Casa Raligian

18.38 Pohon Belimbing 0 Comments

Minggu berputar-putar dalam paru-paru kita.
Angin yang akrab mengembuskan ketaatan
masa kanak-kanak yang hampir kita lupakan.

Waktu: ruang haru, aku kenali sengal napas itu.
“Hari depan mungkin menghangat," kilahmu.
Tapi dingin ini tak terelakkan meski tubuh
berselimutkan lembar demi lembar Amsal.

Ada yang tak kekal di ruang ini, mungkin doa.
Kita, ricik tanpa arus, tidak menuju muara.
"Apakah bisa kita seperti ini saja,
tanpa harus menjadi apa dan siapa?” tanyamu.

Panjang atau pendek garis yang kita gores,
hari depan, kau tahu, menghapus percayamu.
Ragu bilah panjang tanpa ukuran dan ketetapan.

Dan aku memasuki dirimu sekali lagi,
untuk memastikan tak ada yang kekal di situ.
Tak ada yang pasti dari kecemasanmu.


Jakarta, 2016

http://www.adimasimmanuel.com/2016/02/casa-raligian.html

0 komentar:

Lelaki yang Membelah Bulan

18.21 Pohon Belimbing 0 Comments

Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.

“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.

”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”

Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.

Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian.

Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.

”Kamu ngapain malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.

”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”

Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku.

Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku…. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.

Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan.

Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali.

”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.”

Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.

Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.

”Aku menyukai matamu.”

Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan lagi.

”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya.

Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.

”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?”

Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.

”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?”

”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.”

”Sekarang?”

”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”

Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.

Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang.

”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku.

”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.”

Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar.

”Mengapa kamu datang?”

Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh.

”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”

Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata.

”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya.

”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.”

Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta.

”Ha-ha-ha-ha-ha-ha… kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.”

Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam.

”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya.

”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.”

Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.

Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam. Sayangku.”

•Terima kasih untuk Oky S Harahap

Ubud, 26 Januari 2010

https://cerpenkompas.wordpress.com/2010/02/21/lelaki-yang-membelah-bulan/

0 komentar:

Via Dolorosa

07.58 Pohon Belimbing 0 Comments

Down the Via Dolorosa in Jerusalem that day
The soldiers tried to clear the narrow street
But the crowd pressed in to see
A Man condemned to die on Calvary

He was bleeding
from a beating, there were stripes upon His back
And He wore a crown of thorns upon His head
And He bore with every step
The scorn of those who cried out for His death

(chorus)
Down the Via Dolorosa called the way of suffering
Like a lamb came the Messiah, Christ the King,
But He chose to walk that road out of His love
For you and me.
Down the Via Dolorosa, all the way to Calvary.

0 komentar:

Sam Smith - Writing's On The Wall

09.15 Pohon Belimbing 0 Comments



I've been here before
But always hit the floor
I've spent a lifetime running
And I always get away
But with you I'm feeling something
That makes me want to stay

I'm prepared for this
I never shoot to miss
But I feel like a storm is coming
If I'm gonna make it through the day
Then there's no more use in running
This is something I gotta face

If I risk it all
Could you break my fall?

[Chorus:]
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
For you I have to risk it all
Cause the writing's on the wall

A million shards of glass
That haunt me from my past
As the stars begin to gather
And the light begins to fade
When all hope begins to shatter
Know that I won't be afraid

If I risk it all
Could you break my fall?

[Chorus:]
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
For you I have to risk it all
Cause the writing's on the wall

The writing's on the wall

[Chorus:]
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
For you I have to risk it all
Cause the writing's on the wall

0 komentar:

November Rain - Guns 'N Roses

09.18 Pohon Belimbing 0 Comments

When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same

'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain

We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain

But lovers always come and lovers always go
And no one's really sure who's lettin' go today
Walking away

If we could take the time
To lay it on the line
I could rest my head
Just knowin' that you were mine
All mine
So if you want to love me
Then darlin' don't refrain
Or I'll just end up walkin'
In the cold November rain

Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time... on their own
Don't you know you need some time...all alone

I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you

Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some time...all alone
Everybody needs some time... on their own
Don't you know you need some time...all alone

And when your fears subside
And shadows still remain
I know that you can love me
When there's no one left to blame
So never mind the darkness
We still can find a way
'Cause nothin' lasts forever
Even cold November rain

Don't ya think that you need somebody
Don't ya think that you need someone
Everybody needs somebody
You're not the only one
You're not the only one

0 komentar:

Jason Mraz - I Won't Give Up

08.27 Pohon Belimbing 0 Comments

When I look into your eyes
It's like watching the night sky
Or a beautiful sunrise
Well, there's so much they hold
And just like them old stars
I see that you've come so far
To be right where you are
How old is your soul?

Well, I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up

And when you're needing your space
To do some navigating
I'll be here patiently waiting
To see what you find

'Cause even the stars they burn
Some even fall to the earth
We've got a lot to learn
God knows we're worth it
No, I won't give up

I don't wanna be someone who walks away so easily
I'm here to stay and make the difference that I can make
Our differences they do a lot to teach us how to use
The tools and gifts we got, yeah, we got a lot at stake
And in the end, you're still my friend at least we did intend
For us to work we didn't break, we didn't burn
We had to learn how to bend without the world caving in
I had to learn what I've got, and what I'm not, and who I am

I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, I'm still looking up.

Well, I won't give up on us (no I'm not giving up)
God knows I'm tough enough (I am tough, I am loved)
We've got a lot to learn (we're alive, we are loved)
God knows we're worth it (and we're worth it)

I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up

0 komentar:

Setelah Petang - Adimas Immanuel

03.21 Pohon Belimbing 0 Comments

"Pulanglah, berdamailah" kata sebuah suara petang ini.
Suara yang terbang rendah setelah angin kota bersijingkat
ke arah hutan dan wangi cemara tak menghapus
bau hangus jalanan. Penciuman kita telah tahu
ada yang selalu terbakar dalam
perjumpaan dan perpisahan.

Setelah petang kenangan tentang rumah adalah rawa
muncul dan membenamkan kegamangan orang jauh:
ingatan tentang ranjang tua, gonggongan anjing,
foto ayah ibu, piring-piring beling, akuarium
kelokan gang sempit, lampu jalan dan kau.

wajahmu berkelebat seperti arwah para jagal
selepas jam tidur kota, menghantui kesadaranku
dengan kelebat cita, harap, doa dan putus asa:

kau telah
menjadi dongeng sebelum
para pencerita menemukan kata pembuka

kau telah
menjadi jendela yang setia
menantiku pulang untuk mengaku terluka

Jakarta, 2016

http://www.adimasimmanuel.com/2016/02/setelah-petang.html

0 komentar:

Eyang - Putu Wijaya

10.25 Pohon Belimbing 1 Comments

Dan Lebaran pun datang lagi. Persoalannya belum bergerak. Harga kebutuhan pokok naik. Masyarakat panik. Heboh mudik. Korban jiwa di jalanan bikin galau dan arus balik dapat dipastikan akan tetap kacau.
Aku sendiri punya persoalan buntu, yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya hanya cukup untuk bayar uang pangkal sekolah anak-anak.
Sempat ada cucunguk yang menawarkan bagaimana mendapat SKM, dan KGS—kartu yang bisa menolong mengurangi beban. Tapi apa daya hati kecil menolak. Akhirnya kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di puncak Ramadhan.
Sementara, orang suka-ria jor-joran merayakan Hari Kemenangan, kami sekeluarga teriris kesunyian. Untungnya tak ada anak-anak yang ngomel. Mungkin ibunya sudah berhasil mencuci otak mereka. Paling tidak untuk menyakiti hati bapaknya yang sudah keok.
Namun penderitaanku tetap tidak berkurang. Walau tidur berhimpitan di dipan kecil, dengan ibunya anak-anak, sudah sebulan aku tanpa keindahan—sesuatu yang selalu aku bangga-banggakan sebagai benteng milikku yang terakhir.
Tetapi menjelang malam takbiran. Hummer 3 milyar milik Bos berhenti depan rumah. Aku meloncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar-bugar, aku sudah menyapa:
”Sore Bos, minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”
Dia membalas lalu tertawa.
”Jadi sudah pasti, besok?”
”Pasti Bos, sudah ketok palu.”
”Oke. Tapi kalian tidak ke mana-mana seminggu ini, tidak mudik kan?”
”Untuk apa harus mudik, Bos, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!”
Dia tertawa lagi.
”Oke, kalau begitu tolong titip Eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke China, katanya untuk apa ke sana, orang Tionghoanya malah banyak ke Jawa. Nginap di hotel nggak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian ini yang sudah dikenalnya. Oke?!”
Aku belum sempat menjawab, pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi kopor besar perlengkapannya.
”Salam walaikum…”
Aku sampai lupa membalas sapa Eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk makan sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaimana kalau mesti menjamu Eyang yang hanya doyan makan masakan Eropa dan buah-buahan impor itu?
Kesalahanku berikutnya, ini sulit aku maafkan. Ketika Bos merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompet, menalangi biaya mengurus. Eyang, dengan sigap aku kunci sikunya, sambil senyum TST menunjukkan tak ada masalah:
”Beres Bos, jangan ragu-ragu, kami akan jaga beliau, Bos berangkat saja. Kapan?”
”Ini sekarang langsung ke Cengkareng!”
Aku masih bisa tersenyum. Bangsat memang. Aku selamanya terlambat memantau kemalangan. Barangkali memang itu bakat dasar pecundang. Tak mampu membaca proses, jadi semua harus dijalani. Baru setelah Hummer itu lenyap, dan istriku berbisik di telinga sembari senyum berarti: ”Dikasih berapa?” Baru aku nyahok. Rasanya dunia kiamat.
Enak saja itu orang-orang besar berkoar: bahwa uang bukan segalanya. Nyatanya uang tiap detik tanpa harus dibuktikan lagi, adalah segala-galanya.
Tak paham bahaya apa yang sedang terjadi, istriku menyambut Eyang dengan hangat. Anak-anak semua dikerahkan untuk memanjakan Eyang. Orang tua yang berusia 90 tahun itu, diperlakukan sebagai berlian, layaknya seorang dewa. Dengan berbagai alasan aku menyelinap ke kamar. Setengah mati aku obok-obok almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual. Akhirnya aku terpaksa merelakan jam tangan Rolex, suvenir Bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hong Kong.
Membawa Rolex itu, aku menyelinap ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya cepat.
”Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”
Kardi menguras tas pinggangnya, ada sekitar 60 ribu.
”Di kantung celana dalammu, Bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri!!”
Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam itu. Besok soal besok.
Ketika kembali ke rumah, istri dan anak-anakku nampak kelimpungan. Aku jadi cemas.
”Eyang hilang, Bang!” kata istriku ketakutan, ”Tadi lagi semua beres-beres untuk menetapkan kamar beliau, kami lupa memperhatikannya. Jangan-jangan beliau tersinggung. Setelah kamarnya siap, beliau kabur!”
”Padahal tadinya Eyang ikut membersihkan kamar,” lapor salah satu anakku. ”Eyang bahkan ngelap meja sambil menyanyi, Apa Apanya Dong! Dia yang merancang bagaimana mengaturnya, di mana harus meletakkan kopornya. Tapi tiba-tiba hilang! Jangan-jangan dia sudah pulang lagi!”
Aku cepat ambi-alih kendali. Anak-anak disebar ke tetangga menyelusuri jejaknya. Ada yang mencari ke rumah Bos. Aku sendiri lapor ke kantor polisi. Istriku gentayangan bertanya-tanya pada siapa saja di jalanan. Hasilnya nol.
Dengan tangan hampa, pukul 22.00 WIB kami memutuskan kembali ke rumah. Malam takbiran sudah digelar. Lalu-lalang dan suara petasan heboh. Kami semua lelah, gerah, lapar dan cemas.
Seperti kalah perang, kami masuki rumah. Aku mencoba menghubungi Bos lewat SMS, berharap dia masih di bandara. Tapi seperti sudah kuduga, HP-nya dimatikan. Rasanya aku makin tolol saja.
Tiba-tiba dari ruang makan ada teriakan.
”Hee, ayo buruan! Nanti keburu dingin semua!”
Kami semua terkejut, lalu bergegas ke meja makan. Di situ menunggu Eyang dengan meja penuh makanan. Kami takjub. Bau sedap mengacau otak kami.
”Ayo serbu saja, kalian sudah 30 hari kelaparan, kan?!”
Tanpa menunggu komando kedua, kami menyerbu. Seperti piranha kami sikat habis yang ada di meja. Dalam sekejap, ludas tandas semua.Eyang memperhatikan kami makan dengan kagum. Matanya yang bersinar itu berkaca-kaca. Ia kelihatan begitu terharu pada kerakusan kami.
”Eyang belum pernah melihat orang menghargai makanan seperti kalian,” kata Eyang sambil menepuk pundak anak-anakku, ”Dada ini rasanya plong, hidangan tidak ada sisanya. Besok di samping dipesankan lagi yang lebih enak, Eyang juga akan masak resep tradisional warisan leluhur Eyang. Setuju?!”
Kami menjawab serentak, ”Setuju!”
Habis makan, kami pindah ke ruang depan, nonton televisi. Atas usul Eyang, anak-anak memilih mata acara, kemudian dinikmati bersama. Itu terbalik dari kebiasaan. Biasanya aku atau istriku yang berperan.
”Eyang heran, kenapa kalian tidak masak menjelang buka, air juga merah mengandung larutan zat besi begitu! Ternyata tidak ada beras lagi di dapur. Eyang pikir kalian berkecukupan, habis pakaiannya keren-keren begitu, eee ternyata itu keliru, kalian ternyata kere, he-he-he! Tapi tak apa. Biasa! Semua orang begitu! Besok semua biaya tanggungan, Eyang!”
Kami tercengang, tak percaya apa yang kami dengar. Eyang tak mencoba meyakinkan kami. Kelihatan jenis orang tak peduli. Tak suka basa-basi, ngomong hanya satu kali. Di mata kami, dia jadi seksi.
Lalu Eyang mengajak nonton siaran musik. Dan langsung ikut jingkrak-jingkrak edan. Tapi akhirnya, aku dan istriku ikutan joged. Rumah berubah jadi diskotik.
Ujung-ujungnya Eyang dan anak-anak nonton pertandingan Barcelona mempermalukan Thailand 7-1.
Aku dan istriku tercengang melihat orang tua yang lanjut usia itu, berteriak dan misuh-misuh mengikuti larinya bola. Eyang seperti ornamen yang melempas dari pola yang telah lama menindasnya. Ia begitu lepas. ”Makhluk apa ini?” bisikku. Tapi kemudian kuralat. ”Makhluk dari mana sekarang aku ini?”
Esoknya dan esoknya, menjadi hari-hari baru. Ajaib, bagaimana Eyang menyulap rumah kami dalam sekejap, dari gelap, mendadak ceria dan bersemangat.
Di luar dugaan, Eyang ternyata berlapis-lapis di bawah keriputnya. Ia yang semula terasa sebagai fosil, monster masa lalu, jebulnya menyembunyikan, memiliki kepribadian lentur.
Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Tapi dinamis terbuka, toleran, apa ya, pendeknya menyenangkan.
Tak sebagaimana yang kami duga, kekayaannya tidak menjadikan dia pongah atau egois. Eyang onderdil canggih yang dipasang di mana pun, klop.
Anak-anak terpesona. Awalnya bingung mengapresiasi, bagaimana mungkin mereka bisa luluh dengan produk zaman baheula itu. Ternyata kenyataan bertentangan dengan teori.
Aku tak habis pikir, bagaimana Eyang bisa aktif, gesit, spontan dan ringan menghampiri kami. Khususnya anak-anak yang sering kami cap liar, bablas?
Sama sekali tanpa jarak, tanpa terasa dibuat-buat. Eyang menghampiri menjemput dan membalut kami seperti kabut menelan gunung.
Anak-anak tenggelam, lupa daratan dalam pukau Eyang. Baru pertama kali kurasakan bahwa usia, latar belakang, kondisi sosial, tidak menjegal. Tak ada yang bisa menghalangi asal manusia mau menyatu.
Pada hari keenam, Eyang mengajak kami menyewa sebuah minibus pariwisata. Lalu semua kami keliling sekitar Jakarta, mengecap situs-situs bersejarah.
Perjalanan yang menelan waktu sepanjang hari itu sangat menarik. Meskipun juga melelahkan. Tapi tak seorang pun nampak menyesal.
Pukul 19.00, kami baru sampai di rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil Hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.
”Bapak mendadak pulang karena dipanggil Presiden ke istana, dalam rangka perombakan susunan kabinet,” katanya kepada Eyang, ”Saya diperintahkan menjemput Ibu.”
Eyang sama sekali tak menjawab, seakan-akan tak mendengar. Ia langsung mengerahkan anak-anak mandi, untuk kemudian nonton acara tv yang sudah mereka tunggu-tunggu.
Sopir agaknya sudah hapal watak Eyang. Ia tak mengejar Eyang, tapi mendesakku.
”Pak, tolong dibantu. Saya harus membawa Ibu pulang sekarang, Pak. Kalau tidak, Bapak nanti datang sendiri ke mari.”
Begitu dia selesai ngomong, HP-nya bunyi. Dia langsung menyodorkannya kepadaku.
”Untuk Bapak, dari Bapak.”
Aku menyambut HP.
”Halo Bos, selamat datang kembali ke Tanah Air!”
”Heee. Min! Tolong kirim sekarang juga Eyang pulang! Sekarang! Cepat!”
Aku tak sempat menjawab, karena sambungan diputuskan. Sopir mengangguk menerima HP-nya kembali. Aku merasa terjebak. Bukan jadi penting karena pegang kunci, justru sebaliknya, korban. Memang bedanya tipis.
Aku yakin, nampaknya ada sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang
tidak harus kuketahui. Aku samperin Eyang.
Di luar dugaanku, rupanya aku tidak perlu susah-payah mendesak Eyang. Meskipun itu tidak disukainya, Eyang sudah berkemas. Ia melemparkan barang-barangnya ke kopor.
Bahkan belum sempat aku buka mulut, Eyang sudah keluar kamar menyeret kopornya. Setelah bicara empat mata dengan istriku, ia menuangkan dirinya ke mobil.
Tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang, dingin dan sunyi. Ia kembali memasuki perannya yang lama. Kami semua sedih melihat ia begitu saja hilang dari jangkauan.
Setelah Eyang pergi, rumah mati angin. TV tetap bising, tapi anak-anak terpaku beku. Aku dibakar lelah. Tiba-tiba aku menyadari begitu banyak yang sudah alpa kulakukan. Mengapa orang tuaku sendiri, nenek dan kakek asli anak-anakku tidak pernah kusikapi seperti Eyang?
Terbangun di tengah mimpi, tv masik heboh. Tapi anak-anak sudah kabur ke kamarnya. Di sampingku istriku sedang mengeluarkan duit dari amplop.
”Dari Eyang,” kata istriku menunjukkan uang itu.
Aku tidak tertarik.
”Abang tahu jumlahnya?”
Aku tidak peduli.
”Setengah milyar!”
Aku kaget.
”Berapa?”
”500.000.000!”
”Lima ratus juta?”
”Ya! Kata Eyang, ini duitnya sendiri yang dia tabung selama 20 tahun.”
Kantuk dan lelahku kontan hilang. Mataku terbelalak melihat mimpi itu.
”Tidak. Kita tidak bisa menerima itu!”
Istriku mengulurkan duit itu. Aku merasakan auranya panas. Itu perangkap. Aku pun mengelak.
”Tidak! Kita tidak boleh menerima itu! Jangan menipu orang tua. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Kembalikan, demi Tuhan jangan ikut bisikan setan!”
Istriku teranjat. Aku yakin dia menganggapku edan. Tapi keputusanku itu sudah final.
”Kembalikan!”
Aku terlalu capai. Tanpa daya aku tergeret ngorok. Baru ketika ada suara-suara bising keras di sekitarku aku mendusin.
Anak-anak kembali kumpul, depan tv. Mereka menonton pertandingan bola bersama Eyang.
Istriku menghampiri lalu berbisik:
”Eyang kembali lagi. Bos sendiri yang mengantarkan. Katanya Eyang merasa betah, diwongkan di sini!”
”Amplopnya?”
”Sudah aku kembalikan kepada Bos, seperti perintah Abang.”
”Bos sudah tahu berapa isinya?”
”Belum.”
”Mestinya dikasih tahu.”
”Tapi dia memberikan kita ini!”
Istriku menunjukkan 3 lembar ratusan ribu.
”Hanya 300 ribu untuk biaya ngurus Eyang seminggu?”
”Bukan seminggu. Eyang mau tinggal sama kita di sini sebulan!”
Aku terperanjat.
”Sebulan? Edan kenapa bukan seumur hidup!”
Aku banting 3 lembar ratusan ribu bangsat itu setelah BBM naik, itu hanya cukup untuk 4 kilo bawang.
Istriku menyabarkan, sambil menarik tanganku ke kamar.
”Sssstttt! Sudahlah, Bang, kan kata Abang biasanya, duit bukan segala-galanya!”
Aku terus berang ngedumel. Itu tak adil! Tak adil! Tapi tak menolak mengikutinya ke kamar. Malam itu dipan kami terasa makin sempit. Dan kami mencoba berjuang lagi membuktikan, duit bukan segala-galanya.
Ilustrasi Karya : Herjaka
Terbit di Harian Kompas pada 20 Oktober 2013

1 komentar:

Matinya Seorang Demonstran - Agus Noor

09.54 Pohon Belimbing 0 Comments


PAHLAWAN hanyalah pecundang yang beruntung. Ratih selalu tak bisa melupakan kata-kata itu setiap kali melewati jalan ini. Telah banyak yang berubah. Tak ada lagi deretan kios koran, warung gado-gado, dan penjual bensin eceran di pojokan. Bangunan kuno asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi kanan telah menjadi ruko bergaya modern. Waktu mengubah gedung-gedung, tapi tidak mampu mengubah kenangannya.
Ratih tersenyum membaca nama jalan itu. Teringat apa yang dikatakan Eka. ”Banyak orang ingin jadi pahlawan, agar namanya dijadikan nama jalan. Mungkin, itulah satu-satunya keberuntungan menjadi pahlawan di negara ini.” Ada sinisme dalam kata-katanya. Tapi itulah, yang ketika pertama kali bertemu dalam satu diskusi, membuatnya suka pada Eka. Dia selalu menarik perhatian dengan pernyataan-pernyataan yang disertai kelakar. ”Militerisme pasti mati di Republik ini. Dan aku adalah orang sipil pertama yang akan menjadi Panglima ABRI. Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi Bintang Tujuh. Lumayan, bisa buat obat sakit kepala…” Saat itu Presiden Soeharto memang baru mendapat gelar Jenderal Besar Bintang Lima. Dan Bintang Tujuh adalah merek puyer obat sakit kepala.
Ratih kemudian tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu sebabnya dia cenderung penyendiri. ”Aku kurang flamboyan sebagai aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil berorasi di mimbar. Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona para demonstran. ”Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan, ada yang memikirkan. Aku memilih yang kedua,” katanya. ”Mimbar dan panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar hanya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu turun panggung, mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”
Ratih ingat ketika Eka mengantar pulang setelah menonton pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka yang menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya nonton karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang menurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti berani meneguk racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penulisnya seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia adalah mahasiswa filsafat yang merasa lebih hebat dari Socrates yang dipujanya. ”Lakon yang kamu tulis itu membuktikan kamu memandang hidup ini getir. Makanya selalu sinis.”
”Sinis bagaimana?”
”Ya, hampir semua hal kamu tanggapi dengan nyinyir…”
”Jangan salah,” Eka menatapnya tajam. ”Kamu harus membedakan antara filsuf dan orang biasa. Kalau orang biasa sinis, akan dianggap nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis, itu disebut kritis.”
”Gundulmu, Ka!!
Eka tertawa dan memeluk pundaknya. Entah kenapa, saat itu ia tak mencoba mengelak.
Laki-laki romantis adalah laki-laki yang bisa membuat perempuan tertawa. Ratih teringat kalimat di sebuah buku: menikahlah dengan laki-laki pertama yang membuatmu tertawa. Ia lupa judulnya. Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya pertama kali pada malam Jumat. Tidak membawa bunga, tapi martabak. ”Pertama, mesti kutegaskan,” katanya. ”Aku sengaja datang malam Jumat, karna tahu, malam Minggu kamu sudah milik orang lain. Aku tak berhak mengganggunya. Seseorang yang bahagia adalah seseorang yang diberi kesempatan memilih dalam hidup. Maka aku memberimu kesempatan, agar kamu bisa memilih sendiri kebahagiaanmu. Tak perduli, apakah bagimu nantinya aku pilihan kedua atau pertama.”
”Jadi kamu tahu aku sudah punya pacar?”
”Kalau perempuan semanis kamu tidak punya pacar, pasti ada yang salah pada selera semua laki-laki di dunia ini.”
Ratih tertawa.
”Dan kedua, soal martabak ini. Sebagai anak kost, aku mesti yakin, bahwa aku tidak membelikanmu sesuatu yang akan sia-sia. Itu sebabnya aku membawakanmu martabak.”
”Kenapa?”
”Karna bila kamu tak suka, aku bisa memakannya sendiri.”
Ia memang tak suka martabak. Hanya mencicip sepotong untuk basa-basi, selebihnya Eka yang menghabiskan. Sejak itu (seperti yang selalu diistilahkan Eka) dia menjadi ”pemilik malam Jumat”. Sebab ”pemilik malam Minggu” adalah Munarman, mahasiswa ekonomi sefakultas yang sudah dua tahun menjadi pacar Ratih. Keduanya kutub yang bertolak belakang.
Munarman–lebih suka di panggil Arman–bertubuh tegap atletis. Seorang yang selalu tak ingin ketinggalan baju-baju yang sedang menjadi mode di majalah popular. Eka ringkih dan selalu tampak kucel dengan kaos yang seminggu bisa dipakainya terus-menerus. Dia punya argumen: jauh lebih berguna menghabiskan waktu untuk membaca buku dari pada untuk mencuci baju. Arman selalu mengajaknya ke kafe, diskotik atau ramai-ramai karaokean dengan kawan-kawan gaulnya. Bila mengajaknya keluar, Eka membawanya ke acara-acara diskusi, pembacaan puisi, pameran lukisan atau sampai larut menghabiskan sepoci teh di warung deket kampus. Seringkali malah hanya jalan kaki, menyusuri jalanan tanpa tujuan. ”Jalan kaki ini bukan perkara idiologi,” kata Eka, ”tapi karena aku memang tak punya mobil.” Terdengar sinis seperti biasa. Seakan ditujukan pada Arman yang memang selalu menjemput Ratih dengan mobil terbarunya.
Arman anak purnawirawan Kolonel Angkatan Darat. Ayah Eka guru Sekolah Dasar Inpres di sebuah desa–yang dalam ungkapan Eka sendiri disebutnya ”tak akan pernah pantas dimasukkan dalam peta Indonesia saking terbelakangnya”. Arman selalu pamer pangkat orangtuanya. ”Orang-orang seperti ayahkulah yang memiliki negara ini,” kelakar Arman yang kerap diulangnya dengan nada bangga. Eka begitu menghormati kemiskinan ayahnya. ”Aku ingin menjadi filsuf karena merasakan nasib ayahku. Seorang yang dalam hidupnya sanggup menanggung dua penderitaan sekaligus. Pertama, karena ia guru. Kau tahu nasib guru di negara ini, kan? Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua, karena ia beristri perempuan yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan menindas. Penindasan paling kontemplatif selalu datang dari seorang istri. Itu sebabnya ayahku selalu murung dan termenung. Nah, kini kau tahu, kenapa aku mengagumi ayahku dan Socrates! Itulah alasan filosofis, kenapa aku memilih masuk Fakultas Filsafat. Alasan idiologisnya, karena aku tertindas. Sedang alasan praktisnya, karena jurusan filsafat tak banyak peminatnya.”
Ratih sering bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa menyukai dua laki-laki itu? Mungkin karena bersama Arman ia menikmati hidup. Sementara dengan Eka ia merasa ada sesuatu yang mesti diperjuangkan dalam hidup.
Di bulan-bulan penuh demonstrasi menjelang reformasi, ia sering mencemaskan Eka. Aparat semakin keras dan represif menghadapi para mahasiswa yang turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Berkali-kali terjadi bentrokan dan aparat tak hanya menembakkan gas air mata. Lima mahasiswa terluka tertembak peluru karet, dalam satu bentrokan di bundaran kampus. Seorang mahasiswa yang sedang memotret dihajar puluhan aparat, tubuhnya yang sudah terkapar terus ditendang, kameranya diinjak-ijak. Tubuh mahasiswa yang sudah berdarah-darah itu diseret lebih dari 100 meter di aspal jalan yang panas sambil terus ditendangi dan dipukuli dengan pentungan.
Sementara usai demonstrasi menutup jalan pertigaan depan kampus IAIN Sunan Kalijaga, delapan kawan mahasiswa diciduk aparat. Kabarnya mereka disekap di Kodim. Beberapa aktivis segera berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering dijadikan tempat pertemuan–”rapat gelap” istilah mereka–dalam suasana penuh kecurigaan. Beberapa orang dianggap sebagai intel militer yang disusupkan. Eka mengajaknya ke pertemuan itu. Daulay, Ata, Toriq, Maria, Seno, Budiman, Semendawai, Afnan, Damai, Leyla, Rizal, Rahzen, dan beberapa yang hadir tak bisa menyembunyikan ketegangannya, bicara dengan nada tinggi, membentak dan saling tuding.
”Secepatnya kita harus melakukan lobby untuk membebaskan kawan-kawan kita.”
”Biar intel militer kayak kamu yang urus!”
Seseorang menggebrak meja. Ratih tak melihat jelas siapa. Ia agak sembunyi di belakang Eka.
”Ada yang sudah dapat kabar keadaan mereka?”
”Tenang,” kata Eka. ”Penjara, akan membuktikan tangguh tidaknya mereka. Lagi pula, penjara justru meningkatkan martabat para pembangkang.”
Penjara. Sering Ratih merasa ngeri setiap membayangkan pada akhirnya Eka akan mengalaminya. Sanggupkah tubuh Eka yang kurus menahan siksaan disetrum, dibaringkan di atas balok es semalaman, dijepit jempolnya dengan tang atau digampar popor senapan? Eka memeluknya ketika Ratih mengungkapkan kecemasannya. Malam itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost Eka. ”Kekuatan manusia bukan pada tubuhnya, tapi jiwanya,” kata Eka. ”Kau sudah baca novel Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis? Pada akhirnya bukan Hazil yang muda, bersemangat, dan tampak kuat yang mampu bertahan oleh siksaan. Tapi Guru Isa yang tua, kelihatan lemah dan impotent.” Malam itu Ratih merasakan badan Eka hangat dan gemetar. Eka tak bisa menyembunyikan kegugupan ketika mulai menciuminya. Ratih tahu, itu bukan kegugupan laki-laki yang baru tidur pertama kali dengan perempuan.
Demonstrasi nyaris terjadi setiap hari. Ia sering bersama Eka malam-malam keluar masuk gang-gang menyebarkan selebaran. Seperti gerilyawan kota, kata Eka. Sementara Arman mulai terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. ”Jangan dikira aku tak tahu hubunganmu dengan Eka,” katanya. ”Persetan dengan politik! Tapi pada akhirnya aku yakin, kamu akan memilih aku. Terlalu beresiko kamu hidup dengan Eka. Pertama, kamu akan menderita. Kedua, kamu cepat jadi janda. Eka pasti akan mati diculik atau diracun. Karna begitulah nasib aktivis.”
Bila Ratih semakin cemas, itu bukan karna ucapan Arman, tapi rasanya memang ada yang tak akan pernah mungkin mampu ditanggungnya bila ia terus dekat Eka. Ibu pun sudah mulai tak suka setiap kali Eka datang ke rumah. Berita-berita demonstrasi di televisi membuat ibu melarangnya pergi. Ia tak menyalahkan. Itu perasaan wajar seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup sendirian mencemaskan anak perempuan satu-satunya.
Ratih sedang makan malam dengan ibunya ketika bentrokan antara mahasiswa dan aparat di jalan tak jauh dari rumah terus berlangsung hingga selepas isya. Mahasiswa yang berdemonstrasi sejak pagi terus bertahan menutup jalan hingga malam. Semakin malam semakin banyak warga yang ikut bergabung. Aparat membubarkan paksa, dengan menembakkan gas air mata. Truk-truk yang mengangkut pasukan terus menderu melintas, suaranya terdengar dari rumah Ratih. Serentetan suara senapan dan ledakan sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa hingga ke dalam rumahnya. Beberapa demonstran beberapa kali terlihat berlarian masuk ke dalam gang samping. Aparat menggedor-gedor pintu, mencari mahasiswa yang sembunyi di dalam rumah penduduk. Saat itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat pucat. Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata Arman. Dia buru-buru masuk dengan gugup. Dia bercerita kalau dirinya terjebak di tengah-tengah kerusuhan ketika menuju ke mari. Di jalan ada dua panser yang memblokade jalan. Mobilnya digebrak-gebrak dan diancam hendak dibakar. Mobil ia tinggalkan, dan segera berlari menyelamatkan diri. Ibu memberinya segelas air putih. Tangan Arman gemetaran memegangi gelas.
Baru tengah malam bentrokan mereda. Karena merasa sudah aman, Arman pamit pada ibu untuk melihat mobilnya sekalian mau beli rokok. Ada dua hal yang tak gampang diduga: nasib dan politik. Esok siangnya Ratih mendengar kabar yang tak pernah dibayangkan. Arman mati tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan melepaskan tembakan. Ratih juga tak lagi bertemu Eka setelah bentrokan yang terus berlangsung hingga subuh itu. Tak ada yang tahu ke mana Eka. Kawan-kawannya yakin Eka diculik, dan tak jelas nasibnya.
Begitu lulus kuliah, Ratih memilih pergi dari kota ini. Berusaha melupakan ingatan pahit itu. Hanya pulang sesekali untuk menengok ibunya. Dan setiap kali pulang, mau tak mau ia pasti melewati jalan ini, dan kenangan itu selalu muncul kembali. Dulu ia mengenal jalan ini sebagai Jalan Sutowijayan. Kini bernama Jalan Munarman. Pecundang memang sering kali lebih beruntung.
Yogyakarta, 2010-2013
(Cerita buat Eka Kurniawan)
*Ilustrasi Karya : Rahardi Handining
*Terbit di Harian Kompas pada 26 Januari 2014
http://cerpen.print.kompas.com/2014/01/26/matinya-seorang-demonstran/

0 komentar:

S A I A - Djenar Maesa Ayu

09.49 Pohon Belimbing 0 Comments


Ia membawa lari ingatan saya lagi. Entah di mana kali ini Ia bersembunyi. Yang saya tahu kepiawaian Ia mencari tempat persembunyian makin hebat saja dari hari ke hari. Jadi pasti akan sulit sekali mencarinya kali ini.
Kami teman semasa kecil. Bisa dibilang, Ia adalah satu-satunya teman yang saya miliki sebagai anak yang merasa terkucil. Di sekolah, saya lebih sering menghabiskan waktu di dalam kelas mengerjakan pekerjaan rumah ketimbang bermain bola bekel, kelereng, atau ngobrol di kantin sekolah yang mungil. Bukan karena tak mau, tapi karena saya malas ditanyai berbagai macam hal yang sering membuat telinga panas bagai habis disentil.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya datang dari murid-murid, tapi juga dari para guru. Pertanyaan semisal, mengapa sekitar mata saya biru. Atau, mengapa saya berjalan pincang dengan kaki satu. Saya menjawab jika habis terbentur pintu. Atau, jatuh dari tangga karena terburu-buru. Semudah itu. Tapi tatap tak percaya yang tersirat di dalam mata merekalah yang mengganggu. Saya malu.
Saya jadi malas sekali ke sekolah. Tapi saya lebih malas lagi di rumah. Saya malas ketemu Ibu dan Ayah. Setiap bersama, selalu saja mereka saling melempar amarah. Dan kalau pertengkaran mereka tak selesai, selalu saja ada tindakan saya yang dianggap salah.
Mereka pun menghukum saya tanpa belas kasihan. Bergantian melemparkan caci makian. Bersamaan melayangkan tamparan demi tamparan. Juga tonjokan. Tak terkecuali tendangan. Mereka tak peduli walau saya sudah menangis minta ampun dan merintih kesakitan. Sepertinya, hanya saat menghukum saya itulah pendapat mereka tak lagi berseberangan. Mereka yang semula bagai anjing dan kucing, tiba-tiba berubah bak teman seperkutuan.
Dalam keadaan seperti itulah biasanya Ia muncul dan mengajak bermain petak-umpet. Membuat saya sibuk mencari hingga lupa rasa sakit di kulit yang sedang disabet. Saya berlari mencari Ia sambil berteriak, “Hei, salah saya apa?!” Sungguh, ingatan saya pun raib Ia bawa entah kemana. Saya mencari di bawah meja. Di balik jendela. Di dalam kamar mandi. Di bawah kursi. Di taman belakang. Sampai-sampai ke depan pintu gerbang. Tapi permainan petak-umpet itu pun terasa lebih sulit karena Ibu dan Ayah mengejar saya dan menyeret kembali ke dalam rumah.
“Masih berani tanya salahnya apa?! Anak ga tau diri!
Saya pun kembali dihajar dengan tenaga yang tak lemah. Mereka baru berhenti jika sadar kalau luka maupun memar di tubuh saya sudah terlihat parah.
“Kalau ditanya, bilang kejeduk pintu.” Kata Ibu sambil mengompres mata saya dengan es batu.
“Bilang kamu jatuh dari tangga karena terburu-buru.” Kata Ayah sambil mengurut pergelangan kaki saya yang membiru.
“Ingat ya, semua ini salahmu!” Kata Ibu sambil mematikan lampu.
“Awas kalau ngomong yang ga bener ke orang-orang yang ga perlu.” Kata Ayah sebelum menutup pintu.
Gulita menyergap kamar. Satu-satunya penerangan di dalam kegelapan itu hanya berasal dari mata saya yang berbinar-binar. Dengan penuh semangat, saya mencari kembali tempat persembunyian Ia yang sudah sejak tadi saya incar. Di dasar pot bunga mawar. Di bawah jok kursi bundar. Di tumpukan buku. Di gantungan baju. Di balik selimut warna merah dadu. Sampai akhirnya saya menemukan Ia meringkuk sambil memeluk erat ingatan di dalam sepatu.
Saya segera merebut ingatan dari pelukan Ia yang terlihat sudah lelah. Saya pun segera ingat jika tadi sebenarnya sudah melepaskan sepatu sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi saya memang lupa menaruhkannya ke dalam rak karena terlampau bersemangat dengan apa yang terjadi di sekolah. Lagi-lagi, saya mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran Seni, Bahasa, dan Sejarah.
Celakanya, saya berada di sebuah tempat dan bersama orang yang salah. Ketika membuka pintu, pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah Ibu dan Ayah sedang saling melempar sumpah serapah. Tapi di dalam pertengkaran separah itu saja, mata Ibu yang lebih gesit dari pesilat tetap bisa melihat kesalahan saya dengan mudah.
“Kenapa sepatu kamu masih ada di depan pintu?!”
Saya membisu.
“Kamu lupa taruh lagi di rak sepatu?!”
Bibir saya kelu.
“Kalo ditanya, jawab!”
Mulut saya gagu.
“Kenapa ga bisa jawab?! Malu kan kamu, sadar kan kamu kalo yang kita minta itu sebenernya ga susah?! Tau ga kamu, Ibu dulu itu boro-boro punya sepatu!”
“Boro-boro sepatu, Ayah dulu perlu seragam baru aja mesti nunggu bertahun-tahun. Ga kayak kamu, apa aja yang diperlu tinggal minta!”
“Begini nih anak sekarang, Pah. Ga ngerti susahnya hidup!”
“Bener Mah, ga bisa ngehargain apa yang dipunya. Ga tau gimana susahnya orang tua nyari duit!”
Tubuh saya beku.
Entah siapa yang menempeleng wajah saya lebih dulu. Entah siapa yang menjambak rambut hingga saya terjungkal setelah itu. Saat itu terjadi, Ia sudah keburu mengajak saya bermain petak-umpet. Saya terlampau asyik bermain hingga suara teriakan Ayah dan Ibu terdengar tak lebih dari suara klakson kendaraan di jalan raya yang sedang macet. Tak terasa juga tubuh saya yang diseret, lalu digeletakkan di atas karpet.
“Cepat ambil es batu, Mah!”
“Urut pergelangan kakinya, Pah!”
“Apa salah kita jadi orang tua ya? Kok punya anak nakal begini?”
“Kalau orang ga tau kejadian sebenarnya, pasti kita yang disalahin lagi.”
Saya melihat kelebat tubuh Ia berlari sambil memeluk ingatan dan mencari tempat sembunyi. Membuat saya berharap Ibu dan Ayah lebih cepat pergi. Saya hanya ingin main lagi. Maka betapa bahagianya saya saat mendengar mereka keluar kamar dan menyalakan televisi.
Sambil mencari tempat persembunyian Ia, sayup-sayup saya dengar siaran berita yang sedang Ibu dan Ayah saksikan di televisi. Seorang anak sembilan tahun diperkosa ayahnya sendiri. Bocah laki-laki disodomi lalu dimutilasi. Pengakuan seoarang Ibu di Kantor Polisi karena telah menyiksa bayinya sampai mati karena tak tahan mendengar tangisannya sepanjang hari. Seorang kakek meniduri cucunya sendiri hingga hamil dan bunuh diri. Seorang anak perempuan dituntut hukuman mati karena terbukti secara terencana membunuh kedua orang-
tuanya saat sedang tertidur di depan televisi.
Ia membawa lari ingatan saya lagi. Entah di mana kali ini Ia bersembunyi. Yang saya tahu kepiawaian Ia mencari tempat persembunyian makin hebat saja dari hari ke hari. Jadi pasti akan sulit sekali mencarinya kali ini.
Ia duduk dengan tenang di atas kursi pesakitan ruang pengadilan saat Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan barang bukti sebuah tongkat pemukul bisbol, seragam sekolah, dan sepasang sepatu yang berlumuran darah. Saya masih main petak-umpet di rumah.
Kuta Sea View Bali
14 Oktober 2013
Ilustrasi Karya: I Made Sumadiyasa
Terbit di Harian Kompas pada 15 Desember 2013
http://cerpen.print.kompas.com/2013/12/15/s-a-i-a/

0 komentar:

Aimee

18.13 Pohon Belimbing 0 Comments

Aku mencintainya dengan seluruh pikirannya yang tak terbatas. Aku mencintainya sebab aku tahu, dialah wanita pertama yang membakar hatiku lewat percikan api yang menyala-nyala di matanya.

Aimee, wanita itu bediri di hadapanku. Sama seperti kemarin, ia duduk menghadap ke hutan di belakang gereja. Rambutnya samar dengan coklat kayu jati yang tak lagi mengkilap dari bingkai jendela tempatnya duduk. Bau kayu tua dari kayu yang lapuk terbawa angin sampai juga ke penciuman wanita itu, membuat wanita itu selalu merasa teduh. Angin membuatnya terpaksa meminum kopinya cepat cepat. Lalu ia menolah ke arahku, dan menatapku dengan cermat.

Begitu besar rasa cintaku pada wanita itu, begitu pula lamat lamat aku membencinya.
Aku membencinya dengan alsan yang sama ketika aku mencintainya. Pikirannya yang tak terbatas itu lambat laun membuatku gila, dan api yang terpercik di matanya membekas luka yang terus menganga.

Aimee, wanita itu masih disana ia masih duduk menghadap ke hutan di belakang gereja, masih menanti teman bicara, pengganti tempatku disana. Wajahnya murung seakan memendam semua pikirannya yang kini semakin semrawut. Kopi ditangannya sudah dingin , tapi ia tak kunjung peduli.
Makin hari, penjaga gereja makin sering berbisik. Bisik bisik itu lekas menjadi gunjingan. Katanya, wanita yang berdiri di lantai tiga gereja itu gila. Ia sering berbicara pada ukiran malaikat dan Tuhan yang berdiri diatas kepalanya. Bahkan, ia tak lagi membawa segelas kopi untuk dirinya sendiri, ia juga membawakan masing masing segelas untuk malaikat dan Tuhan yang menjadi lawan bicaranya. 

Suatu hati, gereja riuh. Tidak ada lagi bisik bisik yang lekas menjadi gunjingan. Begitu riuh sampai sampai aku merindukan kesepian wanita itu, tidak ada lagi yang duduk mengahadap hutan dibelakang gereja. Seseorang mengatakan padaku wanita itu lompat dari jendela tempatnya biasa duduk pagi lalu. Pergi mengejar malaikat dan Tuhan yang mau menjadi lawan bicara dan memahami seluruh pikirannya yang tak terbatas.


Aku masih membencinya, begigtu juga aku masih mencintainya.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!