Sinai - Ria Utari
Sinai melintas di
depanku. Ia terlihat menawan hari ini. Tubuhnya beraroma wangi chamomile dan apricot. Rambutnya dikepang dua. Mantel panjang warna coklat tua
membungkus tubuh semampainya dari dinginnya malam. Parasnya yang bulat tampak
berias. Mata gemintangnya dibingkai warna ungu pucat. Maskara melentikkan bulu
matanya yang panjang. Bibir tipisnya berulas warna shocking pink berkilat tersapu lipgloss.
Ia sangat siap untuk tampil di depan umum. Oya, ini Jumat malam. Sudah pasti ia
akan pergi ke kelab malam. Menggoyangkan tubuh indahnya di tengah desakan
manusia yang berpeluh.
Ia memberiku
seulas senyum. Aku begitu terpana melihat garis bibirnya yang menukik ke atas
menyerupai bulan sabit. Ingin kuberikan balasan senyum setulus hati, namun ia
sudah terburu berlalu. Tak menungguku untuk menanggapi salam senyumnya. Dalam
sekejap, Sinai sudah membuka pintu gedung apartemen ini dan menembus angin beku
di luar sana.
Dari jauh, kulihat
ia berhenti sejenak. Mengeluarkan handphone mungil warna merah darah di dalam
genggaman tangannya. Ia tampak mengangguk-angguk sejenak. Kemudian ia memasukkan
handphone itu ke dalam tasnya. Lantas segera berjalan cepat setengah menunduk.
Sesekali ia tampak menaikkan tudung kepala yang menaungi rambut hitam lurus
yang jatuh hingga di atas bahu. Ingin kupeluk dan kubentengi tubuhnya dari
tiupan angin. Kubayangkan kepalanya berlindung di dadaku. Oh... betapa
indahnya.
Namun Sinai tetap
berlalu. Ia berjalan menyusuri 7th Avenue,
melintasi 16th Street, 17th Street, kemudian menyeberang menyusuri
19th Street, menuju 6th Avenue. Ia langsung berbelok menuju 20th
Street begitu tiba di jalan besar 6th
Avenue dan terus melangkah memasuki
Avalon, diskotek yang mengambil tempat bekas gereja tua berarsitektur gothic
yang terletak tepat di sudut jalan 20th Street
dan 6th Avenue.
Tampak antrean
panjang di pintu masuk. Ia melewati antrean itu dan langsung mendekati seorang
penjaga pintu. Sinai tampak sedikit jinjit dan berbisik di telinga penjaga
bersosok gempal itu. Wajah lelaki itu tampak tersenyum. Sinai langsung melintas
di depannya dan masuk ke bangunan itu.
Di dalam, dentuman
lagu hip hop, latin, dan rap berbaur menjadi satu. Wajah-wajah sarat hasrat
hidup meliukkan tubuh mengikuti irama. Sebagian besar berpelukan dan saling
mencabik bibir dalam ciuman. Sinai tampak tersenyum. Wajahnya berbinar cerah.
Ia tampak tak sabar menunggu giliran penitipan mantel. Barulah aku tahu pakaian
yang dikenakannya di balik mantel panjang. Rok pendek warna coklat beludru dan
atasan tanpa lengan berkerah shanghai warna lavender. Ia mengenakan sepatu boot
yang menutupi betis. Legging hitam tampak membalut kakinya.
Sinai bergegas
melintasi lorong yang mengantarkannya menuju ruang balkon. Di bawahnya, ia
melihat kerumunan orang-orang yang mengentakkan tubuh seiring dengan detak
jantung yang menggema mengikuti suara musik. Kaki jenjang Sinai melangkah
menuruni tangga. Dalam beberapa detik, ia sudah membaurkan diri dengan lautan
manusia di bawah sana. Aku hanya bisa memandanginya dari balkon. Mengeratkan
genggaman tanganku ke pinggiran terali. Dari atas, kulihat Sinai tampak mencium
seorang lelaki yang menggamit pinggangnya dan segera menariknya ke dalam
pelukannya. Gerahamku mengeras.
DJ memutar lagu My
Love dari album terbaru Justin Timberlake. Dentuman beat mengantarkan tubuh
Sinai meliuk dalam rengkuhan lelaki itu yang memeluk pinggangnya dari belakang.
Tubuh mereka menyatu erat. Mereka bergerak seirama. Kulihat tangan lelaki itu
menyusuri perut Sinai dan menyelipkan jemarinya di balik baju lavendernya.
Kedua mataku berair melihat Sinai tampak terpejam dan menyunggingkan senyum.
Kepalanya mendongak, disandarkan di bahu lelaki itu yang langsung mencium bibir
Sinai dari arah belakang. Tubuh mereka terdiam. Yang kini bergerak hanya kedua
tangan lelaki itu yang menjelajahi tubuh Sinai.
Tubuhku melorot
bersujud di lantai. Kepalaku kusandarkan di jeruji terali. Air di kedua mataku
mengalir deras. Membasahi pipi dan memasuki mulutku. Terasa asin. Menyadarkanku
kembali untuk membuka mataku yang sedari tadi terpejam. Aku panik saat
menyadari Sinai dan lelaki itu tak lagi ada di antara kerumunan orang di bawah
sana. Tubuhku bergegas bangkit meski kusadari tak lagi ada tenaga. Namun aku
harus mencari Sinai. Menyelamatkannya dari tangan kotor lelaki itu. Kuturuni
tangga setengah berlari dan kini kusibak kerumunan orang-orang di lantai dansa
yang meloncat-loncat mengangkat tangan mereka seolah ingin menggapai siraman
cahaya kerlap-kerlip dari langit di atas sana.
Tak lagi kulihat
Sinai di antara mereka. Bergegas kularikan tubuhku memasuki ruangan bar di
ujungsana. Kulewati lorong gelap yang dulunya mungkin sebuah koridor menuju
tempat perjamuan. Saat itu aku mendengar suara desahan di salah satu sudut yang
mengarah menuju bilik kecil bertuliskan restroom. Cahaya remang di dalam
ruangan itu tak dapat menyembunyikan sosok tubuh Sinai yang sangat kukenali. Tubuhnya
yang kini tampak bergerak dalam desahan panjang yang membuatku mematung. Ia dan
lelaki itu telah berdosa.
Aku mengenal Sinai
dua tahun silam saat ia memasuki apartemen ini. Tentu saja ia langsung menyita
perhatianku. Mungkin karena ia cantik. Tapi banyak penghuni apartemen lainnya
yang juga cantik. Bahkan melebihi dirinya. Namun ia berbeda. Sekilas ia
terlihat memiliki keraguan akan apa pun yang dilakukannya. Ia sering sekali
menggigit bibir bawahnya saat berpikir. Senyum manisnya juga sering diberikannya
kepada orang-orang yang kebetulan satu lift dengannya atau berpapasan.
Namun dari semua
sikapnya yang menurutku cukup unik bagi orang Manhattan pada umumnya, sisi
menarik Sinai adalah namanya. Ia langsung tersenyum melihat ketertegunanku saat
ia menyebut namanya.
"Oh, nama itu
diambil ayahku dari Injil. Sebuah gunung suci tempat Nabi Musa mendapatkan 10
perintah Allah," ujarnya pelan setengah berbisik. Seolah ia malu
menyebutkan sejarah namanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan
dirinya. Agaknya ketenanganku mendorongnya untuk bercerita lebih lanjut tentang
dirinya. Di pertemuan kami selanjutnya, Sinai mengisahkan betapa ayahnya
teramat sangat fanatik untuk menjadikannya suci. Nama telah menjadi kutukan
baginya.
Beberapa kali ia
memohon kepada ayahnya untuk mengganti namanya. Namun ayahnya tetap bergeming.
Ia malah diberi jam malam yang mengharuskannya untuk berdoa dan membaca Injil
setiap jam 6 sore. Pergantian waktu siang ke malam menurut ayahnya menandai
dimulainya pencobaan bagi hidup manusia untuk lebih mempersiapkan diri
menghadapi kegelapan. Semua itu tak terbantahkan Sinai hingga kematian ayahnya
dua tahun silam. Saat itulah Sinai memutuskan pergi ke Manhattan dan memilih
malam sebagai hidupnya.
Kini Sinai di
depan mataku. Memperlihatkan kegelapan yang menjadi pilihan hidupnya.
Melihatnya, aku menjadi teryakinkan akan panggilan hidupku yang sebenarnya.
Sesuatu yang kucari selama ini namun tak pernah dapat terdefinisikan hingga aku
bertemu Sinai. Gunung suci tempat aku akan menemukan kekudusanku.
Kusiapkan
penyambutan yang akan membasuh kesesatannya. Kutaburkan kelopak-kelopak mawar
di lantai kamarnya. Kupasang lilin beraroma di setiap sudut ruangan. Dalam
gelap, aku menghitung waktu untuk mengantarkannya kepadaku.
Suara kunci
diputar. Langkah kaki setengah goyah. Mantel yang tergantung asal di kapstok.
Sarung tangan yang terlempar di meja. Tanpa nyala lampu, Sinai mencopot
sepatunya. Umpatan kasar menyalak dari bibirnya saat ia menginjakkan kaki
telanjang di atas kelopak-kelopak mawar. Ia pasti menginjak duri mawar yang
kutebar di antara kelopak. Tubuh berdebam, goyah karena nyeri dan alkohol di
kepala.
Kupapah tubuh
kurusnya ke sofa. Kujilati telapak kakinya yang berdarah. Kusentuhkan ke pipiku
yang dingin. Tubuhnya menggigil. Ketimbang marah, sorot matanya justru terlihat
ngeri. Ia terdiam saat kubuka satu per satu baju yang dikenakannya. Aku
mengambil handuk dan kucelupkan ke baskom air hangat yang kuletakkan di dekat
kakinya. Kubasuh seluruh tubuhnya. Wajahnya yang pias, leher, bahu, kedua
payudaranya, perut, paha, hingga kakinya yang tak lagi berdarah.
"Kini kamu
sudah bersih, meski tak seluruhnya." Aku berbisik pelan di telinganya
sambil menghirup aroma tubuhnya. Kudesakkan kuat-kuat memasuki rongga hidungku
untuk tetap berdiam di setiap relung otakku.
Sambil
memandangnya menggigil, aku mengingatkannya kembali akan arti penting dirinya.
Bukan bagiku. Tapi untuk dunia. Ini salahku. Seharusnya sejak dulu aku
menyadarkannya. Sudah cukup waktu bermain-main bagi Sinai. Kini waktunya Sinai
untuk kembali ke jalan yang sudah disiapkan Tuhan untuknya.
"Tentunya
kamu ingat Sinai, sejak awal Tuhan telah menyucikanmu. Ada tertulis saat Tuhan
berfirman kepada Musa untuk menguduskanmu," ujarku sambil membuka Injil.
Jari-jariku gemetar, tergesa ingin segera menemukan apa yang kucari. Gerakan
jemariku terhenti di Kitab Keluaran Bab 19 Ayat 10. Sambil berlutut di sofa,
kubisikkan sejumlah ayat dalam kitab yang mengisahkan perjuangan Musa membawa
umat Israel keluar dari Mesir.
"Pergilah
kepada bangsa itu dan suruhlah mereka menguduskan diri hari ini dan besok,
sebab pada hari ketiga Tuhan akan turun di depan mata seluruh bangsa itu di
Gunung Sinai. Sebab itu haruslah engkau memasang batas bagi bangsa itu
berkeliling sambil berkata: Jagalah baik-baik, jangan kamu mendaki gunung itu
atau kena kepada kakinya, sebab siapa pun yang kena kepada gunung itu, pastilah
ia dilempari dengan batu atau dipanahi sampai mati; baik binatang baik manusia,
ia tidak akan dibiarkan hidup. Hanya apabila sangkakala berbunyi panjang,
barulah mereka boleh mendaki gunung itu." Aku mengakhiri pembacaanku,
menutup Injil dengan bunyi berdebam, kemudian mengelus rambut Sinai.
"Kau tahu
artinya itu, Sinai? Tidak sembarangan orang bisa menyentuhmu. Untuk itulah ayahmu
menamai dirimu. Dalam dirimulah seharusnya bertakhta kekudusan Tuhan."
Sinai menggigil. Ia menggigit bibir bawahnya.
Kuletakkan Injil
dengan takzim di meja dekat sofa tempat tubuh Sinai terbaring. Kulintasi
ruangan tanpa menghiraukan duri mawar yang juga menusuk telapak kakiku. Aku
menuju dapur. Segalanya harus dibersihkan. Sinai harus kembali dikuduskan.
Kutarik sebilah pisau yang tertancap di penahan kayu di atas meja dapur. Pisau
itu tampak mengkilat di genggamanku. Meski di kegelapan tanpa cahaya di kamar
ini.
Sinai tergetar di
sofa saat melihatku menghampiri dirinya sambil membawa pisau.
"Tenang
Sinai, aku tak akan membunuhmu. Aku hanya akan menguduskanmu. Menyadarkanmu ke
dirimu yang dulu. Dirimu yang sebenarnya. Kau terlupa dengan panggilan hidupmu."
Kulihat Sinai
meronta. Tubuhnya berpeluh. Terpaksa aku harus menahan tubuhnya. Kedua kakiku
menjepit pinggangnya. Kini aku setengah duduk di atas tubuhnya. Tangan kiriku
menahan dadanya yang terus bergerak. Tak ada pilihan lain. Aku harus segera
melakukan penyucian ini.
Tangan kananku
bergerak cepat, menghunjamkan pisau ke dada kirinya. Kurobek cepat dan di
sanalah terletak pencarianku. Kugerakkan pisauku memotong urat-urat tak perlu
dan kuambil jantungnya dengan tangan kiriku. Kini sepotong jantung berdenyut di
telapak kiriku. Merah kehitaman. Ini jantung Sinai. Juga jantungku. Lubang di
dada Sinai menganga. Pun dadaku.***
New York, Maret
2007
Cerpen tulisan Ria
Utari
http://bahastraindonesia33.blogspot.com/search/label/Kumpulan%20Cerpen
0 komentar: