Kusala Literary Award: Pontifikat dalam Kesusasteraan Indonesia
Kusala Sastra Khatulistiwa yang sebelumnya –2014 bernama
Khatulistiwa Literary Award adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia
kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan
mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Pemenang Kusala Literary Award didasarkan pada buku-buku
puisi dan prosa terbit dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yang kemudian
diseleksi secara ketat oleh para dewan juri.
Latar Belakang Kusala Literary Award
Kusala Literary Award lahir dari sebagai bentuk apresiasi
kepada para penulis Indonesia. Di tahun 2000, Richard Oh
melontarkan sebuah gagasan untuk memberi penghargaan kepada penulis Indonesia.
Richard Oh sangat prihatin dengah kondisi kehidupan kebanyakan penulis
Indonesia. Kebutuhan untuk perangkat kerja seperti komputer dan tuntutan
keseharian semakin menggerus waktu dan kenyamanan para penulis untuk meneruskan
eksplorasi mereka dalam sastra. Keprihatinan itulah yang kemudian membuat
Richard Oh berpikir sebuah anugerah sastra dengan pundi yang memadai dapat
sangat membantu meringkan beban para penulis.
Dari sini terlahirlah Khatulistiwa Literary Award, yang
pada tahun 2014, diganti namanya menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa. Selama 16
tahun, Kusala Sastra Khatulistiwa berkembang terus berkat masukan-masukan dari
berbagai pihak di komunitas sastra. Sejak awal pendirian, Kusala Sastra Khatulistiwa dirancang
sebagai sebuah anugerah sastra dari komunitas sastra untuk para penulis. Oleh
karena itu, berbagai format penyeleksian dan penentuan dikembangkan agar Kusala
Sastra Khatulistiwa tetap bertahan sebagai sebuah anugerah yang mencerminkan
kehendak kebanyakan orang dalam komunitas sastra.
Sistem Penjurian
Sistem Penjurian dalam Kusala Literary Award, dalam kamus
saya, seperti sangat rahasia. Tidak ditemukan artikel atau jurnal yang benar
benar menjelaskan bagaimana pemenang Kusala Tilerary Award ini dipilih. Menurut
sebuah wawancara, proses penjurian pertama kali adalah, Richard Oh sebagai
penggagas Kusala Literary Award memilih sendiri ketua juri, lalu nanti ketua
juri yang akan memilih juru juri lainnya. Juri juri lainnya tidak saling
mengetahui dan mereka nantinya akan memilih karya sastra yang akan dijadikan
kandidat. Keputusan akhir akan
diputuskan bersama.
Mengenai bagaimana penjurian dilakukan pun sepertinya
menjadi bahan perdebatan, karena tidak seperti lomba-lomba pada umumnya,
pertanggung jawaban juri ats proses penjurian tidak pernah dipublikasikan. Saya
sendiri menyimpulkan, bahwa sejatinya, Kusala Literary Award ini hanya bersifat
selera pribadi saja.
Kusala Literary Award: Paus yang Tak Punya Kuasa
Kusala Literary Award, seberapa abstraknya dan seberapa
banyak masalahnya, tetap sajapunya andil yang sangat besar dalam kesusateraan
Indonesia. Selain hadiahnya yang memang lumayan, penghargaan Kusala Literary
Award merupakan salah satu penghargaan sastra terbesar di Indonesia.
Namun, yang dipertanyakan adalah, jika visi dari
pembentukan Kusala Literary Award adalah untuk membantu penulis agar terus
mengeksplorasi sastra, mengapa justru karya satsra yang dianugerahi label
terbaik ini justru tidak laku di pasar sastra?
Malam Penganugerahan Kusala Literary Award 2018 yang
diselenggarakan Oktober 2018, mengumumkan pemenangnya, yakni dalam kategori
puisi adalah Museum Masa Kecil karya Avianti Armand, kategori prosa adalah Kura-kura
Berjanggut karya Azhari Ayyub, dan kategori karya pertama dan kedua adalah Ibu
Susu karya Rio Johan.
Saat membaca judul pemenang Kusala Literary Award 2018,
saya kembali mempertanyakan kekuasaan pengaruh Kusala Literary Award ini.
Apakah penghargaan Kusala Literary Award
ini benar benar sebuah ajang berprestasi yang harus dibanggakan penulis,
atau mungkin justru tidak. Kusala Literary Award, mungkin memang berpengaruh
secara prestise, tetapi seakan tidak punya kuasa apa apa. Kusala Literary Award
ini bagaikan raja terkenal yang sudah mati, membanggakan memang, tapi tidak punya
kuasa dan disegani. Kenyataannya memang, semua judul karya sastra di atas tidak
pernah ditemukan di rak best-seller di toko-toko buku, atau bahkan kutipannya
mencuat di media sosial.
Jadi, Kusala Literary Award dalam kesusasteraan Indonesia
khususnya, apakah benar benar punya kuasa dan prestise, atau justru kalah kuasa
malah dengan kepausan toko buku besar dan pontifikat pontifikat kecil
kesusateraan di media sosial.
0 komentar: