Hujan Sudah Berhenti

07.44 Pohon Belimbing 0 Comments





 
Ilustrasi oleh Ida Bagus Gede Wiraga



Hujan Sudah Berhenti
Cerpen Bernard Batubara



“Hujan sudah berhenti, Annelies.”

“Ya, Mama.”

Jika Mama sudah berkata seperti itu, maka aku harus berhenti menatap pada jendela. Setelah hujan pergi meninggalkanku sendiri, aku harus segera menyelesaikan urusanku dengan titik-titik air yang masih membekas di permukaan kaca, dan menulis sebuah surat untuk kusampaikan kepada angkasa. Percakapan kami tak boleh didengar oleh siapapun. Termasuk Mama.

“Kamu harus berangkat kursus, Annelies.”

“Ya, Mama.”

Mama tak pernah tahu bahwa aku bisa berbicara kepada hujan. Percakapan kami memang tidak menggunakan bahasa manusia. Bahasaku dan bahasa hujan sungguh berbeda. Aku tak bisa bicara kepadanya menggunakan bahasaku dan dia tak bisa bercerita kepadaku memakai bahasanya. Maka kami bersepakat untuk menciptakan bahasa baru. Bahasa yang hanya dipahami oleh kami berdua.

Awan hitam adalah temanku yang lain. Dia yang selalu mengantarkan hujan kepadaku. Namun dia tidak pernah mengantarkan Papa.

Seandainya Papa masih ada di sini, mungkin dia akan mengerti bahasa yang kuciptakan bersama hujan. Sebab Papa menyukai awan-awan.

“Hujan sudah berhenti, Annelies.”

“Papa! Ayo kita berburu pelangi!”

Jika Papa sudah berkata seperti itu, maka aku akan menghambur ke dalam pelukan Papa dan menggamit lengannya dan kami akan berlari ke arah langit yang memiliki pelangi. Mama tidak ada di rumah, sedang bekerja. Kala hujan sudah berhenti, tak berapa lama lagi dia akan pulang, dengan wajah yang lelah, dan langsung rebah di kamar mengistirahatkan tubuh. Mama tak suka berburu pelangi.

Papa mengajariku mencintai hujan, sebab kata Papa, basah adalah anugerah. Dan setelah gemuruh beserta bising petir dan pemandangan kelam yang dibawa awan-awan hitam, ada pelangi yang selalu mengingatkanmu bahwa kehidupan selalu bisa dinikmati dengan cara yang lebih baik. Bahwa seburuk apapun nasib menimpamu, harapan tak pernah lenyap. Ketika itu aku hanya tersenyum menatap Papa yang tersenyum padaku dan mendekapku ke dalam tubuh hangatnya dan kami akan bermain tebak-tebakan tentang siapakah yang menciptakan pelangi dan hujan.

Aku menjawab, “Tuhan dong, Papa.”

Papa menyuruhku mencari jawaban yang lebih kreatif. Aku mengingat sebuah lagu yang diajarkan ibu guru di sekolah. “Agung, Papa, soalnya pelukismu Agung...” Dan Papa tertawa. Aku suka mendengar suara tawa Papa.

“Kamu pintar, Annelies. Tapi kamu tahu siapa sebetulnya yang menciptakan pelangi dan hujan? Atau sebaliknya, hujan dan pelangi?”

Aku hanya mendongak ke langit. Papa merangkulku. Wangi tubuh Papa seperti harum daun-daun basah.

“Kamu, Annelies, kamu lah yang menciptakan hujan dan pelangi.”

***

Aku menulis surat kepada angkasa untuk bicara dengan Papa. Seandainya Mama mengetahui hal itu, mungkin dia akan menyuruhku berhenti duduk di dekat jendela.

“Hujan sudah berhenti, Annelies.”

“Ya, Mama.”

“Kamu harus memotong rambutmu. Sudah terlalu panjang. Tidakkah kamu terganggu?”

“Tidak, Mama. Tapi aku akan memotongnya kalau Mama mau.”

“Mama akan pulang terlambat. Di kulkas ada telur dan sarden. Jangan lupa jemur pakaian, Annelies.”

“Ya, Mama.”

Langkah sepatu Mama mendekatiku. Dia memelukku dan mencium pada pipiku. Aku merasa seperti dicium sebongkah es. Wangi tubuh Mama seperti aroma akar pohon.

Ketika hujan sudah berhenti dan Mama telah pergi, aku akan menyelesaikan urusan-urusanku. Urusan yang diberi oleh Mama dan urusan yang kususun untuk Papa. Sebuah surat lagi kepada angkasa yang muram. Karena semenjak pada suatu hari Papa pergi dan tak pernah kembali, aku hanya bisa bicara kepada hujan dan berharap dia menyampaikan kata-kataku untuk Papa.

Aku ingin berkata kepada hujan bahwa aku rindu Papa. Namun, Papa bilang, kata “rindu” memiliki gelombang yang terlalu kuat dan aku khawatir meski aku bicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh aku dan hujan, Mama bisa mendengarnya dari kejauhan dan bergegas pulang ke rumah untuk memukuliku. Sebab di suatu malam saat hujan sudah berhenti dan suaraku tak terhalau lagi oleh ribut air bertumbuk dengan atap rumah, aku bilang kepada Mama, “Aku rindu Papa…” Mama berubah menjadi gemuruh petir dan menyambar sebelah pipiku dengan sebelah tangannya yang putih namun keras.

Saat melakukannya, sepasang mata Mama menjadi kilat. Aku tahu, semenjak Papa pergi, di dalam dada Mama takkan pernah lagi tumbuh pelangi.

***

“Hujan sudah berhenti, Annelies.”

Aku tak sempat mengajak Papa berburu pelangi. Mama menghampiri kami dan berbicara kepada Papa dengan suara yang begitu nyaring sehingga aku merasa hujan akan segera turun lagi.

“Ke mana saja kau kemarin?”

“Bekerja. Kenapa?”

“Jangan bohongi aku! Kemarin kulihat kau masuk ke dalam hotel bersama seorang perempuan!”

“Ayo, Annelies, kita berburu pelangi. Hujan sudah berhenti.” Ayah menggamit tanganku, namun aku masih menatap Mama. Dia masih berdiri dengan mata yang berkilat-kilat menatap Papa yang tak menatapnya.

Saat aku melangkah keluar pintu rumah, Mama melempari punggung Papa dengan remot televisi. Papa tak bersuara dan tersenyum kepadaku. Mama melempari jendela dengan piring dan gelas. Di luar, hujan sudah berhenti. Tetapi aku membalikkan badan dan aku melihat ada halilintar di dalam rumah.

***

Setiap hujan turun, aku merasa bisa bicara dengan Papa. Tetapi Mama membenci Papa seperti dia membenciku setiap mendapatiku sedang duduk diam di dekat jendela. Beberapa waktu lalu, ketika aku sedang bercakap-cakap dengan hujan dan tentu saja dengan bahasa rahasia yang kami ciptakan, hujan memberitahuku bahwa Papa merindukanku dan ingin sekali bertemu denganku.

Aku tersenyum dan dadaku terasa hangat. Seolah Papa sedang memelukku dengan tubuhnya yang mengantarkan hawa perapian.

“Hujan sudah berhenti, Annelies.”

“Ya, Mama.”

“Bereskan barang-barangmu Annelies, kita akan pindah.” Bunyi sepatu Mama mengusik percakapan terakhirku dengan hujan. “Dan, Annelies, berhenti duduk di dekat jendela itu. Oh, sungguh! Apa yang kamu lakukan, bicara dengan jendela?”

Tidak, Mama, aku bicara dengan hujan.

“Ayo anakku, berhenti melamun dan kemasi barang-barangmu. Kita akan meninggalkan rumah ini.”

“Kita mau ke mana, Mama?”

“Kamu selalu mencari Papa, bukan? Kamu akan bertemu dengan Papa.”

“Sungguh?”

“Kemasi barang-barangmu!”

Aku menulis surat terakhir kepada hujan: Dear, hujan, terima kasih telah menemaniku semenjak Papa pergi. Sekarang, aku akan bertemu lagi dengan dia. Papaku, Papaku sendiri. Papa yang mengajariku untuk mencintaimu. Terima kasih, titik-titik air di jendela, telah menyimpan bahasa rahasiaku dan tetap tinggal di sana meski hujan sudah berhenti. Aku takkan merepotkan kalian lagi. Terima kasih.

***
Hujan sudah berhenti.

Aku duduk di hadapan jendela rumah yang baru. Di rumah ini suara hujan tak terdengar. Teredam oleh atap. Di hadapan mata jendela *), aku mengingat Papa. Mama telah membawaku ke tempat yang asing dan kata-katanya tak pernah terbukti. Aku tak pernah bertemu dengan Papa. Alih-alih, aku bertemu dengan lelaki lain. Lelaki itu baik tapi tubuhnya tak seperti Papa, tak beraroma daun-daun basah. Lelaki itu memiliki harum kulit kayu.

Rumah ini jauh lebih besar dari rumah Papa yang telah kami tinggalkan dan kini menjadi milik orang lain. Setelah lima tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan segala keterasingan yang mengelilingiku. Lelaki asing yang kini bersama Mama semakin hari semakin terasa asing. Bahkan, Mama kini tampak asing bagiku. Mungkin, lelaki asing itu juga akan selamanya asing di dalam mata Mama. Sebab setiap kali aku melihat Mama memeluknya dan menciuminya dan memanggilnya dengan kata-kata sayang, aku hanya merasakan kekosongan dalam setiap hal yang Mama lakukan.

Aku melihat ke balik jendela. Kini, semuanya terasa kian asing. Satu-satunya yang masih terasa akrab bagiku hanyalah hujan. Tetapi hujan sudah berhenti. ***




*) judul puisi M Aan Mansyur


0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!