Sepenggal Kisah Ayu dari Kisahnya yang Panjang Itu - Dua Bab Sebelum Epilog

11.56 Pohon Belimbing 0 Comments


“Waktu gue kecil, gue nggak banyak mau, nggak banyak minta. Sekalinya gue minta, waktu itu gue minta mainan mobil yang pakai remote control, pas nggak dikasih gue sakit.”

Aku mengerti.

+++

Bekas hujan yang basah di tapak kaki kita adalah bukan apa apa lagi, sejak waktu itu. Bukannya baru kali ini, aku sadari kalau jelas laki laki di hadapanku sekarang tidak mencintaiku. Hanya saja, selama ini aku terus saja yakin akan ada keajaiban, yang entah datang dari mana. Kupikir, cinta tidak pernah sia sia.

Iya jelas, sampai ada yang lain membawakan cinta yang diinginkannya.

Kalimat itu terus terngiang ketika aku teringat kembali, dulu kamu pernah sebegitunya mendekati perempuan, yang mungkin baru kaukenal dua hari itu. Kupikir, bodoh sekali cinta yang seperti itu. Tapi, dipikir pikir. Cinta mungkin, memang tidak butuh waktu. Dan seperti mobil remote control itu, laki laki yang kucintai itu mencintainya.

Bekas hujan yang basah di tapak kakiku adalah mengerti tentang aku yang seharusnya pergi, sejak lama sekali. Bekas hujan yang basah di tapak kakiku paham betul tentang cinta seharusnya butuh kuda kuda.

Bekas hujan yang basah di tapak kakiku adalah harusnya tidak bertanya tanya lagi, karena semua yang kau lakukan, sebaik yang bisa kupahami, adalah cinta yang putus asa dan tidak mengerti dan tidak percaya dan tidak ingin.

Kau jelas, tidak ingin mencintaiku.
Aku mengerti.

+++

“Ayu!”

Laki laki itu, yang kucintai itu, namanya Rangga. Seperti doa, dia jelas jelas adalah pelindung. Dia adalah pelindung kesepian yang dahaga, dan air mata yang selalu ada di ujung mata.

“Iya mas Rangga, kenapa?”
“Kamu kenapa?”

Ah pertanyaan yang sama, itu lagi. Kenapa.
Pertanyaan yang selalu itu itu saja. Awalnya kupikir itu adalah bentuk kepedulian, atau apa. Sudahlah aku tak mengerti.

“Nggak apa apa.”

Dan, kembali, jawaban yang sama.

Mas Rangga hanya tersenyum, lain kali ia bisa marah jika dijawab begitu. Dijelaskan, dijawab pun tak akan ada hasilnya. Dia akan selalu begitu. Selalu.

Bagaimana bisa kujawab, semua alasan kesedihanku adalah tentang dirimu, Mas.

Mungkin, dugaanku memang benar. Mungkin akulah yang sulit dicintai. Mungkin, aku tak akan pernah bisa dicintai.

“Ayu, lo kenapa? Nggak mungkin nggak kenapa kenapa.”

+++

Banyak hal yang kucintai tentang laki laki yang kucintai itu. Begitupun banyaknya pertanyaanku yang gila lompat lompat di kepala, tiap detiknya.

Salah satunya, ia pandai memungut hujan, apalagi kesedihan.
Begitupun juga, ia pandai memanggil hujan, sederas derasnya, juga kesedihan.

Rangga, memang bukan Pandawa Lima. Tapi asal tahu saja, ibunya secantik Dewi Kunti, dengan kewibawaan yang kira kira setara kisah legenda tentang Alengka. Rangga, adalah teka teki, lukisan tanpa pola, abstrak impresionis

“Kalau saya suka banget sama lukisan Cy Twmbly. Browsing deh”

Cy Twombly. Kau. Serupa

+++

Aku menghanyutkan diriku dalam angin yang menerpa bulu matamu, dan putus asa yang nyala dalam batinku.

Aku mengerti.

+++

“Ayu, ini perasaan gue doang atau memang perempuan itu berubah ya?”



0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!