Kusala Literary Award: Pontifikat dalam Kesusasteraan Indonesia

09.03 Pohon Belimbing 0 Comments


Kusala Sastra Khatulistiwa yang sebelumnya –2014 bernama Khatulistiwa Literary Award adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Pemenang Kusala Literary Award didasarkan pada buku-buku puisi dan prosa terbit dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yang kemudian diseleksi secara ketat oleh para dewan juri.

Latar Belakang Kusala Literary Award

Kusala Literary Award lahir dari sebagai bentuk apresiasi kepada para penulis Indonesia. Di tahun 2000, Richard Oh melontarkan sebuah gagasan untuk memberi penghargaan kepada penulis Indonesia. Richard Oh sangat prihatin dengah kondisi kehidupan kebanyakan penulis Indonesia. Kebutuhan untuk perangkat kerja seperti komputer dan tuntutan keseharian semakin menggerus waktu dan kenyamanan para penulis untuk meneruskan eksplorasi mereka dalam sastra. Keprihatinan itulah yang kemudian membuat Richard Oh berpikir sebuah anugerah sastra dengan pundi yang memadai dapat sangat membantu meringkan beban para penulis.
Dari sini terlahirlah Khatulistiwa Literary Award, yang pada tahun 2014, diganti namanya menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa. Selama 16 tahun, Kusala Sastra Khatulistiwa berkembang terus berkat masukan-masukan dari berbagai pihak di komunitas sastra. Sejak awal pendirian, Kusala Sastra Khatulistiwa dirancang sebagai sebuah anugerah sastra dari komunitas sastra untuk para penulis. Oleh karena itu, berbagai format penyeleksian dan penentuan dikembangkan agar Kusala Sastra Khatulistiwa tetap bertahan sebagai sebuah anugerah yang mencerminkan kehendak kebanyakan orang dalam komunitas sastra.

Sistem Penjurian

Sistem Penjurian dalam Kusala Literary Award, dalam kamus saya, seperti sangat rahasia. Tidak ditemukan artikel atau jurnal yang benar benar menjelaskan bagaimana pemenang Kusala Tilerary Award ini dipilih. Menurut sebuah wawancara, proses penjurian pertama kali adalah, Richard Oh sebagai penggagas Kusala Literary Award memilih sendiri ketua juri, lalu nanti ketua juri yang akan memilih juru juri lainnya. Juri juri lainnya tidak saling mengetahui dan mereka nantinya akan memilih karya sastra yang akan dijadikan kandidat. Keputusan akhir  akan diputuskan bersama.
Mengenai bagaimana penjurian dilakukan pun sepertinya menjadi bahan perdebatan, karena tidak seperti lomba-lomba pada umumnya, pertanggung jawaban juri ats proses penjurian tidak pernah dipublikasikan. Saya sendiri menyimpulkan, bahwa sejatinya, Kusala Literary Award ini hanya bersifat selera pribadi saja.

Kusala Literary Award: Paus yang Tak Punya Kuasa

Kusala Literary Award, seberapa abstraknya dan seberapa banyak masalahnya, tetap sajapunya andil yang sangat besar dalam kesusateraan Indonesia. Selain hadiahnya yang memang lumayan, penghargaan Kusala Literary Award merupakan salah satu penghargaan sastra terbesar di Indonesia.
Namun, yang dipertanyakan adalah, jika visi dari pembentukan Kusala Literary Award adalah untuk membantu penulis agar terus mengeksplorasi sastra, mengapa justru karya satsra yang dianugerahi label terbaik ini justru tidak laku di pasar sastra?
Malam Penganugerahan Kusala Literary Award 2018 yang diselenggarakan Oktober 2018, mengumumkan pemenangnya, yakni dalam kategori puisi adalah Museum Masa Kecil karya Avianti Armand, kategori prosa adalah Kura-kura Berjanggut karya Azhari Ayyub, dan kategori karya pertama dan kedua adalah Ibu Susu karya Rio Johan.
Saat membaca judul pemenang Kusala Literary Award 2018, saya kembali mempertanyakan kekuasaan pengaruh Kusala Literary Award ini. Apakah penghargaan Kusala Literary Award  ini benar benar sebuah ajang berprestasi yang harus dibanggakan penulis, atau mungkin justru tidak. Kusala Literary Award, mungkin memang berpengaruh secara prestise, tetapi seakan tidak punya kuasa apa apa. Kusala Literary Award ini bagaikan raja terkenal yang sudah mati, membanggakan memang, tapi tidak punya kuasa dan disegani. Kenyataannya memang, semua judul karya sastra di atas tidak pernah ditemukan di rak best-seller di toko-toko buku, atau bahkan kutipannya mencuat di media sosial.
Jadi, Kusala Literary Award dalam kesusasteraan Indonesia khususnya, apakah benar benar punya kuasa dan prestise, atau justru kalah kuasa malah dengan kepausan toko buku besar dan pontifikat pontifikat kecil kesusateraan di media sosial.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Kenalan dengan saya disini!