Perempuan = Laki Laki = Perempuan!
Perempuan
= Laki Laki = Perempuan!
Sebuah Tulisan Imajinasi Sosiologis Kritis
Derrida Mengenai Oposisi Biner
Angel Jessica, Sastra Indonesia UNJ
Bisa dibilang tulisan ini memang dibuat
karena setelah membaca beberapa pdf atau e-book
yang membahas Derrida dan imbas dari menjadi panitia Women’s March Jakarta dua
tahun berturut –turut. Meskipun tidak hadir saat march tahun ini, selalu saya sempatkan waktu saya untuk melihat
perkembangan dan tentu saja, poster-poster yang dibawa peserta tahun ini. Dan
setiap tahunnya saya selalu me-reposting poster-poster
yang saya suka sebagai bentuk apresiasi dan dukungan yang sama.
1. Perempuan = Laki Laki = Perempuan. Loh?
Jika saya melihat kalimat tersebut saat
ini, yang ada di pikiran saya bukan lagi hanya sekadar kata perempuan dan laki
laki secara makna leksikal atau makna-makna yang dirumuskan atau makna yang
sudah disepakati bersama tentang apa yang ditandai oleh masing masing kata
tersebut. Sekarang makna ujaran perempuan/kata perempuan dan makna ujaran
laki-laki/kata laki-laki adalah seperti sebuah lingkaran yang beririsan di
banyak titik.
Saya kemudian berpikir, kata perempuan dan
laki laki sendiri, saat ini, bukan lagi permainan sederhana bagi saya sebagai
seseorang yang mempelajari bahasa. Kata perempuan dan laki laki, adalah sebuah
wacana sosial yang rentan dan abstrak.
Jika dalam kesusasteraan sendiri, jika
saya memandang kata perempuan dan laki laki, tentu saja secara keseluruhan
menjadi milik saya sebagai penulis ataupun pembaca dalam menafsirkannya. Tapi
apa iya, saya pun sebagai seorang penulis atau pembaca mampu keluar dari strukturalisnya,
dan berani menceburkan diri dalam keabstrakan kata kata tersebut?
2. Derrida; pendukung
kesetaraan gender?
Membicarakan perempuan dan laki-laki baik
dalam lingkup humaniora, termasuk bahasa tidak lepas memang dari isu isu
feminisme. Derrida, atau lengkapnya Jacques Derrida adalah sebuah filsuf
posmodernisme yang mengkritik Saussurian, pendukung Ferdinand De Saussure,
seorang linguis yang dianggap sebagai pembangun semiotika yang pada saat itu
mencetuskan sebuah teori oposisi biner, yang sangat mengkotak-kotakan makna
berdasarkan hierarki. Pada saat itu, kata perempuan dan laki-laki juga masuk
dalam teori oposisi biner ini yang dimana laki-laki sebagai dominan dan
perempuan sebagai submisif, atau kasarnya laki laki di atas dan perempuan di bawah.
Derrida melihat bahwa sumbu bipolar yang digunakan Saussurian ini sebagai
sebuah represi dalam pemaknaan. Jacques Derrida dengan ini membongkar struktur
dan kode-kode bahasa, khususnya struktur biner, sedemikian rupa, sehingga
menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Brook dalam bukunya “Posfeminisme”
mengatakan bahwa teknik dekonstruksi Derrida menjelaskan bahwa jika teori
feminis ingin berhasil dalam penentangannya pada wacana alat kelamin sentris
hal tersebut tidak bisa dilakukan dari posisi di luar falosentrisme (1997:
112). Falosentrisme adalah neologisme yang diajukan oleh Jacques Derrida yaitu
mengistimewakan phallus atau penis
sebagai simbol kekuasaan. Berarti, falosentrisme ini adalah suatu kecenderungan
untuk memandang kehidupan dan mendefinisikan segala sesuatu dengan menggunakan
perspektif laki-laki (Budianta, 2002: 207).
Alasan akhirnya saya menyimpulkan bahwa
Derrida adalah seseorang yang mendukung kesetaraan gender adalah karena teori
beliau menurut saya adalah akar dimana bahasa, bahkan wacana humaniora dapat
dikritisi dan dijembatani agar menjadi wadah yang sama bagi seluruh kelompok
atau sub di masyarakat. Dekonstruktif Derrida mengkritisi falosentrisme yang
mendasarkan diri pada oposisi biner logosentrisme di mana privilege berada di
tangan laki-laki. Dekonstruksi Derrida yang menghilangkan adanya dikotomi dan
memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat marginal membantu feminisme
mendukung perjuangan perempuan untuk melawan patriarki. Patriarki mengacu pada
sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan.
Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, tersurat atau tersirat,
melakukan subordinasi terhadap perempuan.
Saya rasa sebetulnya tujuan dari Derrida
ini memang pada akhirnya memang tujuan yang sama seperti yang saya cita
citakan, seperti yang feminis dan pejuang kesetaraan gender cita-citakan,
yakni bebas dari penindasan, dominasi,
hegemoni, dan ketidakadilan, dengan begitu tercipta masyarakat yang adil dan setara,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Tujuan akhir bukanlah kemenangan suatu
kelompok atas kelompok lainnya (dalam hal ini perempuan atas laki-laki), atau
pemusatan kekuasaan dalam satu pihak, melainkan penataan kembali kesamarataan
semua kelompok dan sub masyarakat.
3.
Perempuan
= Laki-Laki = Perempuan. Nah!
Seperti halnya yang dicanangkan Derrida,
saya rasa teman saya, Viola dalam posternya juga menginginkan sebuah kritik
atas strukturalisme oposisi yang sepertinya memang sudah kuno jika diterapkan
pada masyarakat kini meskipun masih banyak juga yang masih berpegang pada makna
biner tersebut. Kalimat ‘Perempuan=Laki-Laki=Perempuan’ ingin membongkar
hierarki oposisi biner. Jika kita
cermati, Viola memakai tanda baca sama dengan (=) yang menandai kesamaan /
kesejajaran antara perempuan dan laki-laki.
Kalimat yang ditulis dalam poster teman
saya dalam Women’s March Jakarta 2019 kemarin seakan ingin mengkritisi, seperti
halnya Derrida mengkritisi, budaya strukturalis kuno dimana perempuan
telah didefinisikan sebagai ‘sesuatu’ yang lain dari laki-laki. Dengan kata
lain, wanita secara historis ditentukan oleh hierarki oposisi biner, di mana wanita
ditempatkan secara rendah dibanding pria. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru
karena oposisi hierarkis ini sebetulnya mengakar pada pembagian tradisional
peran pria dan wanita dalam sejarah. Dan kalimat ‘Perempuan=Laki-Laki=Perempuan’ menurut saya adalah kalimat yang
paling tepat untuk membongkar budaya strukturalis tersebut.
Derrida dan pendukung teori
dekonstruksinya, tentu saja juga pendukung feminisme berpandangan bahwa dekonstruktif
atas hubungan perempuan dan laki-laki memang menegaskan perbedaan perempuan dan
laki-laki secara gender ataupun seksualitas adalah sesuatu yang natural, tetapi
pembagian peran berdasarkan gender dan seksualitas dapat digugat dan
dipersoalkan sebagai akar masalah subordinasi atas perempuan di dalam sejarah. Dengan
kata lain, Derrida dan teman saya tadi ingin membeberkan bahwa kenyataan bahwa hierarki
perempuan dan laki laki dengan pembagian peran dan kerja yang sangat
subordinatif atas perempuan yang pada dasarnya dibentuk oleh kuasa dan sejarah
kaum pendukung patriarkis atau falosentris dapat dibongkar lewat pemberian
keluasan makna kata perempuan dan laki-laki tanpat mengkotak-kotakan kata
tersebut menjadi sebuah oposisi biner hierarkis yang maknanya itu-itu saja.
Daftar Pustaka
1.
Amminudin. 2002. “Pendekatan Pasca
Struktrural: Jacques Derrida” dalam Kris Budiman
(ed), Analisis
Wacana: Dari Linguistik sampai Dekonstruks. Yogyakarta: Kanal.
2. Budianta,
Melanie. “Pendekatan Feminisme terhadap Wacana” dalam Kris Budiman
(ed.), Analisis
Wacana: Dari Linguistik sampai Dekonstruks. Yogyakarta: Kanal.
3. Brooks,
Ann. 1997. Posfeminisme dan Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra
4. Howells,
Christina. 1999. Derrida, Deconstruction from Phenomenology to Ethics. Blacwell
Publishers Inc. USA
5. Norris,
Christoper. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
0 komentar: