan, sebaliknya itu bukan kerajaan atau permainan yang kita butuhkan untuk menang, tetapi itu sebuah perasaan yang lebih menginginkan untuk memberi daripada mendapatkan atau berekspektasi. Kahlil menuangkan pikirannya yang murni dalam cerita ini.

Saya membaca buku ini pertama kali ketika kelas dua SMP, dan begitulah saya jatuh cinta dengan puisi dan prosa dan seluruh kata kata cinta yang apik dan bernilai. Sayap Sayap Patah bukan hanya sebuah buku, melainkan sebuah karya seni. Karya seni yang begitu mengesankan untuk bukan hanya sekadar dibaca, namun juga direnungkan, mengingatkan kembali diri kita sendiri tentang kemurnian jiwa dan cinta.

Salah satu kutipan yang paling saya suka dari buku ini adalah,
"The heart of a woman does not change with time and does not change with the seasons, the woman's heart is long but not dead. The heart of a woman resembles the wilderness that man takes as a battlefield for his wars and his escape. He uproots her trees, burns her herbs, stabs her rocks with blood and implants her bones and skulls, but remains calm, still and reassuring. The spring keeps spring and autumn to the end of the ages ... "


0 komentar:

Tentang 2018

11.24 Pohon Belimbing 0 Comments


0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!