Gugur - W.S Rendra

11.04 Pohon Belimbing 0 Comments







Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang                                                                       
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut kotanya




Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya


Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
”Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
Tanah Ambarawa yang kucinta.
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa


Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam
ketika ia menutup matanya.

0 komentar:

Ziarah Batu - Sapardi Djoko Damono

10.21 Pohon Belimbing 0 Comments


/1/

kami memutuskan untuk memulai ziarah
menjenguk perigi dekat gua
meski air di sana tak lagi
memantulkan wajah kami

kami sudah menguasai peta hari ini
tak akan tersesat ke kanan atau ke kiri

sekarat adalah bagian dari adegan yang nanti
kata-kata bijak yang mengalir di musim hujan
lewat begitu saja di sela jari-jari kami
tak sempat kaufahami setetes pun
kami saksikan sembilu mata itu

dongeng agung yang pernah kami bangun
bergoyang sebentar sebelum rubuh ke arus
yang tak baik jika kami ukur derasnya

sebuah tonggak yang kacau aksaranya
adalah satu-satunya saksi perhelatan ini


/2/

kami dulu suka menciptakan dewa-dewa
mereka-reka nama-nama yang susah dieja
dan merekamnya di jajaran batu
untuk menentramkan huru-hara

penatahnya tak kami ketahui lagi di mana

deretan sosok dewa tanpa kepala
adalah ajakan yang penggal di angan kami

pernah adakah sebenarnya rasa tenteram?

kami pernah suka merangkai perangai ksatria
agar kelak anak-anak bisa menafsirkannta

siapa telah menciptakan punakawan?



/3/

jiwa yang mencari bayang-bayangnya
menabrak cermin
terserak berkeping-keping

watakmu aksara yang tanpa petanda
gambar yang tak hendak dideretkan
dalam tontonan yang digelar hari ini
sebelum sirak-sorai usai menutup tirai

jiwa yang penggal dari bayang-bayangnya
bergetar di kelir yang tumbang

sendirian saja

ya, jiwa kami hari ini


/4/

kami telah memutuskan hubungan
dengan juru gambar itu

tak ada lagi yang percaya pada jiwa kami

gulungan kertas yang tertinggal di gudang
telah memalsukan perangai kami
meriap pasukan rayap menyobek-nyobeknya
berbaris membawanya ke lubang
yang tak mempercayai sejarah

kami telah memutuskan hubungan
dengan juru gambar itu


/5/

(mereka melecut ribuan kuda ke arah barat
jangan sampai keduluan matahari terbenam!
bentak sang senapati)

tak terdengar ringkik dalam gambar
yang dilukis oleh orang yang tak kami kenal
yang konon hanya senyampang saja
turun dari jung untuk membisikkan dongeng
kepada nelayan yang berangkat ke laut

kami tak kenal kuda
            kami tak pernah mendengar lecutan
            hanya teriakan yang segera dihapus ombak laut


dan orang-orang yang turun dari perahu
membayangkan suatu kerajaan ringkik kuda
di lembah-lembah perbukitan

dan orang-orang asing yang hanya tinggal sebentar
mencatatnya di kitab-kitab
sekedar bukti bahwa mereka memang pesiar

dan para pesiar yang hanya tinggal sebantar
mengawini istri dan anak-anak kami


/6/

perempuan-perempuan menanti kami
di pantai: membayangkan keringat dan mani
tapi yang berlabuh adalah para pelawat
tak pernah terekam dalam gambuh dan kinanti

kami masih mengayuh jauh di laut
semakin sayup semakin sepi

kami tak lagi yakin apakah yang berkeliaran itu
adalah anak-anak yang lahir dari benih
yang menetes bersama anyir keringat kami

betapa cantiknya mereka! kami jatuh cinta
dan menulis puisi panjang di pasir dan angkasa



/7/

kami diajari berdoa dengan irama ganjil
sambil mendirikan kuil demi kuil
agar sogra tak teram-temaram
ketika mendengar permohonan kami

kurban yang selalu memuntahkan sendawa

di dinding kuil kami semburkan gambar
yang senyampang dipamerkan pelawat
yang tidak sepenuhnya bisa kami maknai
sapuan dan garisnya, warna dan aromanya

tidak kami temukan sawah dan margasatwa

mereka menyebutkan kitab yang dibisikkan
dari angkasa purba

nun jauh di sana



/8/

jerit pedang dan denting darah dan jilat api
berloncatan dari babad
yang ditata dalam larik-larik rapi di kitab
rekaan juru tulis di kala senggang
ketika tak ada lagi sisa teriak perang dan kebodohan
di sela-sela pesta raja dan sembah punggawa

kami tidak mendengar sendawa dewa

ia tinggal di kuil yang jauh terpisah
dari menara tempat senapati menanti
kekasih dari samudra



/9/

di urat darah berseliweran ikan pari
kalau ombak menyeret perahu kami:
lukisan yang ditorehkan dengan jampi-jampi
di sekujur pinggirnya
ternyata tak mampu bernyanyi

(ah, yang menjadi saksi hanyalah lintah
ketika kami menanam benih di sawah)

bergantian kami bernyanyi
butir demi butir menetes dari atap rumah

kami tak lagi mempercayai janji pembebasan itu



/10/

dewa ternyata tak ikhlas berbagi
doa yang kami persembahkan adalah kurban
membusuk di kuil yang dibangun agak ke bukit
sesuai tata cara yang dulu menciptakan langit
sesuai tanda yang berupa gundukan bumi

jiwa kami adalah layang-layang berekor
yang talinya ditarik, disendal, dan diulur
oleh anak laki-laki yang akan kami kurbankan



/11/

beberapa gunduk pasir, ikan-ikan berkelejotan
(deretan galur, cacing yang padah di mata bajak)
amis keringat, langit yang terhapus sebagian
adalah latar yang direka dalam janturan

sekarat kami meloncat-loncat dalam sabetan
ketika kelir tumbang –
doakan agar kami tenteram



/12/

jejak yang bergeser-geser
di sela-sela kata
tidak untuk dieja, ternyata

0 komentar:

Doa Malam - Joko Pinurbo

10.19 Pohon Belimbing 0 Comments


Tuhan yang merdu
terimalah kicau burung
dalam kepalaku.

(2012)

0 komentar:

Hujan Kecil - Joko Pinurbo

10.18 Pohon Belimbing 0 Comments


Hujan tumbuh di kepalaku.
Hujan penyegar waktu.

Memancur kecil-kecil.
Merincik kecil-kecl.
Dihiasi petir kecil-kecil.

Hujan masa kecil.

(2012)

0 komentar:

Menyaksikan Pagi dari Beranda - Aan Mansyur

10.14 Pohon Belimbing 0 Comments


Langit menjatuhkan banyak kata sifat. Tidak satu pun
ingin kutangkap dan kuingat. Kubiarkan
mereka bermain seperti anak-anak kecil sebelum
mengenal sekolah. Mereka menyentuh pepohonan
dan membuatnya berwarna-warni. Mereka
memanjat dinding dan jendela bercahaya. Mereka
mencelupkan jemari di kopi dan mimpiku meluap
jadi mata air di halaman.

Orang-orang melintas membawa kendaraan.
Mereka menyalakan radio dan tidak mendengarkan
apa-apa. Mereka pergi ke kantor tanpa membawa
kata kerja. Mereka tergesa, tapi berharap tidak tiba
tepat waktu.

Jalanan keruh sekali setelah pukul tujuh pagi. Satu-
satunya jalan keluar adalah masuk. Tutup pintu.
Biarkan jalanan tumbuh dengan hal-hal palsu.

Aku ingin mandi dan tidur siang berlama-lama. Aku
mencintai kemalasanku dan ingin melakukannya
selalu. Pada malam hari, aku ingin bangun dan
mengenang orang-orang yang hilang.

Sudah tanggal berapa sekarang?

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!