Kisah Iseng Chandraningtyas (Sebetulnya ada lima, tapi dihapus semua, sisa satu ini)

11.59 Pohon Belimbing 0 Comments


Sudah beberapa minggu ini, aku, sebagai penulis berusaha mengenali figuran yang sudah terlanjur terjebak dalam beberapa tulisanku. Kubaca ulang, terus menerus. Sebagai penulis yang baik, menurutku, adalah kewajiban untuk mengenali setiap rekaannya. Bukan hanya kenal justru, memahami.

Aku, kebetulan juga, terjun langsung menjadi figuran, itu pun tidak sengaja, mungkin sudah takdirnya. Jadi figuran, begitu melelahkan. Kebetulan, aku dipilihkan untuk terjun ke cerita Ramayana, itu loh kisah cinta Rahwana, Shinta dan Rama. Bukan, bukan Ramayana sungguhan seperti di cerita wayang itu. Tapi menyerupai lah, anggap saja ini versi populernya. Jarang bukan, aku behubungan dengan karya tulis populer.

Jadi figuran sama sekali menyenangkan di awal, bahkan aku tidak tahu kalau aku seorang figuran. Aku terus saja hidup, mengimbangi tokoh utama, dan hampir lupa diri. Wah, bukan salahku kan jika pencerita juga tidak memberitahuku? Kasih semacam clue saja tidak. Sebut saja, namaku.. hmm Chandraningtyas? Chandraningtyas kulihat di salah satu website nama Jawa, artinya seorang perempuan yang hatinya seterang bulan. Aku tidak seperti itu sih, hanya suka saja namanya. Cantik. Inti cerita, adalah Rahwana mencintai Sinta, Rama mencintai Sinta, Sinta entah mencintai siapa, kalau di kisah Ramayana sih jelas, Sinta mencintai Rama, dan Aku mencintai Rahwana. Jangan tanya, siapa yang mencintaiku, sudah jelas ia tidak masuk dalam kisah ini. Atau mungkin figuran lainnya? Ah bodo amat. Awalnya, Chandraningtyas ini begitu menikmati perannya jadi figuran sampai sampai ia terlalu menyayangi semua tokoh dalam cerita ini, iya termasuk Shinta. Shinta memang agak menyebalkan, jelas, aku dan beberapa figuran seringkali gosipin dia. Tapi, Sinta kalau moodnya baik, itu baik banget loh. Dan Chandraningtyas diajarkan papanya untuk nggak melupakan perbuatan baik orang. Chandraningtyas juga sudah berani, berani buat dialog dengan tokoh utama satunya, ia Rahwana. Berani banget nggak sih? Itulah, figuran nggak tahu diri. Mau buat ceritanya sendiri, eh malah mati. Bukan, bukan karena perang, apalagi dikutuk seorang Brahmin. Ia memang harus mati, dan mematikan diri sendiri.

Bukan, bukan bunuh diri. Enak banget kalau bisa bunuh diri. Figuran memang harus begitu, harus mati. Masih bersyukur dikasih beberapa paragraf, pakai dialog lagi.

Sakit betul memang jadi figuran. Pertama, ia sudah jelas tidak ada dalam alur cerita, keberadaannya tidak akan digubris pembaca, masih syukur ada dua tiga orang yang ingat namanya, iya Chandraningtyas, kuulang biar kamu ingat. Kedua, dia terlanjur nyaman dengan tokoh tokoh yang ada dalam cerita itu, sayang lagi. Padahal, sebaris kalimat lagi, figuran sudah harus mati. Ketiga, ya itu, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Rahwana saja sudah bikin demam dan nggak mau kemana mana, nah ini cintanya kepada Sinta juga bertepuk sebelah tangan, hampir hampir dia pikir cintanya juga bertepuk sebelah tangan dengan si Pencerita. Keempat, bukan hanya terlalu nyaman dengan tokoh tokohnya, ia juga terlalu nyaman dengan latar tempat, latar waktu, latar suasana yang ada di tiap tiap baris cerita. Latar tempat dalam cerita ini memang bukan istana Alengka, jelas bukan, tapi Chandraningtyas sudah terlalu lama ada di situ. Ia sampai bisa berjalan ke toilet, atau ruang apapun tanpa melihat. Latar waktu juga begitu, bayangkan bertahun tahun, ia terbiasa ada di situ setiap waktu, namun kini, ia sampai ngechat tiap orang untuk nanya apakah ada yang free malam minggunya biar bisa nemenin Chandraningtyas. Habisnya, kalau di rumah Chandraningtyas cuma bisa nangis, dasar bego. Latar suasana apalagi, ya bayangkan saja, Chandraningtyas sudah menganggap kisah Ramayana jadi jadian ini adalah rumah. Harus pergi dari rumah, adalah mati pertama yang dialami Chandraningtyas.

Sebetulnya, Chandraningtyas bisa saja tidak pergi dari kisah ini dan menikmati terus perannya sebagai figuran. Tapi apa daya, hati Chandraningtyas nggak sekuat itu ternyata. Sudah ditolak Rahwana, dimarah marahi, dasar Dasamuka gila, lalu dibilang kalau perannya disitu pun justru membawa ketidakbahagiaan bagi Rahwana. Ironisnya, hampir seluruh monolog Chandraningtyas adalah doa agar Rahwana bahagia, itu saja. Memang sudah outlinenya kali ya Chandraningtyas itu bawa sial. Belum lagi harus melihat wajah Rahwana yang patah hati karena ditolak Shinta. Kalau bunuh diri nggak dosa dan menyangkal si Pencerita, sudah dari dulu Chandraningtyas lakukan. Belum lagi Shinta yang masih saja ngeledekin Chandraningtyas dengan Rahwana, sudah tahu Rahwana sukanya sama dia. Untuk apa lagi? Kepingin Chandraningtyas sakit hati seberapa lagi? Masih sempat juga lagi, kadang nyuekin kadang negor. Pakai ngeblock segala. Lucunya, Rahwana yang mengira Shinta suka sama dia. Mau sedih tapi rasanya kepingin mampus mampusin, tapi mau senang juga nggak bisa, siapa yang bisa ngeliat sepuluh wajah Rahwana sedih? Chandraningtyas bisa gila. Lah kita semua, juga tahu Shinta sukanya sama siapa, baru nolak Rahwana, besoknya makan Sumoboo sama Rama satu mangkok berdua, belum lagi Shinta juga ngodein Rama mulu di Whatsapp Group, Rama juga udah mikir mikir mau ngawinin Shinta. Tapi, Chandraningtyas bisa apa? Apapun yang ia lakukan sekarang juga tidak bermakna, nggak ngaruh apa apa. Nih ya, kalau apes, dan si Rahwana baca tulisan ini. Habis Chandraningtyas dimarahi, tapi bodo amat. Please, kalau baca dan geer kalau situ Rahwananya, diam aja. Ini tuh fiksi tau.

Chandraningtyas tahu lebih sakit untuknya kalau meninggalkan cerita ini, tapi apa gunanya bertahan jika ujung ujungnya mati, kemungkinan dihabisi pula. Kalau menurut pembaca, figuran seperti Chandraningtyas ini harus apa sih? Soalnya, Chandraningtyas sudah kehabisan teman yang free malam minggunya, dan rasa sakit yang cuma dibawa kabur kayak gini, nggak bakal sembuh. Pencerita, belum sebaik itu untuk melanjutkan cerita Chandraningtyas. Kalau boleh, kasih aja Chandraningtyas teenlit komedi yang latarnya sama, jadi Chandraningtyas bisa ketawa ketawa dan nggak perlu pergi dari situ. Itu pun kalau boleh, ini saja masih bisa curhat sudah alhamdulillah.

Chandraningtyas masih mau ada di situ kok Pencerita. Tapi Chandraningtyas mau bahagia. Sumpah.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!