Sebuah Percakapan Ringkas
: untuk duka ibukota, ibu
1.
Pada mulanya
adalah jalan setapak dan cuaca yang selalu asing untuk ditebak.
Aku masih entah,
tersesat dalam
keasingan yang wajar di lengking dan kelopak anak anak bermata api yang selalu tahan
dalam tawa mereka yang menjulur di pematang jalan
Pada mulanya
adalah terjal air mata yang membatu, terlipat di saku baju.
Aku masih entah,
bersembunyi dalam
kesepian yang riuh membentur benturkan
kesedihan di ujung bibir daun gandaria yang enggan jatuh, meminta penyangkalan
Kita percakapkan
juga daun yang jatuh itu sebab bukan rahasia jika bahasa dan cerita-cerita sudah
kehilangan kata pembuka.
Kita perihalkan
perkara besar di televisi dengan banyak tanda baca dan aksara yang berhamburan,
meminta kecemasan
yang menyesakkan udara di sekeliling kita
Sementara suara
kita samar oleh suara kaleng peminta minta yang dahulu selalu kita jejali doa
dengan begitu setia
2.
Kunamai doa yang
menggantung lapar di pertigaan Katedral sebagai kecemasan yang taat, meski kau
selalu bilang, kalau bahasa yang mereka aminkan di ujungnya adalah lampu taman,
atau melodi-melodi tehyan.
Aku tak pernah
benar-benar yakin,
apa kesedihan
yang terjebak dalam pujian mereka hangat
atau gigil dalam
kesendirian yang selalu masih disisakan hujan
Kunamai burung
yang menggapai ranting pohon belimbing itu kata sebab tak ada yang lebih kuat
dari kata yang penuh siasat.
Kita biarkan
sayapnya basah sebab gerimis yang jatuh, air mata yang jatuh tak terjangkau nyanyian
duka
Terbanglah sayang, biar air mata kering
terbawa cuaca
Sedang lamat
lamat terdengar, lantunan sesuatu menjatuhkan lamunanmu
3.
Laju laju perahu laju
Jiwa manis indung di sayang
Kita masih saja
bersikeras bertahan dalam percakapan yang menanggung banyak lelah yang
berjatuhan.
Kau masih saja
menjahit kesepian di punggungku dengan penuh keberanian yang berpura pura
lapang, berpura pura kesedihan tak akan menghabisi waktu dan sisa sisa
kesadaranku yang melebur huruf huruf tak terbaca,
mengelabui segala
mimpi mimpi bahagia,
mengelabui segala
perkara air mata yang saban kali menerka kepulangan yang bahagia
Laju laju perahu laju
Jiwa manis indung di sayang
0 komentar: