Langit

08.32 Pohon Belimbing 0 Comments

LANGIT

Oleh: Pohon Belimbing

Laki laki itu sudah muak berada di bawah langit yang selalu ada di atas kepalanya. Setiap kali langit yang selalu di atas kepalanya itu berganti warna, ia selalu menghindar. Masuk kedalam rumah, ke warung makan, ke museum, ke mana pun. Laki laki itu selalu membawa payung di tangan kanannya untuk menghindari melihat langit yang selalu ada di atas kepalanya. Sampai suatu ketika, ia berencana untuk membunuh langit yang selalu ada di atas kepalanya itu.

Langit yang selalu ada di atas kepalanya adalah aku. Seperti yang sering dikisahkan dan menjadi sebuah mitos yang menarik di tengah tengah orang orang yang berada di sekitar laki laki itu, dulunya aku adalah perempuan, manusia sepertinya. Entah darimana mereka bisa membuat buat cerita itu yang nyata nyatanya, dan ternyata, itu nyata. Namun, sekarang aku tinggal pikiran. Dan tanpa bisa bosan, aku selalu berada di atas kepala laki laki itu.

Dua hal yang masih kuingat dari kehidupanku sebelum menjadi langit diatas kepala laki laki itu adalah alasan aku berubah menjadi langit, dan perasaan cintaku kepada laki laki itu. Sebelum, aku berubah menjadi langit, aku bertemu Tuanku, yang kebetulan sedang mencariku. “Tuanku, untuk apa Tuanku mencariku?” aku bertanya pertama, sebab tidak sopan kalau Tuanku menegur lebih dulu. “Aku bosan melihat kau saban kali memanggil manggil namaKu, namun pikiranmu selalu tertuju pada laki laki itu” Iya, yang Tuanku maksudkan, adalah laki laki yang kepalanya ada dibawahku saat ini. “Kau selalu mencarinya, tanpa mesti, tiap waktu, pikiranmu hanya tertuju padanya, mencarinya, kau hilang akal kalau tidak mencarinya.” Lanjut Tuanku. Dan pasti kau tahu cerita selanjutnya, seperti sering kau dengar dalam dongeng dongeng, Tuanku mengubahku menjadi langit, langit yang selalu berada di atas kepalanya agar aku tak perlu susah susah mencarinya. Sebab kepalanya selalu ada di bawahku.

Laki laki itu jelas tidak tahu kalau akulah langit di atas kepalanya. Ia hanya tahu, salah satu perempuan yang dikenalnya menghilang tanpa isyarat apa apa. Begitu saja menghilang. Aku sempat melihat laki laki itu seperti kecarian, atau aku mungkin hanya terlalu percaya diri. Tak tahulah, aku tinggal pikiran. Meskipun aku tinggal pikiran, tanpa telinga, tanpa hidung, tanpa mata, tanpa mulut, dan sebagainya. Aku tetap bisa melihat, mendengar, memandang. Keseluruh inderaku masih bisa berfungsi dengan baik.

Dan bukan berarti, aku tidak tahu dengan keinginannya untuk membunuhku mangkanya aku masih mencintainya. Aku tahu, tahu sekali. Mungkin ia sebal denganku. Sebab sebelum ia menghindariku seperti sekarang ini, aku yang lebih dulu terlihat menghindarinya. Dahulu setiap ia mendongak ke atas dan melihat, aku selalu membelakanginya sehingga setiap ia mendongak, gelaplah yang terjadi. Bagaimana ia tidak sebal, bukan? Ketika ia ingin melihat hujan yang membasahi kaca jendela kamarnya, ruang di sekelilingnya dan ruang di bawahku mendadak gelap, sebab aku membelakanginya. Ketika ia ingin memandang senja, begitu pulalah yang terjadi. Aku tidak bermaksud jahat padanya, tapi begitulah, aku selalu membelakanginya ketika ia melihatku. Burung burung di udara di atas kepalanya juga sering kali ikut sebal. “Lah kok langit bisa grogi ketika dilihat laki laki.” ledek mereka.

Malam ini, ia membuka jendela, barangkali agar aku bisa melihatnya merencanakan pembunuhanku. Duh, gusti. Melihatnya merencanakan pembunuhanku pun aku tetap mencintainya. Matanya berkilat ketika mendapatkan ide untuk membunuhku, dan bibirnya tersenyum membayangkan rasa sakit apa yang bisa kurasakan sebelum kematian berpihak padaku. Aku tersenyum, dan langit berpendar di sekelilingnya. Langit langit lain melirikku, pasti mereka protes karena iri mereka tidak seterang aku malam ini, atau mereka mungkin kasihan padaku karena tahu kisah sebetulnya, angin memang selalu berisik, menyesal aku pernah bercerita padanya, dan akhirnya, semua langit pun tahu, dasar angin tukang gosip. Sudahlah aku tidak peduli.

Keesokan harinya, matahari bersinar terik dan aku sangat kepanasan, laki laki itu juga begitu. Ia berteriak kepadaku, mungkin ia mengira bahwasanya aku jauh darinya, karena ia berteriak sekeras mungkin. Ia lalu menertawai diri sendiri, merasa dirinya telah gila berteriak pada langit. Ia mungkin mengira aku tidak bisa mendengarnya, tapi tentu saja, aku mendengarnya, jelas sekali. Aku seperti biasa membelakanginya. Suasana gelap dan dingin untuknya. Ia tertawa sangat kencang. Mungkin ia sudah gila betulan, pikirku. Ketika ia tertawa itulah, ia menghunuskan pisau lipat victorinox jingga yang selalu ia bawa kemana mana. Tepat di bekas punggung perempuanku yang sekarang sudah menjadi langit gelap dan dingin. Tapi, ia kurang puas. Mungkin karena aku tidak berdarah, seperti yang ia bayangkan. Ia hunuskan pisaunya berulang kali. Ia tertawa, mendengar bunyi pisau yang bolak balik terhunus. Karena penasaran, ia sayat beberapa bagianku, dan ia balik. Tentu saja ia senang, seonggok langit yang terang ada di tangannya, ia pamerkan ke sekelilingnya, dan berkata kalau itu adalah perutku, perut langit yang ia cungkil dari tubuhku.

Hujan turun dengan deras, namun ia tidak basah. Tubuhku sendirilah yang basah. Hujan membuat luka luka di tubuhku semakin pedih. Mungkin selanjutnya, silahkan angin yang bercerita padamu.

_____________________________________________________________

Perkenalkan aku angin, aku bukan satu satunya saksi  dalam perkara yang telah kau dengar sebelumnya. Dengan perasaan terluka, aku akan melanjutkan kisahnya. Tadi sore langit di atas kepala laki laki itu mati. Tidak, tidak perlu berduka cita. Ia sangat bahagia. Ia bahagia mati di tangan laki laki yang ia cintai. Dan, ia mungkin bahagia, sebab ia tidak tahu apa yang terjadi setelah ia mati.

Bangkai langit tidak bisa laki laki itu pindahkan, aku sudah coba membantu, tapi tidak bisa. Semenjak kematian langit, laki laki itu menjadi semakin gila. Kegelapan dan kedinginan menyekapnya. Jelas saja laki laki itu gila.

Dan dengan perasaan terluka, kusampaikan juga, baru saja, laki laki itu mati. Untung saja, langit sudah mati lebih dulu sehingga ia tak perlu susah susah dan sedih. Dengan apakah ia mati dan apakah ia bahagia atau tidak, tentu saja aku tidak tahu, aku tidak bisa melihatnya, gelap sekali.

Perkenalkan aku angin, aku bukan satu satunya saksi dalam perkara yang telah kau dengar sebelumnya. Dengan perasaan terluka, aku akan membagi bagikan kisahnya.


0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!