Ziarah Batu - Sapardi Djoko Damono
/1/
kami memutuskan untuk memulai ziarah
menjenguk perigi dekat gua
meski air di sana tak lagi
memantulkan wajah kami
kami sudah menguasai peta hari ini
tak akan tersesat ke kanan atau ke kiri
sekarat adalah bagian dari adegan yang nanti
kata-kata bijak yang mengalir di musim hujan
lewat begitu saja di sela jari-jari kami
tak sempat kaufahami setetes pun
kami saksikan sembilu mata itu
dongeng agung yang pernah kami bangun
bergoyang sebentar sebelum rubuh ke arus
yang tak baik jika kami ukur derasnya
sebuah tonggak yang kacau aksaranya
adalah satu-satunya saksi perhelatan ini
/2/
kami dulu suka menciptakan dewa-dewa
mereka-reka nama-nama yang susah dieja
dan merekamnya di jajaran batu
untuk menentramkan huru-hara
penatahnya tak kami ketahui lagi di mana
deretan sosok dewa tanpa kepala
adalah ajakan yang penggal di angan kami
pernah adakah sebenarnya rasa tenteram?
kami pernah suka merangkai perangai ksatria
agar kelak anak-anak bisa menafsirkannta
siapa telah menciptakan punakawan?
/3/
jiwa yang mencari bayang-bayangnya
menabrak cermin
terserak berkeping-keping
watakmu aksara yang tanpa petanda
gambar yang tak hendak dideretkan
dalam tontonan yang digelar hari ini
sebelum sirak-sorai usai menutup tirai
jiwa yang penggal dari bayang-bayangnya
bergetar di kelir yang tumbang
sendirian saja
ya, jiwa kami hari ini
/4/
kami telah memutuskan hubungan
dengan juru gambar itu
tak ada lagi yang percaya pada jiwa kami
gulungan kertas yang tertinggal di gudang
telah memalsukan perangai kami
meriap pasukan rayap menyobek-nyobeknya
berbaris membawanya ke lubang
yang tak mempercayai sejarah
kami telah memutuskan hubungan
dengan juru gambar itu
/5/
(mereka melecut ribuan kuda ke arah barat
jangan sampai keduluan matahari terbenam!
bentak sang senapati)
tak terdengar ringkik dalam gambar
yang dilukis oleh orang yang tak kami kenal
yang konon hanya senyampang saja
turun dari jung untuk membisikkan dongeng
kepada nelayan yang berangkat ke laut
kami tak kenal kuda
kami tak pernah mendengar lecutan
hanya teriakan yang segera dihapus ombak laut
dan orang-orang yang turun dari perahu
membayangkan suatu kerajaan ringkik kuda
di lembah-lembah perbukitan
dan orang-orang asing yang hanya tinggal sebentar
mencatatnya di kitab-kitab
sekedar bukti bahwa mereka memang pesiar
dan para pesiar yang hanya tinggal sebantar
mengawini istri dan anak-anak kami
/6/
perempuan-perempuan menanti kami
di pantai: membayangkan keringat dan mani
tapi yang berlabuh adalah para pelawat
tak pernah terekam dalam gambuh dan kinanti
kami masih mengayuh jauh di laut
semakin sayup semakin sepi
kami tak lagi yakin apakah yang berkeliaran itu
adalah anak-anak yang lahir dari benih
yang menetes bersama anyir keringat kami
betapa cantiknya mereka! kami jatuh cinta
dan menulis puisi panjang di pasir dan angkasa
/7/
kami diajari berdoa dengan irama ganjil
sambil mendirikan kuil demi kuil
agar sogra tak teram-temaram
ketika mendengar permohonan kami
kurban yang selalu memuntahkan sendawa
di dinding kuil kami semburkan gambar
yang senyampang dipamerkan pelawat
yang tidak sepenuhnya bisa kami maknai
sapuan dan garisnya, warna dan aromanya
tidak kami temukan sawah dan margasatwa
mereka menyebutkan kitab yang dibisikkan
dari angkasa purba
nun jauh di sana
/8/
jerit pedang dan denting darah dan jilat api
berloncatan dari babad
yang ditata dalam larik-larik rapi di kitab
rekaan juru tulis di kala senggang
ketika tak ada lagi sisa teriak perang dan kebodohan
di sela-sela pesta raja dan sembah punggawa
kami tidak mendengar sendawa dewa
ia tinggal di kuil yang jauh terpisah
dari menara tempat senapati menanti
kekasih dari samudra
/9/
di urat darah berseliweran ikan pari
kalau ombak menyeret perahu kami:
lukisan yang ditorehkan dengan jampi-jampi
di sekujur pinggirnya
ternyata tak mampu bernyanyi
(ah, yang menjadi saksi hanyalah lintah
ketika kami menanam benih di sawah)
bergantian kami bernyanyi
butir demi butir menetes dari atap rumah
kami tak lagi mempercayai janji pembebasan itu
/10/
dewa ternyata tak ikhlas berbagi
doa yang kami persembahkan adalah kurban
membusuk di kuil yang dibangun agak ke bukit
sesuai tata cara yang dulu menciptakan langit
sesuai tanda yang berupa gundukan bumi
jiwa kami adalah layang-layang berekor
yang talinya ditarik, disendal, dan diulur
oleh anak laki-laki yang akan kami kurbankan
/11/
beberapa gunduk pasir, ikan-ikan berkelejotan
(deretan galur, cacing yang padah di mata bajak)
amis keringat, langit yang terhapus sebagian
adalah latar yang direka dalam janturan
sekarat kami meloncat-loncat dalam sabetan
ketika kelir tumbang –
doakan agar kami tenteram
/12/
jejak yang bergeser-geser
di sela-sela kata
tidak untuk dieja, ternyata
0 komentar: