Hujan, Di Gereja: Epilog
(Hujan deras mengguyur lamunanku yang berserakan di udara.
Desah mengulum amarah dan tanda tanya ternyata bukan apa
apa)
Kau, terkasih
Adalah bagaimana mazmur meminta hari penghakiman datang
segera
Allahku, Allahku!
Kau bilang aku membencimu.
Aku bilang aku mencintaimu
Kau bilang.. ah,
Kau terkasih, adalah bahaya neraka yang bisa dinubuatkan
dengan puisi cinta paling indah yang bisa direka.
Apakah yang lebih bahaya dari cinta yang kau bangkitkan
tanpa memikirkan nyawa dan cinta adalah dua ujung nafas manusia?
Kusumpahi
kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di
padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!
Dan, apakah, terkasih?
Yang lebih berbahaya dari membiarkan seorang anak manusia
mencintaimu, membuatnya berpikir bahwa kau juga mencintainya
lewat kata, lewat tangan, lewat mata, lewat mantra
(Itu sama sekali nggak
mikir. nggak ingat)
Kau terkasih, jauh lebih berbahaya dari neraka
Dan apakah yang lebih berbahaya, terkasih
Selain membiarkan kepercayaan yang disia siakan
Iya, perempuan itu terkasih
Kusayangi ia bagai kakak dan puteri Yerusalem yang kubaca
di kisah peri dan dongeng dan mimpi
Dia tahu jelas, aku mencintaimu dan kau mencintainya.
Perempuan itu hanya
tersenyum
Aku jelas, dungu di kepala kalian.
Kalian terkasih, kekasih. Jauh lebih berbahaya dari neraka
Kalian terkasih, kekasih.
Dengan apalagi aku bisa berkata kata. Padahal sejak awal
sudah jelas, kebohongan selalu jadi bagianku. Dan puisi, selalu jadi milikmu.
Iya puisi ini terakhir yang jadi milikmu.
Kalian terkasih, kekasih. Bahagia selalu.
Amin.
(Hujan deras mengguyur lamunanku yang berserakan di udara.
Desah mengulum amarah dan tanda tanya ternyata bukan apa apa)
0 komentar: