Hujan Sudah Berhenti
Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga
Hujan Sudah Berhenti
Cerpen Bernard Batubara
“Hujan
sudah berhenti, Annelies.”
“Ya,
Mama.”
Jika
Mama sudah berkata seperti itu, maka aku harus berhenti menatap pada jendela.
Setelah hujan pergi meninggalkanku sendiri, aku harus segera menyelesaikan
urusanku dengan titik-titik air yang masih membekas di permukaan kaca, dan
menulis sebuah surat untuk kusampaikan kepada angkasa. Percakapan kami tak
boleh didengar oleh siapapun. Termasuk Mama.
“Kamu
harus berangkat kursus, Annelies.”
“Ya,
Mama.”
Mama
tak pernah tahu bahwa aku bisa berbicara kepada hujan. Percakapan kami memang
tidak menggunakan bahasa manusia. Bahasaku dan bahasa hujan sungguh berbeda.
Aku tak bisa bicara kepadanya menggunakan bahasaku dan dia tak bisa bercerita
kepadaku memakai bahasanya. Maka kami bersepakat untuk menciptakan bahasa baru.
Bahasa yang hanya dipahami oleh kami berdua.
Awan hitam adalah temanku yang lain. Dia yang selalu mengantarkan hujan kepadaku. Namun dia tidak pernah mengantarkan Papa.
Seandainya
Papa masih ada di sini, mungkin dia akan mengerti bahasa yang kuciptakan
bersama hujan. Sebab Papa menyukai awan-awan.
“Hujan
sudah berhenti, Annelies.”
“Papa!
Ayo kita berburu pelangi!”
Jika
Papa sudah berkata seperti itu, maka aku akan menghambur ke dalam pelukan Papa
dan menggamit lengannya dan kami akan berlari ke arah langit yang memiliki
pelangi. Mama tidak ada di rumah, sedang bekerja. Kala hujan sudah berhenti,
tak berapa lama lagi dia akan pulang, dengan wajah yang lelah, dan langsung
rebah di kamar mengistirahatkan tubuh. Mama tak suka berburu pelangi.
Papa
mengajariku mencintai hujan, sebab kata Papa, basah adalah anugerah. Dan
setelah gemuruh beserta bising petir dan pemandangan kelam yang dibawa
awan-awan hitam, ada pelangi yang selalu mengingatkanmu bahwa kehidupan selalu
bisa dinikmati dengan cara yang lebih baik. Bahwa seburuk apapun nasib menimpamu,
harapan tak pernah lenyap. Ketika itu aku hanya tersenyum menatap Papa yang
tersenyum padaku dan mendekapku ke dalam tubuh hangatnya dan kami akan bermain
tebak-tebakan tentang siapakah yang menciptakan pelangi dan hujan.
Aku
menjawab, “Tuhan dong, Papa.”
Papa
menyuruhku mencari jawaban yang lebih kreatif. Aku mengingat sebuah lagu yang
diajarkan ibu guru di sekolah. “Agung, Papa, soalnya pelukismu Agung...”
Dan Papa tertawa. Aku suka mendengar suara tawa Papa.
“Kamu
pintar, Annelies. Tapi kamu tahu siapa sebetulnya yang menciptakan pelangi dan
hujan? Atau sebaliknya, hujan dan pelangi?”
Aku
hanya mendongak ke langit. Papa merangkulku. Wangi tubuh Papa seperti harum
daun-daun basah.
“Kamu,
Annelies, kamu lah yang menciptakan hujan dan pelangi.”
***
Aku
menulis surat kepada angkasa untuk bicara dengan Papa. Seandainya Mama
mengetahui hal itu, mungkin dia akan menyuruhku berhenti duduk di dekat
jendela.
“Hujan
sudah berhenti, Annelies.”
“Ya,
Mama.”
“Kamu
harus memotong rambutmu. Sudah terlalu panjang. Tidakkah kamu terganggu?”
“Tidak,
Mama. Tapi aku akan memotongnya kalau Mama mau.”
“Mama
akan pulang terlambat. Di kulkas ada telur dan sarden. Jangan lupa jemur
pakaian, Annelies.”
“Ya,
Mama.”
Langkah
sepatu Mama mendekatiku. Dia memelukku dan mencium pada pipiku. Aku merasa
seperti dicium sebongkah es. Wangi tubuh Mama seperti aroma akar pohon.
Ketika
hujan sudah berhenti dan Mama telah pergi, aku akan menyelesaikan urusan-urusanku.
Urusan yang diberi oleh Mama dan urusan yang kususun untuk Papa. Sebuah surat
lagi kepada angkasa yang muram. Karena semenjak pada suatu hari Papa pergi dan
tak pernah kembali, aku hanya bisa bicara kepada hujan dan berharap dia
menyampaikan kata-kataku untuk Papa.
Aku
ingin berkata kepada hujan bahwa aku rindu Papa. Namun, Papa bilang, kata
“rindu” memiliki gelombang yang terlalu kuat dan aku khawatir meski aku bicara
dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh aku dan hujan, Mama bisa mendengarnya
dari kejauhan dan bergegas pulang ke rumah untuk memukuliku. Sebab di suatu
malam saat hujan sudah berhenti dan suaraku tak terhalau lagi oleh ribut air
bertumbuk dengan atap rumah, aku bilang kepada Mama, “Aku rindu Papa…” Mama
berubah menjadi gemuruh petir dan menyambar sebelah pipiku dengan sebelah
tangannya yang putih namun keras.
Saat
melakukannya, sepasang mata Mama menjadi kilat. Aku tahu, semenjak Papa pergi,
di dalam dada Mama takkan pernah lagi tumbuh pelangi.
***
“Hujan
sudah berhenti, Annelies.”
Aku
tak sempat mengajak Papa berburu pelangi. Mama menghampiri kami dan berbicara
kepada Papa dengan suara yang begitu nyaring sehingga aku merasa hujan akan
segera turun lagi.
“Ke
mana saja kau kemarin?”
“Bekerja.
Kenapa?”
“Jangan
bohongi aku! Kemarin kulihat kau masuk ke dalam hotel bersama seorang
perempuan!”
“Ayo,
Annelies, kita berburu pelangi. Hujan sudah berhenti.” Ayah menggamit tanganku,
namun aku masih menatap Mama. Dia masih berdiri dengan mata yang berkilat-kilat
menatap Papa yang tak menatapnya.
Saat
aku melangkah keluar pintu rumah, Mama melempari punggung Papa dengan remot
televisi. Papa tak bersuara dan tersenyum kepadaku. Mama melempari jendela
dengan piring dan gelas. Di luar, hujan sudah berhenti. Tetapi aku membalikkan
badan dan aku melihat ada halilintar di dalam rumah.
***
Setiap
hujan turun, aku merasa bisa bicara dengan Papa. Tetapi Mama membenci Papa
seperti dia membenciku setiap mendapatiku sedang duduk diam di dekat jendela.
Beberapa waktu lalu, ketika aku sedang bercakap-cakap dengan hujan dan tentu
saja dengan bahasa rahasia yang kami ciptakan, hujan memberitahuku bahwa Papa
merindukanku dan ingin sekali bertemu denganku.
Aku
tersenyum dan dadaku terasa hangat. Seolah Papa sedang memelukku dengan
tubuhnya yang mengantarkan hawa perapian.
“Hujan
sudah berhenti, Annelies.”
“Ya,
Mama.”
“Bereskan
barang-barangmu Annelies, kita akan pindah.” Bunyi sepatu Mama mengusik
percakapan terakhirku dengan hujan. “Dan, Annelies, berhenti duduk di dekat
jendela itu. Oh, sungguh! Apa yang kamu lakukan, bicara dengan jendela?”
Tidak,
Mama, aku bicara dengan hujan.
“Ayo
anakku, berhenti melamun dan kemasi barang-barangmu. Kita akan meninggalkan
rumah ini.”
“Kita
mau ke mana, Mama?”
“Kamu
selalu mencari Papa, bukan? Kamu akan bertemu dengan Papa.”
“Sungguh?”
“Kemasi
barang-barangmu!”
Aku
menulis surat terakhir kepada hujan: Dear, hujan, terima kasih telah
menemaniku semenjak Papa pergi. Sekarang, aku akan bertemu lagi dengan dia.
Papaku, Papaku sendiri. Papa yang mengajariku untuk mencintaimu. Terima kasih,
titik-titik air di jendela, telah menyimpan bahasa rahasiaku dan tetap tinggal
di sana meski hujan sudah berhenti. Aku takkan merepotkan kalian lagi. Terima
kasih.
***
Hujan
sudah berhenti.
Aku
duduk di hadapan jendela rumah yang baru. Di rumah ini suara hujan tak
terdengar. Teredam oleh atap. Di hadapan mata jendela *), aku
mengingat Papa. Mama telah membawaku ke tempat yang asing dan kata-katanya tak
pernah terbukti. Aku tak pernah bertemu dengan Papa. Alih-alih, aku bertemu
dengan lelaki lain. Lelaki itu baik tapi tubuhnya tak seperti Papa, tak
beraroma daun-daun basah. Lelaki itu memiliki harum kulit kayu.
Rumah
ini jauh lebih besar dari rumah Papa yang telah kami tinggalkan dan kini menjadi
milik orang lain. Setelah lima tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan segala
keterasingan yang mengelilingiku. Lelaki asing yang kini bersama Mama semakin
hari semakin terasa asing. Bahkan, Mama kini tampak asing bagiku. Mungkin,
lelaki asing itu juga akan selamanya asing di dalam mata Mama. Sebab setiap
kali aku melihat Mama memeluknya dan menciuminya dan memanggilnya dengan
kata-kata sayang, aku hanya merasakan kekosongan dalam setiap hal yang Mama
lakukan.
Aku
melihat ke balik jendela. Kini, semuanya terasa kian asing. Satu-satunya yang
masih terasa akrab bagiku hanyalah hujan. Tetapi hujan sudah berhenti. ***
*)
judul puisi M Aan Mansyur
0 komentar: