Sepenggal Kisah Ayu dari Kisahnya yang Panjang Itu - Dua Bab Sebelum Epilog
“Waktu gue kecil, gue nggak banyak mau,
nggak banyak minta. Sekalinya gue minta, waktu itu gue minta mainan mobil yang
pakai remote control, pas nggak dikasih gue sakit.”
Aku mengerti.
+++
Bekas hujan yang basah di tapak kaki kita
adalah bukan apa apa lagi, sejak waktu itu. Bukannya baru kali ini, aku sadari
kalau jelas laki laki di hadapanku sekarang tidak mencintaiku. Hanya saja,
selama ini aku terus saja yakin akan ada keajaiban, yang entah datang dari
mana. Kupikir, cinta tidak pernah sia sia.
Iya jelas, sampai ada yang lain membawakan
cinta yang diinginkannya.
Kalimat itu terus terngiang ketika aku
teringat kembali, dulu kamu pernah sebegitunya mendekati perempuan, yang
mungkin baru kaukenal dua hari itu. Kupikir, bodoh sekali cinta yang seperti itu.
Tapi, dipikir pikir. Cinta mungkin, memang tidak butuh waktu. Dan seperti mobil
remote control itu, laki laki yang kucintai itu mencintainya.
Bekas hujan yang basah di tapak kakiku
adalah mengerti tentang aku yang seharusnya pergi, sejak lama sekali. Bekas
hujan yang basah di tapak kakiku paham betul tentang cinta seharusnya butuh
kuda kuda.
Bekas hujan yang basah di tapak kakiku
adalah harusnya tidak bertanya tanya lagi, karena semua yang kau lakukan,
sebaik yang bisa kupahami, adalah cinta yang putus asa dan tidak mengerti dan
tidak percaya dan tidak ingin.
Kau jelas, tidak ingin mencintaiku.
Aku mengerti.
+++
“Ayu!”
Laki laki itu, yang kucintai itu, namanya
Rangga. Seperti doa, dia jelas jelas adalah pelindung. Dia adalah pelindung
kesepian yang dahaga, dan air mata yang selalu ada di ujung mata.
“Iya mas Rangga, kenapa?”
“Kamu kenapa?”
Ah pertanyaan yang sama, itu lagi. Kenapa.
Pertanyaan yang selalu itu itu saja.
Awalnya kupikir itu adalah bentuk kepedulian, atau apa. Sudahlah aku tak mengerti.
“Nggak apa apa.”
Dan, kembali, jawaban yang sama.
Mas Rangga hanya tersenyum, lain kali ia
bisa marah jika dijawab begitu. Dijelaskan, dijawab pun tak akan ada hasilnya.
Dia akan selalu begitu. Selalu.
Bagaimana
bisa kujawab, semua alasan kesedihanku adalah tentang dirimu, Mas.
Mungkin, dugaanku memang benar. Mungkin
akulah yang sulit dicintai. Mungkin, aku tak akan pernah bisa dicintai.
“Ayu, lo kenapa? Nggak mungkin nggak
kenapa kenapa.”
+++
Banyak hal yang kucintai tentang laki laki
yang kucintai itu. Begitupun banyaknya pertanyaanku yang gila lompat lompat di
kepala, tiap detiknya.
Salah satunya, ia pandai memungut hujan,
apalagi kesedihan.
Begitupun juga, ia pandai memanggil hujan,
sederas derasnya, juga kesedihan.
Rangga, memang bukan Pandawa Lima. Tapi
asal tahu saja, ibunya secantik Dewi Kunti, dengan kewibawaan yang kira kira
setara kisah legenda tentang Alengka. Rangga, adalah teka teki, lukisan tanpa
pola, abstrak impresionis
“Kalau saya suka banget sama lukisan Cy
Twmbly. Browsing deh”
Cy Twombly. Kau. Serupa
+++
Aku menghanyutkan diriku dalam angin yang
menerpa bulu matamu, dan putus asa yang nyala dalam batinku.
Aku mengerti.
+++
“Ayu, ini perasaan gue doang atau memang
perempuan itu berubah ya?”
0 komentar: