Aruna
She's just a girl and she's on
fire
Hotter than a fantasy, lonely
like a highway
She's living in a world and
it's on fire
Feeling the catastrophe, but
she knows she can fly away – Alicia Keys
Begitu
sepi, rupanya. Ia bergumam.
Telah
berulang kali perempuan itu membuka kembali kenangan yang terlipat rapi di
kotak yang dahulu digunakan sebagai meja belajar kecil sekaligus penyimpanan
barang barang bekas yang ia suka, yang diam diam disembunyikannya sebelum
dijual oleh ayahnya. Lama sekali ia menatap satu sudut yang sangat dikenalinya,
yang mengenalnya pula. Ingin sekali perempuan itu mengucap sepatah dua patah
kata untuk sudut yang sangat dikenalinya, yang mengenalnya pula, namun sulit
sekali memilih kata kata, ia jadi bertanya tanya, apa sudut juga punya kata
kata?
Aruna
nama perempuan itu, berdiri dibawah temaram cahaya lampu tua yang
mengingatkanmu, pasti, dengan lagu lagu lawas yang diputar dan berhenti ketika
adzan maghrib berkumandang dan surau yang bernapaskan kopi dan riuh penonton
sepakbola yang menanti kemenangan dengan setia, sementara lupa, di rumah ada
yang jelas juga setia menanti kepulangan dan doa di tiap saku mereka.
Angin
menggoyangkan lampu tua di atas kepala gadis itu, dingin sekali. Rumahnya yang
hanya sepetak, tak pernah lebih luas dari yang bisa kau bayangkan, terbuat dari
apa saja. Kayu kayu bekas, kardus, dan seng saling merajut dan mengokohkan diri
mereka sendiri. Sebut saja begitu, ucap bapaknya dahulu.
Perempuan
itu tidak pernah menyesali hidupnya, ia percaya hidup adalah kemungkinan kemungkinan
yang disembunyikan di balik telapak tangan Tuhan.
Di
bawah meja, ia menemukan kotak berisi surat surat yang tak pernah dikirimkan,
atas nama Kunti, ibu.
Tiba
tiba, ia merasa rindu.
Mother, how are you today?
Mother, don't worry, I'm fine.
- Maywood
***
Sumurejo,
Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2001
Aruna,
senja kemerah merahan
yang
kukasihi
Nak,
doa doa yang kutitipkan dahulu di saku bajumu, apa masih kau simpan? Selipkan
saja di sela sela rambutmu agar tidak ketinggalan atau tercecer atau kelupaan
olehmu.
Kuingat
pertama kali dengan bahagia aku memakaikan seragam pertamamu, yang membuat
ayahmu menjual cincin pernikahan kami, lucu sekali, kau sangat bersemangat menyanyikan
lagu yang kau sombongkan di depanku sambil berkata bahwa gurumu yang hebat
sekali itu yang mengajarkannya, namun tetap saja kau selalu pulas di pangkuanku
(Lir ilir lir ilir tandure
wong sumilir)
(Lir
ilir lir ilir tandure wong sumilir)
***
She
got both feet on the ground
And
she's burning it down – Alicia Keys
Sudah
ramai, pengajian akan segera dimulai.
Kenangan
dan rindu adalah dua mata pisau yang berjingkat menembus setiap penjagaan air
mata bagi manusia, begitu pun bagi Aruna, Temaram lampu menyiasati ingatan
tentang kedua orang tuanya. Ia membayangkan, kedua orang tuanya sedang apa
sekarang, berpakaian putih dan suci seperti cerita yang didengarnya sewaktu
mengaji atau bersayap, seperti yang suka dikhayalkannya.
Runa
pulang, pak, bu. Ia berbisik, entah pada siapa. Ia memandang ke seluruh
penjuru, jelas ia rindu, jelas ia bohong. Ia tak pernah betul betul merasa
pulang. Sepi sekali disini.
***
In her
soft wind I will whisper
In her
warm sun I will glisten
'Till
we see her once again
In a
world without end – Crowded House
Aku
membenci tiga hal dalam hidup. Pertama, jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku tak
pernah merasa ingin pulang, menyembunyikan masa lalu dengan ilusi yang
sempurna, sempat aku curiga, jatuh cinta apa hanya kegetiran semata? Kedua,
hujan. Dua kali ayah dan ibu pergi, dua kali hujan. Tanah licin dan daun gugur
membuat hutan hutan baru di kepalaku, segalanya rumit dan tak tertebak. Lama
lama, bisa jadi hutan akan tumbuh di sela sela jariku. Ketiga, hening. Apa
rumah ini selalu seperti ini ketika aku pergi?
Segala
makna adalah muslihat, dan kesepian di rumah ini juga.
“Dik,
sudah waktunya ibu dimakamkan”
Mbak
Rumi, begitu aku memanggilnya. Sungguh, kini aku menatap mata ibu di matanya.
“Dimana
adik?” Tanyaku.
***
Sumurejo,
Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2008
Aruna, senja kemerah merahan
yang kukasihi
Ini seragam keduamu. Seragam putih biru yang
cantik berpadu dengan kulitmu yang kecoklatan, kulitmu yang hangat dan lembut.
Kudengar, kau sangat cerdas dalam matematika dan bahasa inggris. Bahasa inggris
itu seperti apa anakku? Seperti kata plis
plis yang sering kau ucapkan itu? Aku bangga. Aku ibu yang bangga Bukan
berarti bapakmu tidak ‘lho. Bapakmu
itu memang bukan pria yang romantis, namun ketahuilah, kau selalu disebut dalam
tiap igau dan sujud malamnya.
Nak, apa kamu sudah menemukan cinta pertamamu?
Dulu, sewaktu pertama kali ibu jatuh cinta, jelas dengan laki laki yang bukan
bapakmu, bapakmu itu cinta kesekian, itu saat seumur kamu. Seandainya, kamu mau
bercerita pada ibu. Akan kuajari kamu memakai pupur, tenang saja, pasti akan
kubelikan suatu hari.
Nak, apa sekiranya umurmu bertambah sewaktu
waktu, berarti kau tidak lagi ingin memelukku?
***
Hujan turun dengan lembut seakan tahu perempuan
itu akan tambah terluka jika hujan turun dengan lebat. Pemakaman berlangsung
tanpa isak tangis. Semua terlalu sedih untuk menangis, dan terlalu terluka
untuk mengucap apa apa. Sewaktu ayah perempuan itu dimakamkan, juga sama.
Khidmat bukan hanya ada di upacara kepresidenan dan di sekolah sekolah. Khidmat
beserta mereka yang mencintai dan dicintai bumi.
Tak ada yang lebih cinta dari tanah yang
bersedia menerima dengan cara yang paling sederhana, dengan dirinya sendiri. Aruna,
perempuan itu menatap tanah merah, cantik sekali, pikirnya.
Abyasa adiknya, diam saja. Mbak-nya pun begitu.
Diam sekali. Satu satunya suara yang terdengar adalah suara adzan. Sudah
waktunya pulang dan menyiapkan pengajian.
***
Sumurejo, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa
Tengah, 2008
Aruna, senja kemerah merahan
yang kukasihi
Aku baru saja menangis, kau tahu. Ini pertama
kalinya kau membentak dan melawan kata kataku. Tapi sudahlah nak, aku tak apa,
aku jelas paham situasi dan keadaanmu saat ini. Aku menyayangimu, nak. Kau tahu
itu.
Kau cantik sekali, sayang. Seragammu yang baru,
hidupmu yang baru. Kau sudah dewasa sayang, Diam diam, kau kecilkan rok abu abu
yang kujahit untukmu, mengikuti teman teman. Tapi aku masih bangga, sayang.
Piala dan medali penghargaan atas kerja keras dan kepandaianmu masih memenuhi
meja makan, yang akhirnya kita gunakan sebagai meja tempat memajang semuanya
itu. Kita makan di lantai meskipun mbakmu, Rumi sering marah, makanannya jadi berdebu,
katanya.
Nak, apa kamu makan dengan baik disekolah.
Sepertinya tidak, uang yang kuberikan padamu untuk makan dan ongkos kau
habiskan dengan membeli buku dan koran koran yang menumpuk di balik baju baju
di lemarimu yang berjejal. Aku tahu juga, seringkali pada akhirnya kau harus
berjalan kaki untuk pulang. Maafkan aku, anakku.
Sayang, banyak doa yang kutitipkan pada Tuhan
untukmu, banyak sekali, tapi kutahu, Ia mencatat semuanya. Doa adalah bentuk
cinta yang sering kuaduk bersama teh yang menemani perutmu setiap pagi. Maafkan
ibu, janjiku padamu untuk membelikanmu pupur belum juga bisa kupenuhi. Tapi
wajahmu yang cantik, mungkin sebetulnya tidak perlu.
Sayang, maafkan aku dan bapakmu yang belum bisa
memberikan masa muda untukmu. Maafkan aku
dan bapakmu yang tak punya apa apa yang bisa kuberikan padamu, selain
pelukan dan tempat pulang.
***
Many
things happened while I was away.
Mother,
how are you today? – Maywood
Aruna menangis dengan bisik yang tidak kentara
di balik suara gerimis yang jatuh ke atap masjid. Ia membenci segala perasaan
bersalahnya. Tak adakah hukuman untuk dirinya? Tak adakah yang membenci dirinya
selain dirinya sendiri?
Dingin, nafasnya dingin. Hujan membuatnya
tambah mual. Ia rindu ibunya, rindu
sekali.
***
Sumurejo,
Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, 2015
Aruna,
senja kemerah merahan
yang
kukasihi
Aku
yang pertama kali membaca surat yang diantarkan pak pos yang bertuliskan
Universitas Indonesia dengan huruf yang besar besar di amplopnya. Aruna Pramusita,
kau tahu, betapa terkejutnya ibu? Ilmu Politik. Nak, ketahuilah politik adalah
ilmu paling jahat di dunia ini, dan jelas kutahu, kau bukan orang yang seperti
itu. Dalam amplop juga tertulis kau mendapatkan beasiswa penuh dan asrama di
kota, meninggalkan ibu.
Sudah
tahun keberapa sekarang semenjak kau pergi ke kota, dan tak pernah kembali. Aku
penasaran, apa kau makan dengan baik? Apa sekarang kamu sudah punya kekasih
sayang? Apa kuliahmu berjalan dengan baik?
Kemarin,
ayahmu sudah dimakamkan. Aku ingin sekali memberi tahumu, tapi ibu tak punya
ponsel dan uang untuk membayar jasa petugas pos. Mbakmu juga sama, tak pernah
kembali, tak apa, ia memang perempuan dan isteri yang baik. Ia harus menjaga
suaminya. Mbakmu juga belum tahu kabar tentang bapak. Pulang nak, ibu sendirian
menangung kesepian sementara adikmu, masih belum tahu apa apa.
Nak,
pulanglah. Kamu memang benar, ibu juga mencintai angin. Angin yang selalu
beranjak pergi, tak pernah lupa jalan untuk kembali. Kembalilah, nak. Apa masih
kau kenali suaraku? Apa masih kau kenali jalanan berbatu yang kusiasati agar
kau tak pernah lupa jalan kembali.
***
Dedaunan gugur menyentuh rambutnya, sudah
malam, ia harus pergi.
Perempuan itu menyisipkan surat surat itu di
tasnya yang berat. Masih banyak surat yang belum sempat ia baca.Sementara
temaram cahaya lampu tua di atas kepalanya masih berduka, senja telah jatuh dan
sebentar lagi sepi yang terduga akan menyala dan aku hampir tiada, gumamnya.
This
girl is on fire...
She's
walking on fire... – Alicia Keys
Desember, 2016
0 komentar: