Aruna

08.28 Pohon Belimbing 0 Comments

                     She's just a girl and she's on fire
Hotter than a fantasy, lonely like a highway
She's living in a world and it's on fire
Feeling the catastrophe, but she knows she can fly away – Alicia Keys

Begitu sepi, rupanya. Ia bergumam.

Telah berulang kali perempuan itu membuka kembali kenangan yang terlipat rapi di kotak yang dahulu digunakan sebagai meja belajar kecil sekaligus penyimpanan barang barang bekas yang ia suka, yang diam diam disembunyikannya sebelum dijual oleh ayahnya. Lama sekali ia menatap satu sudut yang sangat dikenalinya, yang mengenalnya pula. Ingin sekali perempuan itu mengucap sepatah dua patah kata untuk sudut yang sangat dikenalinya, yang mengenalnya pula, namun sulit sekali memilih kata kata, ia jadi bertanya tanya, apa sudut juga punya kata kata?

Aruna nama perempuan itu, berdiri dibawah temaram cahaya lampu tua yang mengingatkanmu, pasti, dengan lagu lagu lawas yang diputar dan berhenti ketika adzan maghrib berkumandang dan surau yang bernapaskan kopi dan riuh penonton sepakbola yang menanti kemenangan dengan setia, sementara lupa, di rumah ada yang jelas juga setia menanti kepulangan dan doa di tiap saku mereka.

Angin menggoyangkan lampu tua di atas kepala gadis itu, dingin sekali. Rumahnya yang hanya sepetak, tak pernah lebih luas dari yang bisa kau bayangkan, terbuat dari apa saja. Kayu kayu bekas, kardus, dan seng saling merajut dan mengokohkan diri mereka sendiri. Sebut saja begitu, ucap bapaknya dahulu.

Perempuan itu tidak pernah menyesali hidupnya, ia percaya hidup adalah kemungkinan kemungkinan yang disembunyikan di balik telapak tangan Tuhan.

Di bawah meja, ia menemukan kotak berisi surat surat yang tak pernah dikirimkan, atas nama Kunti, ibu.

Tiba tiba, ia merasa rindu.

Mother, how are you today?
Mother, don't worry, I'm fine. - Maywood

***

Sumurejo, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2001

Aruna, senja kemerah merahan
yang kukasihi

Nak, doa doa yang kutitipkan dahulu di saku bajumu, apa masih kau simpan? Selipkan saja di sela sela rambutmu agar tidak ketinggalan atau tercecer atau kelupaan olehmu.

Kuingat pertama kali dengan bahagia aku memakaikan seragam pertamamu, yang membuat ayahmu menjual cincin pernikahan kami, lucu sekali, kau sangat bersemangat menyanyikan lagu yang kau sombongkan di depanku sambil berkata bahwa gurumu yang hebat sekali itu yang mengajarkannya, namun tetap saja kau selalu pulas di pangkuanku

(Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir)
(Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir)

***

She got both feet on the ground
And she's burning it down – Alicia Keys

Sudah ramai, pengajian akan segera dimulai.
Kenangan dan rindu adalah dua mata pisau yang berjingkat menembus setiap penjagaan air mata bagi manusia, begitu pun bagi Aruna, Temaram lampu menyiasati ingatan tentang kedua orang tuanya. Ia membayangkan, kedua orang tuanya sedang apa sekarang, berpakaian putih dan suci seperti cerita yang didengarnya sewaktu mengaji atau bersayap, seperti yang suka dikhayalkannya.
Runa pulang, pak, bu. Ia berbisik, entah pada siapa. Ia memandang ke seluruh penjuru, jelas ia rindu, jelas ia bohong. Ia tak pernah betul betul merasa pulang. Sepi sekali disini.

***

In her soft wind I will whisper
In her warm sun I will glisten
'Till we see her once again
In a world without end – Crowded House

Aku membenci tiga hal dalam hidup. Pertama, jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku tak pernah merasa ingin pulang,  menyembunyikan masa lalu dengan ilusi yang sempurna, sempat aku curiga, jatuh cinta apa hanya kegetiran semata? Kedua, hujan. Dua kali ayah dan ibu pergi, dua kali hujan. Tanah licin dan daun gugur membuat hutan hutan baru di kepalaku, segalanya rumit dan tak tertebak. Lama lama, bisa jadi hutan akan tumbuh di sela sela jariku. Ketiga, hening. Apa rumah ini selalu seperti ini ketika aku pergi?
Segala makna adalah muslihat, dan kesepian di rumah ini juga.
“Dik, sudah waktunya ibu dimakamkan”
Mbak Rumi, begitu aku memanggilnya. Sungguh, kini aku menatap mata ibu di matanya.
“Dimana adik?” Tanyaku.

***

Sumurejo, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2008

Aruna, senja kemerah merahan
yang kukasihi

Ini seragam keduamu. Seragam putih biru yang cantik berpadu dengan kulitmu yang kecoklatan, kulitmu yang hangat dan lembut. Kudengar, kau sangat cerdas dalam matematika dan bahasa inggris. Bahasa inggris itu seperti apa anakku? Seperti kata plis plis yang sering kau ucapkan itu? Aku bangga. Aku ibu yang bangga Bukan berarti bapakmu tidak ‘lho. Bapakmu itu memang bukan pria yang romantis, namun ketahuilah, kau selalu disebut dalam tiap igau dan sujud malamnya.

Nak, apa kamu sudah menemukan cinta pertamamu? Dulu, sewaktu pertama kali ibu jatuh cinta, jelas dengan laki laki yang bukan bapakmu, bapakmu itu cinta kesekian, itu saat seumur kamu. Seandainya, kamu mau bercerita pada ibu. Akan kuajari kamu memakai pupur, tenang saja, pasti akan kubelikan suatu hari.

Nak, apa sekiranya umurmu bertambah sewaktu waktu, berarti kau tidak lagi ingin memelukku?

***

Hujan turun dengan lembut seakan tahu perempuan itu akan tambah terluka jika hujan turun dengan lebat. Pemakaman berlangsung tanpa isak tangis. Semua terlalu sedih untuk menangis, dan terlalu terluka untuk mengucap apa apa. Sewaktu ayah perempuan itu dimakamkan, juga sama. Khidmat bukan hanya ada di upacara kepresidenan dan di sekolah sekolah. Khidmat beserta mereka yang mencintai dan dicintai bumi.

Tak ada yang lebih cinta dari tanah yang bersedia menerima dengan cara yang paling sederhana, dengan dirinya sendiri. Aruna, perempuan itu menatap tanah merah, cantik sekali, pikirnya.

Abyasa adiknya, diam saja. Mbak-nya pun begitu. Diam sekali. Satu satunya suara yang terdengar adalah suara adzan. Sudah waktunya pulang dan menyiapkan pengajian.

***

Sumurejo, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2008

Aruna, senja kemerah merahan
yang kukasihi

Aku baru saja menangis, kau tahu. Ini pertama kalinya kau membentak dan melawan kata kataku. Tapi sudahlah nak, aku tak apa, aku jelas paham situasi dan keadaanmu saat ini. Aku menyayangimu, nak. Kau tahu itu.

Kau cantik sekali, sayang. Seragammu yang baru, hidupmu yang baru. Kau sudah dewasa sayang, Diam diam, kau kecilkan rok abu abu yang kujahit untukmu, mengikuti teman teman. Tapi aku masih bangga, sayang. Piala dan medali penghargaan atas kerja keras dan kepandaianmu masih memenuhi meja makan, yang akhirnya kita gunakan sebagai meja tempat memajang semuanya itu. Kita makan di lantai meskipun mbakmu,  Rumi sering marah, makanannya jadi berdebu, katanya.

Nak, apa kamu makan dengan baik disekolah. Sepertinya tidak, uang yang kuberikan padamu untuk makan dan ongkos kau habiskan dengan membeli buku dan koran koran yang menumpuk di balik baju baju di lemarimu yang berjejal. Aku tahu juga, seringkali pada akhirnya kau harus berjalan kaki untuk pulang. Maafkan aku, anakku.

Sayang, banyak doa yang kutitipkan pada Tuhan untukmu, banyak sekali, tapi kutahu, Ia mencatat semuanya. Doa adalah bentuk cinta yang sering kuaduk bersama teh yang menemani perutmu setiap pagi. Maafkan ibu, janjiku padamu untuk membelikanmu pupur belum juga bisa kupenuhi. Tapi wajahmu yang cantik, mungkin sebetulnya tidak perlu.

Sayang, maafkan aku dan bapakmu yang belum bisa memberikan masa muda untukmu. Maafkan aku  dan bapakmu yang tak punya apa apa yang bisa kuberikan padamu, selain pelukan dan tempat pulang.

***

Many things happened while I was away.
Mother, how are you today? – Maywood

Aruna menangis dengan bisik yang tidak kentara di balik suara gerimis yang jatuh ke atap masjid. Ia membenci segala perasaan bersalahnya. Tak adakah hukuman untuk dirinya? Tak adakah yang membenci dirinya selain dirinya sendiri?


Dingin, nafasnya dingin. Hujan membuatnya tambah mual. Ia rindu ibunya,  rindu sekali.

***

Sumurejo, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2015

Aruna, senja kemerah merahan
yang kukasihi

Aku yang pertama kali membaca surat yang diantarkan pak pos yang bertuliskan Universitas Indonesia dengan huruf yang besar besar di amplopnya. Aruna Pramusita, kau tahu, betapa terkejutnya ibu? Ilmu Politik. Nak, ketahuilah politik adalah ilmu paling jahat di dunia ini, dan jelas kutahu, kau bukan orang yang seperti itu. Dalam amplop juga tertulis kau mendapatkan beasiswa penuh dan asrama di kota, meninggalkan ibu.

Sudah tahun keberapa sekarang semenjak kau pergi ke kota, dan tak pernah kembali. Aku penasaran, apa kau makan dengan baik? Apa sekarang kamu sudah punya kekasih sayang? Apa kuliahmu berjalan dengan baik?

Kemarin, ayahmu sudah dimakamkan. Aku ingin sekali memberi tahumu, tapi ibu tak punya ponsel dan uang untuk membayar jasa petugas pos. Mbakmu juga sama, tak pernah kembali, tak apa, ia memang perempuan dan isteri yang baik. Ia harus menjaga suaminya. Mbakmu juga belum tahu kabar tentang bapak. Pulang nak, ibu sendirian menangung kesepian sementara adikmu, masih belum tahu apa apa.

Nak, pulanglah. Kamu memang benar, ibu juga mencintai angin. Angin yang selalu beranjak pergi, tak pernah lupa jalan untuk kembali. Kembalilah, nak. Apa masih kau kenali suaraku? Apa masih kau kenali jalanan berbatu yang kusiasati agar kau tak pernah lupa jalan kembali.

***

Dedaunan gugur menyentuh rambutnya, sudah malam, ia harus pergi.
Perempuan itu menyisipkan surat surat itu di tasnya yang berat. Masih banyak surat yang belum sempat ia baca.Sementara temaram cahaya lampu tua di atas kepalanya masih berduka, senja telah jatuh dan sebentar lagi sepi yang terduga akan menyala dan aku hampir tiada, gumamnya.

This girl is on fire...
She's walking on fire... – Alicia Keys

Desember, 2016

0 komentar:

Vent

10.43 Pohon Belimbing 0 Comments


Angin mengusap ujung bulu matamu ketika aku bahkan tak berani menatap cahaya berpendar yang dilengkunginya, menggugurkan dedaunan kering runtuh letih yang tampak di garis-garis wajahmu. Kau masih sama, aku juga. Tenang saja, aku akan dan selalu jadi milikmu. Lewat aksara yang tiap malam mengelabui masa mudaku, kau akan mengenaliku. Sungguh, kau akan mengenaliku.


(diilustrasikan dengan lukisan Quantum Entanglement – Scott French)

0 komentar:

Adventum

10.07 Pohon Belimbing 0 Comments

Have yourself a merry little Christmas
Let your heart be light
From now on your troubles will be out of sight

Salam, salam
Salam natal kutitipkan masing masing disakumu bersama sepucuk doa yang terlipat
Salam natal!
Kebahagiaan tergantung di tiap sudut jari jarimu menunjuk
Kebahagiaan tergantung lewat tiap rupa kata,
melengkungimu dengan kehangatan yang terus kau kenal

Here we are as in olden days
Happy golden days of yore,

Kebahagiaan bisa jadi mengatasnamakan apa saja,
ia adalah setiap aksara dan tanda baca yang kau jadikan penghujung kisah sukacita
Kebahagiaan bisa jadi perayaan,
Kebahagiaan bisa jadi keselamatan,
Kebahagiaan bisa jadi apa?

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita;
lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang:
Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.

Sungguh, bahagia seperti apa yang layak menyambutMu?
Sementara dosa masih disisakan hujan, dan
petang yang berjingkat pulang
Layakkan hatiku, Allahku
Sungguh, sisakan cahaya sebelum terlesap semuanya
Biarkan aku terjaga

Sebentar lagi Ia datang

Ia datang!

0 komentar:

Demande-moi - Marc Lavoine

08.26 Pohon Belimbing 0 Comments

On n'ose pas vraiment se dire
On est timide, on est ainsi fait
Mais je sais que le désir
Il faut aller le chercher

Demande-moi la lune
Demande-moi les clefs
Demande-moi de te suivre, je te suivrai
Demande-moi le ciel
Demande-moi l'impossible
Demande-moi ton chemin, je t'aiderai
Demande-moi ce que tu veux
Demande et je passe aux aveux
Demande-moi de me jeter dans tes bras, je le ferai

À trop laisser le temps partir
On finit le cœur enfermé
Dans des rêves sans avenir
Avec un goût de tout gâcher

Demande-moi la lune
Demande-moi les clefs
Demande-moi de te suivre, je te suivrai
Demande-moi le ciel
Demande-moi l'impossible
Demande-moi ton chemin, inachevé
Demande-moi ce que tu veux
Demande et je passe aux aveux
Demande-moi de me jeter dans la vie et je le ferai

Demande-moi la lune
Demande-moi les clefs
Demande-moi de te suivre, je te suivrai
Demande-moi le ciel
Demande-moi l'impossible
Demande-moi ta route, je l'éclairerai
Demande-moi ce que tu veux
Demande et je passe aux aveux
Demande-moi de me jeter dans tes bras, je le ferai

Je le ferai

0 komentar:

Elle a Les Yeux Révolver - Marc Lavoine

08.17 Pohon Belimbing 0 Comments

Un peu spéciale, elle est célibataire
Le visage pâle, les cheveux en arrière
Et j'aime ça
Elle se dessine sous des jupes fendues
Et je devine des histoires défendues
C'est comme ça
Tell'ment si belle quand elle sort
Tell'ment si belle, je l'aime tell'ment si fort

Elle a les yeux revolver, elle a le regard qui tue
Elle a tiré la première, m'a touché, c'est foutu
Elle a les yeux revolver, elle a le regard qui tue
Elle a tiré la première, elle m'a touché, c'est foutu

Un peu larguée, un peu seule sur la terre
Les mains tendues, les cheveux en arrière
Et j'aime ça
A faire l'amour sur des malentendus
On vit toujours des moments défendus
C'est comme ça

Tell'ment si femme quand elle mord
Tell'ment si femme, je l'aime tell'ment si fort

Elle a les yeux revolver, elle a le regard qui tue
Elle a tiré la première, m'a touché, c'est foutu
Elle a les yeux revolver, elle a le regard qui tue
Elle a tiré la première, elle m'a touché, c'est foutu

Son corps s'achève sous des draps inconnus
Et moi je rêve de gestes défendus
C'est comme ça
Un peu spéciale, elle est célibataire
Le visage pâle, les cheveux en arrière
Et j'aime ça
Tell'ment si femme quand elle dort
Tell'ment si belle, je l'aime tell'ment si fort

Elle a les yeux revolver, elle a le regard qui tue
Elle a tiré la première, m'a touché, c'est foutu
Elle a les yeux revolver, elle a le regard qui tue
Elle a tiré la première, elle m'a touché, c'est foutu

0 komentar:

Eblouissant

01.02 Pohon Belimbing 0 Comments

Kesedihan berputar putar dalam sudut sudut nafas,
memantul mantulkan tubuh dalam ruang yang ngilu,
kau asing dalam tubuhmu

Sedang kau sendiri terus terjerumus pada pengertian kesedihan yang kau amini sebagai penghujung hari, dan
aku terus saja menjahit luka yang kian hari menjadi mantra yang memasrahkanku jatuh pada pesona bait bait gerak air matamu, merapal kidung kidung pengganti malam yang panjang yang tak pernah berhenti membentang

Kau begitu asing dalam tubuhmu,
namun, mengapa aku, terus saja mendaki kelopak matamu sebab kukenali jalannya dengan pasti
Kau begitu asing dalam tubuhmu,
namun, mengapa gemerisik daun saban kali memanggil manggil paham sudut bibirmu

Kesedihan takkan melepaskanmu,
Kesedihan berputar putar dalam sudut sudut nafas,
Memantul mantulkan tubuh dalam ruang yang ngilu.

0 komentar:

Selalu Saja, Kau

20.03 Pohon Belimbing 0 Comments

Kau selalu menantiku pulang
Selalu saja, kau
yang setia menunggu segala keresahanku berpulang padamu,
meredam runtuk sakit dalam peluk dalam lekuk teluk tubuhmu
Selalu saja, kau
yang jadi tempat paling jaga setiap rintih letih sedihku
Selalu saja kau

Kau selalu jadi ciuman paling setia
dan bersikeras menjadi satu satunya dunia
dan satu satunya cinta.
Kau selalu jadi hanya paling nyata
yang selalu tabah menadah kesah
yang satu satunya arah

Kau selalu saja menantiku pulang
Selalu saja kau











02 November 2016

(Terinspirasi oleh lukisan J.W Godward “Violets, sweet Violets, 1906)

0 komentar:

Separuh Kota

03.00 Pohon Belimbing 0 Comments

Aku tak benar benar yakin,
apa mungkin kita dapati penghujung kisah
sedang kita masih saja menyalin luka
senantiasa terjaga dengan cahaya berpendar lampu lampu temaram
kota yang tak pernah rela ditinggali redam

Tak ada lagi yang mampu menampung seluruh kita,
tanda baca dan ciuman yang tak habis habisnya itu
tergantung di hampir setiap lampu lampu jalan
bersama menyiasati kesepian yang bersikeras tahan

Sejak hiruk pikuk lantai dansa melengkungi tubuh kita,
kau tanggalkan segala rupa perkara kata
membiarkan ricik pikiranku mengenal tiap bait kesadaranmu
sampai suatu saat yang tak terduga
kota yang tak pernah rela,
memberikan separuh bisingnya
untuk jadi rumah yang ramah bagi sejumlah tanda baca

Namun aku tak benar benar yakin,
apa mungkin disana tak akan ada petang, tak akan ada sudah
sebab, bahasa tak pandai menyusun tubuhku

meski kau pandai hidup dalam genang darahnya

0 komentar:

Pulang II

07.55 Pohon Belimbing 0 Comments

Segenggam doa kuselipkan di sakumu saat kau berjanji padaku untuk pulang,
namun sungguh, sejak awal kata kata tak pernah punya makna apa apa
Kau dan aku hanya menahan yang pura pura tahan
Bagimu penantian, meski paling lapang, hanya akan terasa kurang

Sungguh, sejak mulanya diantara kita mungkin tidak ada apa apa
Kau tanam di dadaku semuanya dengan siasat
Hutan, pohon berbuah, janji dan cita yang bekat
Apa pernah terpikir olehmu untuk memetiknya barang sesaat?

Bagimu, dialah muara suntuk letihmu
Namun apa bisa ia menjadi tempat penyangkalan nasib sedihmu
Sementara luka di tubuhmu hanya akan kering oleh air mataku

Aku masih disini, menggenggam doa yang akan kuselipkan di sakumu
Masih berharap angin yang mampir kerumah kita,
adalah jalan pulang untukmu dan suaramu yang masih akan terus kukenali
Aku masih disini, bersiap untuk terluka

(Terinspirasi oleh Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali - Adimas Immanuel)

0 komentar:

Batu - Sutardji Calzhoum Bachri

10.03 Pohon Belimbing 0 Comments

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu

kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
dengan seribu perawan hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati
dengan seribu beringin ingin tak teduh.
Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai.
Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu

kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji ?

0 komentar:

Senja Bertanya Kepada Malam - Rodhotul Jannah

21.41 Pohon Belimbing 0 Comments

Senja tiba dengan jingganya
membawa kabar bersama angin
menyampaikan pada awan kelabu
akan datang sebutan malam

Dengan awan, senja menanti malam
sambil bertutur perkara kelam.
Malam pun mendengar,
tapi ia terdiam
sungkan.

Senja menyadari namun ragu
"Malam, kenapa kamu belum bangun?"
Malam termenung manis
"Aku takut kamu hilang, senja."

Senja pun gelisah,
ia hampir lenyap
mempertanyakan jawaban malam dengan lengang.
Malam paham,
ia gemetar,
mulai samar.


"Warnamu buatku jatuh cinta, senja."

-Anaaarj
22 September 2016

0 komentar:

Langit

08.32 Pohon Belimbing 0 Comments

LANGIT

Oleh: Pohon Belimbing

Laki laki itu sudah muak berada di bawah langit yang selalu ada di atas kepalanya. Setiap kali langit yang selalu di atas kepalanya itu berganti warna, ia selalu menghindar. Masuk kedalam rumah, ke warung makan, ke museum, ke mana pun. Laki laki itu selalu membawa payung di tangan kanannya untuk menghindari melihat langit yang selalu ada di atas kepalanya. Sampai suatu ketika, ia berencana untuk membunuh langit yang selalu ada di atas kepalanya itu.

Langit yang selalu ada di atas kepalanya adalah aku. Seperti yang sering dikisahkan dan menjadi sebuah mitos yang menarik di tengah tengah orang orang yang berada di sekitar laki laki itu, dulunya aku adalah perempuan, manusia sepertinya. Entah darimana mereka bisa membuat buat cerita itu yang nyata nyatanya, dan ternyata, itu nyata. Namun, sekarang aku tinggal pikiran. Dan tanpa bisa bosan, aku selalu berada di atas kepala laki laki itu.

Dua hal yang masih kuingat dari kehidupanku sebelum menjadi langit diatas kepala laki laki itu adalah alasan aku berubah menjadi langit, dan perasaan cintaku kepada laki laki itu. Sebelum, aku berubah menjadi langit, aku bertemu Tuanku, yang kebetulan sedang mencariku. “Tuanku, untuk apa Tuanku mencariku?” aku bertanya pertama, sebab tidak sopan kalau Tuanku menegur lebih dulu. “Aku bosan melihat kau saban kali memanggil manggil namaKu, namun pikiranmu selalu tertuju pada laki laki itu” Iya, yang Tuanku maksudkan, adalah laki laki yang kepalanya ada dibawahku saat ini. “Kau selalu mencarinya, tanpa mesti, tiap waktu, pikiranmu hanya tertuju padanya, mencarinya, kau hilang akal kalau tidak mencarinya.” Lanjut Tuanku. Dan pasti kau tahu cerita selanjutnya, seperti sering kau dengar dalam dongeng dongeng, Tuanku mengubahku menjadi langit, langit yang selalu berada di atas kepalanya agar aku tak perlu susah susah mencarinya. Sebab kepalanya selalu ada di bawahku.

Laki laki itu jelas tidak tahu kalau akulah langit di atas kepalanya. Ia hanya tahu, salah satu perempuan yang dikenalnya menghilang tanpa isyarat apa apa. Begitu saja menghilang. Aku sempat melihat laki laki itu seperti kecarian, atau aku mungkin hanya terlalu percaya diri. Tak tahulah, aku tinggal pikiran. Meskipun aku tinggal pikiran, tanpa telinga, tanpa hidung, tanpa mata, tanpa mulut, dan sebagainya. Aku tetap bisa melihat, mendengar, memandang. Keseluruh inderaku masih bisa berfungsi dengan baik.

Dan bukan berarti, aku tidak tahu dengan keinginannya untuk membunuhku mangkanya aku masih mencintainya. Aku tahu, tahu sekali. Mungkin ia sebal denganku. Sebab sebelum ia menghindariku seperti sekarang ini, aku yang lebih dulu terlihat menghindarinya. Dahulu setiap ia mendongak ke atas dan melihat, aku selalu membelakanginya sehingga setiap ia mendongak, gelaplah yang terjadi. Bagaimana ia tidak sebal, bukan? Ketika ia ingin melihat hujan yang membasahi kaca jendela kamarnya, ruang di sekelilingnya dan ruang di bawahku mendadak gelap, sebab aku membelakanginya. Ketika ia ingin memandang senja, begitu pulalah yang terjadi. Aku tidak bermaksud jahat padanya, tapi begitulah, aku selalu membelakanginya ketika ia melihatku. Burung burung di udara di atas kepalanya juga sering kali ikut sebal. “Lah kok langit bisa grogi ketika dilihat laki laki.” ledek mereka.

Malam ini, ia membuka jendela, barangkali agar aku bisa melihatnya merencanakan pembunuhanku. Duh, gusti. Melihatnya merencanakan pembunuhanku pun aku tetap mencintainya. Matanya berkilat ketika mendapatkan ide untuk membunuhku, dan bibirnya tersenyum membayangkan rasa sakit apa yang bisa kurasakan sebelum kematian berpihak padaku. Aku tersenyum, dan langit berpendar di sekelilingnya. Langit langit lain melirikku, pasti mereka protes karena iri mereka tidak seterang aku malam ini, atau mereka mungkin kasihan padaku karena tahu kisah sebetulnya, angin memang selalu berisik, menyesal aku pernah bercerita padanya, dan akhirnya, semua langit pun tahu, dasar angin tukang gosip. Sudahlah aku tidak peduli.

Keesokan harinya, matahari bersinar terik dan aku sangat kepanasan, laki laki itu juga begitu. Ia berteriak kepadaku, mungkin ia mengira bahwasanya aku jauh darinya, karena ia berteriak sekeras mungkin. Ia lalu menertawai diri sendiri, merasa dirinya telah gila berteriak pada langit. Ia mungkin mengira aku tidak bisa mendengarnya, tapi tentu saja, aku mendengarnya, jelas sekali. Aku seperti biasa membelakanginya. Suasana gelap dan dingin untuknya. Ia tertawa sangat kencang. Mungkin ia sudah gila betulan, pikirku. Ketika ia tertawa itulah, ia menghunuskan pisau lipat victorinox jingga yang selalu ia bawa kemana mana. Tepat di bekas punggung perempuanku yang sekarang sudah menjadi langit gelap dan dingin. Tapi, ia kurang puas. Mungkin karena aku tidak berdarah, seperti yang ia bayangkan. Ia hunuskan pisaunya berulang kali. Ia tertawa, mendengar bunyi pisau yang bolak balik terhunus. Karena penasaran, ia sayat beberapa bagianku, dan ia balik. Tentu saja ia senang, seonggok langit yang terang ada di tangannya, ia pamerkan ke sekelilingnya, dan berkata kalau itu adalah perutku, perut langit yang ia cungkil dari tubuhku.

Hujan turun dengan deras, namun ia tidak basah. Tubuhku sendirilah yang basah. Hujan membuat luka luka di tubuhku semakin pedih. Mungkin selanjutnya, silahkan angin yang bercerita padamu.

_____________________________________________________________

Perkenalkan aku angin, aku bukan satu satunya saksi  dalam perkara yang telah kau dengar sebelumnya. Dengan perasaan terluka, aku akan melanjutkan kisahnya. Tadi sore langit di atas kepala laki laki itu mati. Tidak, tidak perlu berduka cita. Ia sangat bahagia. Ia bahagia mati di tangan laki laki yang ia cintai. Dan, ia mungkin bahagia, sebab ia tidak tahu apa yang terjadi setelah ia mati.

Bangkai langit tidak bisa laki laki itu pindahkan, aku sudah coba membantu, tapi tidak bisa. Semenjak kematian langit, laki laki itu menjadi semakin gila. Kegelapan dan kedinginan menyekapnya. Jelas saja laki laki itu gila.

Dan dengan perasaan terluka, kusampaikan juga, baru saja, laki laki itu mati. Untung saja, langit sudah mati lebih dulu sehingga ia tak perlu susah susah dan sedih. Dengan apakah ia mati dan apakah ia bahagia atau tidak, tentu saja aku tidak tahu, aku tidak bisa melihatnya, gelap sekali.

Perkenalkan aku angin, aku bukan satu satunya saksi dalam perkara yang telah kau dengar sebelumnya. Dengan perasaan terluka, aku akan membagi bagikan kisahnya.


0 komentar:

MONOLOG: Kalau Boleh Memilih Lagi - Putu Wijaya

05.14 Pohon Belimbing 0 Comments

Waktu aku bangun, di sampingku ada bom. Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku acuh-tak-acuh saja. Aku tangkap saja dan memeluknya seperti guling. Tidurku berkelanjutan lagi untuk beberapa jam. Tatkala aku bangun terlambat esoknya, bom itu hampir saja menindih kepalaku.

Sekarang aku tercengang. Aku belum pernah meraba sebuah bom. Di dalam bisokop bom tidak pernah menjadi terlalu penting. Yang penting adalah akibat-akibatnya. Sekarang aku terpaksa mengerti bahwa bom tidak sesederhana yang disampaikan oleh seorang juru kamera atau seorang sutradara film. Bom adalah sesuatu yang keras, dingin, penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa yang harus diperbuat dengan sebuah bom.



Aku hanya tidur seorang diri. Istriku telah berangkat ke pasar. Sedangkan anak-anak pada jam sembilan seperti ini, sudah pasti semuanya berada dalam kelas. Aku terpaksa menghadapi bom itu sendirian. Pembantu dalam rumah tentu tidak bisa diajak berunding. Iyem hanya bisa mencuci dan memasak, sambil memecahkan secara berkala gelas-gelas, pelayan itu tentu tidak bisa diajak menghadapi bom.

Bom itu seperti bayi yang minta dimanjakan. Aku tahu itu taktik yang sangat berbahaya. Begitu disentuh, maka tenaganya akan merasuk ke dalam badan, melumpuhkan otak, membakar emosi, sehingga setiap orang bisa menjadi opembunuh yang keji. Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa, karena aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku.

Bahkan waktu pintu diketok, aku cepat-cepat membentak Iyem, supaya enyah jauh-jauh. Pintu itu aku kunci. Kini aku yakin bahwa bom itu sedang bekerja. Aku seperti mendengar bunyi ketukan sehingga aku jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu. Kalau ya, tanpa dibantu lagi ia akan meledak. Bagiku sekarang tinggal pilihan di mana aku dapat membiarkan bom itu meledak, tapa membahayakan banyak orang.

Dalam keadaan seperti itu, aku teringat kepada musuh-musuhku. Tetangga-tetangga yang aku benci. Majikan yang pernah menyakiti hatiku. Bekas-bekas pacar dan beberapa pejabat yang culas, akan tetapi tetap menjadi wakil yang terhormat. Aku juga teringat kepada gubuk-gubuk liar  gelandangan yang seharusnya lebih pantas mati daripada hidup lebih lata dari binatang. Dengan mudah aku dapat membawa bom itu ke sana. Meledakkannya, lalu memikul resikonya. Dianggap penjahat atau pahlawan.

Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara spektakuler. Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus. Mungkin sekali aku akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya. Tapi aku khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.

Selama satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi. Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung. Lalu bom itu aku raih. Aku dalam baju, aku bawa keluar, untuk diungsikan ke suatu tempat yang tidak mengganggu orang. Tetapi di mana, di mana ada tempat yang tidak mengganggu orang? Rumah tetangganya amat dempet-dempetan. Di mana-mana banyak orang. Apalagi di sekitar rumahku pasar dan jalan raya yang rame.

Sambil memeluk bom, dengan memakai sarung yang kusut dan sandal jepit, aku kebingungan di depan rumah. Aku pikir aku harus memilih dengan cepat, apa yang harus dikorbankannya. Bom itu tampaknya tidak banyak punya waktu lagi. Mungkin masih ada seperempat jam yang sangat mendesak. Sesudah itu setiap saat bisa terjadi ledakan.

Untuk tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu. Sekarang aku mulai menghitung sekali lagi, apa yang harus aku korbankan. Rumah tanggaku sendiri? Rumah salah seorang tetangga yang dibenci oleh seluruh kampung karena selalu bijkin onar? Sebuah mobil sedan kepunyaan orang asing yang kebetulan lewat. Kantor polisi. Atau sebuah tanah lapang.

Karena kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang. Aku tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.

Mula-mula aku tidak menarik perhatian orang banyak, sebagaimana yang aku harapkan. Tetapi setelah aku mulai menaiki tiang bendera itu, orang-orang gempar. Mula-mula yang berdekatan saja. Kemudian dari jalanan mengalir banyak orang melihat aku hampir mencapai puncak bendera. Tetangga-tetangga mula-mula tertawa, tetapi serentak mereka tahu bahwa itu aku, mereka heran. Di kalangan pergaulan biasa, aku adalah seorang manusia yang wajar, sabar serta baik. aku dikenal sebagai orang yang lurus yang tak akan melakukan apa-apa tanpa alasan yang kuat. Dan kalau sekarang aku memanjat tiang bendera setinggi itu hanya dengan kain sarung, pasti ada yang istimewa. Mereka pun berhenti ketawa, lalu lari menghampiri.

Seorang anak lari ke sekolah, memberitahukan anak-anakku apa yang terjadi dengan bapaknya. Anakku melapor kepada gurunya. Lalu guru itu sendiri menganjurkan agar anak-anakku berlarian ke bawah tiang bendera. Salah seorang pergi ke rumah. Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Iyem telah pergi bersama orang lain menuju tiang bendera. Sementara istriku yang sedang berbelanja sudah mengalir juga bersama orang banyak.

“Okiiii, turun kamu!” kata semua orang sambil melihat ke puncak bendera.
Aku memberi isyarat agar orang-orang itu menjauh. Aku menunjuk ke bom yang berada di balik bajuku. Tapi orang-orang itu tidak mengerti. Mereka berkumpul tambah banyak.

“Okiii, turun!” jerit istriku yang baru sampai.

Anak-anak ikut menjerit di samping ibunya.

“Bapaaak! Turunnnnn!”

Aku bertambah kukuh berpegang. Ujung bendera itu mengibas-ngibas. Aku  mengeluarkan bom itu lalu membungkusnya dengan bendera. Aku memandang ke bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak orang. Tidak penting lagi bahwa di antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat begitu banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.

“Jangan bunuh anak itu!”teriak istriku

Orang banyak terkesima.

“Kamu bilang anak, anak apa?”

Istriku meraung, mengacungkan tangan dan menunjuk ke buntalan yang aku kekep. Orang banyak segera sadar. Kini perhatian mereka tidak lagi kepadaku, tetapi kepada buntalan itu. Semuanya terdiam, memandang ke atas dengan cemas. Mereka tidak berani lagi beteriak, khawatir kalau aku jadi gugup dan menjatuhkan anakku.

“Jangan bunuh anak itu Oki, itu anak kamu sendiri!”

Anak-anakku ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.

“Bapaaaaak! Jangan bunuh adik kamiiii!”

Orang banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi. Mereka hanya memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja yang nanti ternyata benar. Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari dalam bom itu makin keras menusuk-nusuk jantungku. Aku berteriak supaya orang-orang menghindar.

“Pergii! Pergiii semua!!”

Tetapi orang banyak makin mengalir ke bawah tiang bendera. Aku jadi tambah takut. Tubuhku gemetar. Tiang bendera itu ikut bergetar melanjutkan ketakutanku. Ini menyebabkan masyarakat di bawah tiang bendera itu cemas. Apalagi karena tanggungjawab dan ketakutan, aku memeluk erat-erat bom itu. “kalau ini meledak, biar akulah yang hancur sendiri,” kataku putus-asa.
Aku dekap bom itu ketat-ketat.

“Jangaaaan Paak!”teriak istriku.

Orang banyak ikut berseru.

“Jangaaaaan Okiiii!!” Sayang anakmu!!”

Aku tidak mendengar, aku terus mendekap. Istriku terus menjerit. Anak-anak berhenti membuka mulut, sekarang mereka menangis. Pada saat itu orang banyak mulai bingung. Keadaan menjadi tegang dan kacau. Hanya ada seorang petugas yang tenang. Ia melihat keadaan bertambah kritis. Ini memerlukan tindakan cepat. Harus diputuskan cepat dan dilaksanakan dengan segera.

Petugas itu menarik lengan istriku.

“Jadi suamimu ingin membunuh anakmu?”

“Benar Pak.”

“Mana di antara keduanya yang paling kau cintai?”

“Kedua-duanya.”

“Tidak bisa, pilih satu saja,”

“Tidak bisa Pak, saya pilih kedua-duanya.”

Petugas itu menggeleng dengan dingin.

“Keadaan sudah gawat, kamu harus memilih satu, suamimu atau anakmu?”

Istriku tidak dapat memutuskan. Ia tetap ingin keduanya. Ia tidak mau memilih. Ia lebih suka menangis dan memandang ke puncak bendera sambil menadahkan tangan.

“Okiiii!”

Tiba-tiba anak-anakku jatuh pinsan karena terlalu keras berkoar. Ini menyebabkan petugas itu cepat bertindak.  Ia menengok ke atas. Dilihatnya aku memeluk bom itu dengan keras sekali. Lalu ia mengacungkan bedilnya. Istriku menjerit. Ia memeluk kaki petugas itu dan mencakar-cakarnya.

“Jangan Pak! Jangannnnn!”

Petugas itu tidak tergoda. Ia memerintahkan orang banyak agar ikut membantu. Lalu puluhan, barangkali ratusan – kalau tidak bisa dikatakan ribuan tangan merentang, mengembangkan jari-jari, siap menerima apa yang akan jatuh. Tangan-tangan itu bagai dataran putih yang empuk. Aku di atas tiang bendera sama sekali tidak mengerti, kenapa begitu banyak tangan tertadah. Tapi waktu aku melihat pucuk senjata itu mengarah ke atas kepalaku, aku semakin keras memeluk.

“Dor!”

Peluru itu menembus salah satu bagian tubuhku. Tapi aku tidak jatuh. Aku masih terus menempel, melilit tiang bendera.

Dor!

Tanganku lemah memeluk.

Dor!

Aku terus melilit tiang. Tapi bom itu lepas dari peganganku. Dengan diselimuti oleh bendera, bom itu melayang ke bawah. Sepuluh, atau seribu, kalau tidak berjuta-juta tangan yang menadah berebutan hendak menjemput barang yang jatuh itu.

Aku masih sempat mendengar ledakan yang dahsyat. Aku masih dapat membayangkan tangan-tangan itu lepas dari tubuh pemiliknya, terlempar ke udara sambil menyerakkan daerah. Aku masih bisa melihat seratus, seribu atau berjuta-juta orang kehilangan tangan. Tangan anakku, tangan isteriku, tetanggaku, tangan begitu banyak orang terlempar tepat mengemai mukaku. Aku mengeram.

Kalau boleh memilih lagi, aku tidak akan menjamah bom itu. Akan ia biarkan saja tergolek di tempat tidurku sebagai bencana atau mimpi buruk. Aku tidak tahu darimana asalnya, siapa yang telah mengaturnya. Dan yang lebih penting lagi, aku tidak usah merasa mempunyai kewajiban apa-apa. Apalagi secara diam-diam menaruh harapan untuk menyelamatkan orang banyak.

Sambil tersiksa oleh akibat perbuatanku, aku mati perlahan-lahan. Tubuhku bagai sekerat dendeng, tetap tergantung di tiang bendera itu, sampai sekarang.

                                                      




Jakarta 1978

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!