Kisah Iseng Chandraningtyas (Sebetulnya ada lima, tapi dihapus semua, sisa satu ini)
Sudah
beberapa minggu ini, aku, sebagai penulis berusaha mengenali figuran yang sudah
terlanjur terjebak dalam beberapa tulisanku. Kubaca ulang, terus menerus.
Sebagai penulis yang baik, menurutku, adalah kewajiban untuk mengenali setiap
rekaannya. Bukan hanya kenal justru, memahami.
Aku,
kebetulan juga, terjun langsung menjadi figuran, itu pun tidak sengaja, mungkin
sudah takdirnya. Jadi figuran, begitu melelahkan. Kebetulan, aku dipilihkan
untuk terjun ke cerita Ramayana, itu loh kisah cinta Rahwana, Shinta dan Rama.
Bukan, bukan Ramayana sungguhan seperti di cerita wayang itu. Tapi menyerupai
lah, anggap saja ini versi populernya. Jarang bukan, aku behubungan dengan
karya tulis populer.
Jadi
figuran sama sekali menyenangkan di awal, bahkan aku tidak tahu kalau aku
seorang figuran. Aku terus saja hidup, mengimbangi tokoh utama, dan hampir lupa
diri. Wah, bukan salahku kan jika pencerita juga tidak memberitahuku? Kasih
semacam clue saja tidak. Sebut saja,
namaku.. hmm Chandraningtyas? Chandraningtyas kulihat di salah satu website nama Jawa, artinya seorang
perempuan yang hatinya seterang bulan. Aku tidak seperti itu sih, hanya suka
saja namanya. Cantik. Inti cerita, adalah Rahwana mencintai Sinta, Rama
mencintai Sinta, Sinta entah mencintai siapa, kalau di kisah Ramayana sih
jelas, Sinta mencintai Rama, dan Aku mencintai Rahwana. Jangan tanya, siapa
yang mencintaiku, sudah jelas ia tidak masuk dalam kisah ini. Atau mungkin
figuran lainnya? Ah bodo amat. Awalnya, Chandraningtyas ini begitu menikmati
perannya jadi figuran sampai sampai ia terlalu menyayangi semua tokoh dalam
cerita ini, iya termasuk Shinta. Shinta memang agak menyebalkan, jelas, aku dan
beberapa figuran seringkali gosipin
dia. Tapi, Sinta kalau moodnya baik,
itu baik banget loh. Dan Chandraningtyas diajarkan papanya untuk nggak
melupakan perbuatan baik orang. Chandraningtyas juga sudah berani, berani buat
dialog dengan tokoh utama satunya, ia Rahwana. Berani banget nggak sih? Itulah,
figuran nggak tahu diri. Mau buat ceritanya sendiri, eh malah mati. Bukan,
bukan karena perang, apalagi dikutuk seorang Brahmin. Ia memang harus mati, dan
mematikan diri sendiri.
Bukan,
bukan bunuh diri. Enak banget kalau bisa bunuh diri. Figuran memang harus
begitu, harus mati. Masih bersyukur dikasih beberapa paragraf, pakai dialog
lagi.
Sakit
betul memang jadi figuran. Pertama, ia sudah jelas tidak ada dalam alur cerita,
keberadaannya tidak akan digubris pembaca, masih syukur ada dua tiga orang yang
ingat namanya, iya Chandraningtyas, kuulang biar kamu ingat. Kedua, dia
terlanjur nyaman dengan tokoh tokoh yang ada dalam cerita itu, sayang lagi. Padahal,
sebaris kalimat lagi, figuran sudah harus mati. Ketiga, ya itu, cinta bertepuk
sebelah tangan dengan Rahwana saja sudah bikin demam dan nggak mau kemana mana,
nah ini cintanya kepada Sinta juga bertepuk sebelah tangan, hampir hampir dia
pikir cintanya juga bertepuk sebelah tangan dengan si Pencerita. Keempat, bukan
hanya terlalu nyaman dengan tokoh tokohnya, ia juga terlalu nyaman dengan latar
tempat, latar waktu, latar suasana yang ada di tiap tiap baris cerita. Latar
tempat dalam cerita ini memang bukan istana Alengka, jelas bukan, tapi
Chandraningtyas sudah terlalu lama ada di situ. Ia sampai bisa berjalan ke
toilet, atau ruang apapun tanpa melihat. Latar waktu juga begitu, bayangkan
bertahun tahun, ia terbiasa ada di situ setiap waktu, namun kini, ia sampai ngechat tiap orang untuk nanya apakah ada
yang free malam minggunya biar bisa
nemenin Chandraningtyas. Habisnya, kalau di rumah Chandraningtyas cuma bisa
nangis, dasar bego. Latar suasana apalagi, ya bayangkan saja, Chandraningtyas
sudah menganggap kisah Ramayana jadi jadian ini adalah rumah. Harus pergi dari
rumah, adalah mati pertama yang dialami Chandraningtyas.
Sebetulnya,
Chandraningtyas bisa saja tidak pergi dari kisah ini dan menikmati terus
perannya sebagai figuran. Tapi apa daya, hati Chandraningtyas nggak sekuat itu
ternyata. Sudah ditolak Rahwana, dimarah marahi, dasar Dasamuka gila, lalu
dibilang kalau perannya disitu pun justru membawa ketidakbahagiaan bagi
Rahwana. Ironisnya, hampir seluruh monolog Chandraningtyas adalah doa agar
Rahwana bahagia, itu saja. Memang sudah outlinenya
kali ya Chandraningtyas itu bawa sial. Belum lagi harus melihat wajah Rahwana
yang patah hati karena ditolak Shinta. Kalau bunuh diri nggak dosa dan
menyangkal si Pencerita, sudah dari dulu Chandraningtyas lakukan. Belum lagi
Shinta yang masih saja ngeledekin Chandraningtyas dengan Rahwana, sudah tahu
Rahwana sukanya sama dia. Untuk apa lagi? Kepingin Chandraningtyas sakit hati seberapa
lagi? Masih sempat juga lagi, kadang nyuekin kadang negor. Pakai ngeblock
segala. Lucunya, Rahwana yang mengira Shinta suka sama dia. Mau sedih tapi
rasanya kepingin mampus mampusin, tapi mau senang juga nggak bisa, siapa yang
bisa ngeliat sepuluh wajah Rahwana sedih? Chandraningtyas bisa gila. Lah kita
semua, juga tahu Shinta sukanya sama siapa, baru nolak Rahwana, besoknya makan Sumoboo sama Rama satu mangkok berdua,
belum lagi Shinta juga ngodein Rama mulu di Whatsapp Group, Rama juga udah
mikir mikir mau ngawinin Shinta. Tapi, Chandraningtyas bisa apa? Apapun yang ia
lakukan sekarang juga tidak bermakna, nggak ngaruh apa apa. Nih ya, kalau apes,
dan si Rahwana baca tulisan ini. Habis Chandraningtyas dimarahi, tapi bodo
amat. Please, kalau baca dan geer kalau situ Rahwananya, diam aja. Ini tuh
fiksi tau.
Chandraningtyas
tahu lebih sakit untuknya kalau meninggalkan cerita ini, tapi apa gunanya
bertahan jika ujung ujungnya mati, kemungkinan dihabisi pula. Kalau menurut
pembaca, figuran seperti Chandraningtyas ini harus apa sih? Soalnya,
Chandraningtyas sudah kehabisan teman yang free
malam minggunya, dan rasa sakit yang cuma dibawa kabur kayak gini, nggak bakal
sembuh. Pencerita, belum sebaik itu untuk melanjutkan cerita Chandraningtyas.
Kalau boleh, kasih aja Chandraningtyas teenlit
komedi yang latarnya sama, jadi Chandraningtyas bisa ketawa ketawa dan nggak
perlu pergi dari situ. Itu pun kalau boleh, ini saja masih bisa curhat sudah
alhamdulillah.
Chandraningtyas
masih mau ada di situ kok Pencerita. Tapi Chandraningtyas mau bahagia. Sumpah.
0 komentar: