S A I A - Djenar Maesa Ayu
Ia membawa lari ingatan saya lagi. Entah di mana kali ini Ia bersembunyi. Yang saya tahu kepiawaian Ia mencari tempat persembunyian makin hebat saja dari hari ke hari. Jadi pasti akan sulit sekali mencarinya kali ini.
Kami teman semasa kecil. Bisa dibilang, Ia adalah satu-satunya teman yang saya miliki sebagai anak yang merasa terkucil. Di sekolah, saya lebih sering menghabiskan waktu di dalam kelas mengerjakan pekerjaan rumah ketimbang bermain bola bekel, kelereng, atau ngobrol di kantin sekolah yang mungil. Bukan karena tak mau, tapi karena saya malas ditanyai berbagai macam hal yang sering membuat telinga panas bagai habis disentil.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya datang dari murid-murid, tapi juga dari para guru. Pertanyaan semisal, mengapa sekitar mata saya biru. Atau, mengapa saya berjalan pincang dengan kaki satu. Saya menjawab jika habis terbentur pintu. Atau, jatuh dari tangga karena terburu-buru. Semudah itu. Tapi tatap tak percaya yang tersirat di dalam mata merekalah yang mengganggu. Saya malu.
Saya jadi malas sekali ke sekolah. Tapi saya lebih malas lagi di rumah. Saya malas ketemu Ibu dan Ayah. Setiap bersama, selalu saja mereka saling melempar amarah. Dan kalau pertengkaran mereka tak selesai, selalu saja ada tindakan saya yang dianggap salah.
Mereka pun menghukum saya tanpa belas kasihan. Bergantian melemparkan caci makian. Bersamaan melayangkan tamparan demi tamparan. Juga tonjokan. Tak terkecuali tendangan. Mereka tak peduli walau saya sudah menangis minta ampun dan merintih kesakitan. Sepertinya, hanya saat menghukum saya itulah pendapat mereka tak lagi berseberangan. Mereka yang semula bagai anjing dan kucing, tiba-tiba berubah bak teman seperkutuan.
Dalam keadaan seperti itulah biasanya Ia muncul dan mengajak bermain petak-umpet. Membuat saya sibuk mencari hingga lupa rasa sakit di kulit yang sedang disabet. Saya berlari mencari Ia sambil berteriak, “Hei, salah saya apa?!” Sungguh, ingatan saya pun raib Ia bawa entah kemana. Saya mencari di bawah meja. Di balik jendela. Di dalam kamar mandi. Di bawah kursi. Di taman belakang. Sampai-sampai ke depan pintu gerbang. Tapi permainan petak-umpet itu pun terasa lebih sulit karena Ibu dan Ayah mengejar saya dan menyeret kembali ke dalam rumah.
“Masih berani tanya salahnya apa?! Anak ga tau diri!
Saya pun kembali dihajar dengan tenaga yang tak lemah. Mereka baru berhenti jika sadar kalau luka maupun memar di tubuh saya sudah terlihat parah.
“Kalau ditanya, bilang kejeduk pintu.” Kata Ibu sambil mengompres mata saya dengan es batu.
“Bilang kamu jatuh dari tangga karena terburu-buru.” Kata Ayah sambil mengurut pergelangan kaki saya yang membiru.
“Ingat ya, semua ini salahmu!” Kata Ibu sambil mematikan lampu.
“Awas kalau ngomong yang ga bener ke orang-orang yang ga perlu.” Kata Ayah sebelum menutup pintu.
Gulita menyergap kamar. Satu-satunya penerangan di dalam kegelapan itu hanya berasal dari mata saya yang berbinar-binar. Dengan penuh semangat, saya mencari kembali tempat persembunyian Ia yang sudah sejak tadi saya incar. Di dasar pot bunga mawar. Di bawah jok kursi bundar. Di tumpukan buku. Di gantungan baju. Di balik selimut warna merah dadu. Sampai akhirnya saya menemukan Ia meringkuk sambil memeluk erat ingatan di dalam sepatu.
Saya segera merebut ingatan dari pelukan Ia yang terlihat sudah lelah. Saya pun segera ingat jika tadi sebenarnya sudah melepaskan sepatu sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi saya memang lupa menaruhkannya ke dalam rak karena terlampau bersemangat dengan apa yang terjadi di sekolah. Lagi-lagi, saya mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran Seni, Bahasa, dan Sejarah.
Celakanya, saya berada di sebuah tempat dan bersama orang yang salah. Ketika membuka pintu, pemandangan yang pertama kali saya lihat adalah Ibu dan Ayah sedang saling melempar sumpah serapah. Tapi di dalam pertengkaran separah itu saja, mata Ibu yang lebih gesit dari pesilat tetap bisa melihat kesalahan saya dengan mudah.
“Kenapa sepatu kamu masih ada di depan pintu?!”
Saya membisu.
“Kamu lupa taruh lagi di rak sepatu?!”
Bibir saya kelu.
“Kalo ditanya, jawab!”
Mulut saya gagu.
“Kenapa ga bisa jawab?! Malu kan kamu, sadar kan kamu kalo yang kita minta itu sebenernya ga susah?! Tau ga kamu, Ibu dulu itu boro-boro punya sepatu!”
“Boro-boro sepatu, Ayah dulu perlu seragam baru aja mesti nunggu bertahun-tahun. Ga kayak kamu, apa aja yang diperlu tinggal minta!”
“Begini nih anak sekarang, Pah. Ga ngerti susahnya hidup!”
“Bener Mah, ga bisa ngehargain apa yang dipunya. Ga tau gimana susahnya orang tua nyari duit!”
Tubuh saya beku.
Entah siapa yang menempeleng wajah saya lebih dulu. Entah siapa yang menjambak rambut hingga saya terjungkal setelah itu. Saat itu terjadi, Ia sudah keburu mengajak saya bermain petak-umpet. Saya terlampau asyik bermain hingga suara teriakan Ayah dan Ibu terdengar tak lebih dari suara klakson kendaraan di jalan raya yang sedang macet. Tak terasa juga tubuh saya yang diseret, lalu digeletakkan di atas karpet.
“Cepat ambil es batu, Mah!”
“Urut pergelangan kakinya, Pah!”
“Apa salah kita jadi orang tua ya? Kok punya anak nakal begini?”
“Kalau orang ga tau kejadian sebenarnya, pasti kita yang disalahin lagi.”
Saya melihat kelebat tubuh Ia berlari sambil memeluk ingatan dan mencari tempat sembunyi. Membuat saya berharap Ibu dan Ayah lebih cepat pergi. Saya hanya ingin main lagi. Maka betapa bahagianya saya saat mendengar mereka keluar kamar dan menyalakan televisi.
Sambil mencari tempat persembunyian Ia, sayup-sayup saya dengar siaran berita yang sedang Ibu dan Ayah saksikan di televisi. Seorang anak sembilan tahun diperkosa ayahnya sendiri. Bocah laki-laki disodomi lalu dimutilasi. Pengakuan seoarang Ibu di Kantor Polisi karena telah menyiksa bayinya sampai mati karena tak tahan mendengar tangisannya sepanjang hari. Seorang kakek meniduri cucunya sendiri hingga hamil dan bunuh diri. Seorang anak perempuan dituntut hukuman mati karena terbukti secara terencana membunuh kedua orang-
tuanya saat sedang tertidur di depan televisi.
tuanya saat sedang tertidur di depan televisi.
Ia membawa lari ingatan saya lagi. Entah di mana kali ini Ia bersembunyi. Yang saya tahu kepiawaian Ia mencari tempat persembunyian makin hebat saja dari hari ke hari. Jadi pasti akan sulit sekali mencarinya kali ini.
Ia duduk dengan tenang di atas kursi pesakitan ruang pengadilan saat Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan barang bukti sebuah tongkat pemukul bisbol, seragam sekolah, dan sepasang sepatu yang berlumuran darah. Saya masih main petak-umpet di rumah.
Kuta Sea View Bali
14 Oktober 2013
14 Oktober 2013
Ilustrasi Karya: I Made Sumadiyasa
Terbit di Harian Kompas pada 15 Desember 2013
Terbit di Harian Kompas pada 15 Desember 2013
http://cerpen.print.kompas.com/2013/12/15/s-a-i-a/
0 komentar: