Suatu Saat
Suatu saat kita akan saling berbincang,tentang apa saja, sampai setelah petang.
Aku akan jadi tempat jatuhnya kesadaran,
tempat paling lengang angan angan,
dan tempat bersembunyi semua kira kira akan masa depan
Suatu saat kita akan saling bersitatap,
memperdebatkan apa saja,
Tuhan barangkali?
Tuhan jelas ada, mungkin akan begitu katamu, mengutip kalimat Descartes
Tuhan berputar putar dalam arus rasionalitasmu sejak lama, lama sekali, kutipmu sekali lagi.
Lalu, bukankah itu berarti, Tuhan, hanya hidup dalam arus rasionalitas kita, pikiran kita?
Dan hidup oleh arus rasionalitas kita, pikiran kita?
Mungkin kataku mengutip kalimat Feuerbach.
Aku akan senang sekali mengulur waktu bercengkerama kita,
Sampai darah yang ricik dalam tubuhku menjadi tempat yang setia membendung lelah yang berjatuhan darimu, dan mengenal debar napas yang berisik dalam tubuhmu
Suatu saat kita akan saling mencinta,
kau akan jatuh berkali kali di tubuhku, dan aku
akan berkali kali putus asa dalam jerat rahasia luas punggungmu
kita akan terus membangun keberanian
dengan sisa sisa kesadaran
dan pikiran yang saling ingin memintal kesetiaan
Suatu saat kita akan saling membaca,
saling menumpahkan segala amarah, sampai lelah,
dan masing masing meruntuhkan gelap hati kita
Kita akan saling menangis,
dan masing masing menangis sampai murni menelanjangi mata kita
Kita akan saling tertawa,
Dan masing masing mempercayai kebahagiaan tak tertebak ujungnya
Suatu saat kita akan saling jauh,
Dan menanti dengan sepasang rindu
yang sama, dan yang buta
Rindu yang menahan asa, dan menunda luka.
Rindu yang menjarah waktu dan masa mudaku
Dan memasrahkan dengan sepasang tegar abadi,
dengan doa, seperti katamu, merupakan kewajiban rindu paling asasi
Suatu saat kita akan saling curiga,
menerka nerka rahasia, sekali lagi mengenai Tuhan
Barangkali katamu, Tuhan selalu ikut campur segala perkara sedih kita
Namun, kalau katamu begitu, bagaimana Tuhan diam saja melihat kita yang saban hari terluka menghitung ketidakmungkinan kita.
Tuhan tidak pernah membiarkan satupun dari kita sendiri, begitu mungkin katamu.
Namun, kalau begitu menurutmu, bagaimana Ia bisa membiarkan simpang diantara kita tak pernah memaut sedang hari mulai surut
Suatu saat kita akan saling mengutuk,
Dan saling mencari rumah baru untuk pulang
Namun mungkin tak ada dari kita yang lama lama tabah berpisah
Sebab kau adalah tempat penyangkalan tangis nasibku
Sebab aku adalah muara suntuk letih dan runtuk sedihmu
Suatu saat kita akan saling menghindar,
Dan ingatan akan perihal kisah kita akan pudar
Aku akan kembali menyusur sepasang mata yang jauh,
Karena kutahu, mungkin kelak huruf huruf tak lagi dapat terbaca, ingatan jadi abu abu, dan kau akan tetap mengelabuiku
Suatu saat kita akan saling bersembunyi,
Dan mungkin salah satu dari kita akan mulai bergantian mencari
Masing masing dari kita akan melebur dalam berbagai identitas,
Dan mencebur dalam berbagai pendirian
Tapi masing masing dari kita akan tahu,
dengan seluruh kesadaran dan kegilaan kau dan aku yang tak kunjung tuntas
Aku akan selalu kau temukan,
Kau akan selalu aku temukan
Suatu saat kita akan saling duduk dan berhadapan,
di meja makan.
Bersyukur atas segala hal dalam hidup kita,
Berpura pura bahagia atas segala peristiwa
Saling menyematkan aksara dan tanda baca
yang belum tentu kita ketahui semua maknanya
Namun, kita masih juga akan saling duduk dan berhadapan,
di meja makan.
Bertukar keluh kesah dari semua penghujung kisah
Suatu saat kita akan membaca tulisan ini,
Ketidakmungkinan tak akan ada selama kita percaya,
begitu bukan yang diajarkan agama agama?
Selama kau dan aku masih disisakan hujan,
dan masih dibiarkan kematian terlepas
Kau akan tetap jadi pengharapan paling tahan,
Dan aku akan tetap menjadi tempat pulang paling lapang
Suatu saat kita akan saling berbincang,
tentang apa saja, sampai setelah petang.
Pohon Belimbing
06 Oktober 2016
0 komentar: