September
Rintik hujan semakin berisik ketika perempuan
itu mengaduk-aduk kopinya yang semakin dingin. Perempuan itu jelas putus asa.
Ia teringat, penulis kesukaannya pernah berkata bahwa penulis bisa menciptakan
apa saja. Terbukti, penulis kesukaannya sangat ingin punya seorang kakak laki
laki, dirangkainya sebentuk manusia dengan aksara aksara yang tepat dan betul
saja, seorang kakak laki laki yang baik hadir begitu saja, tercipta. Penulis
adalah pengerajin firman, begitu pikir perempuan itu. Toh memang bisa saja
begitu. Di alkitab pun tertulis, Allah menciptakan segalanya dengan firman,
dengan kata kata. Maka, semuanya jadi.
Perempuan itu ingin mencobanya. Ia
rangkai satu demi satu bunyi bahasa, bahasa apa saja, ia tak peduli. Diambilnya
setetes kopi dari cangkirnya yang putih untuk warna mata, sedangkan warna-warna
bagian yang lain, ia serahkan kepada cahaya. Ia ingin menciptakan seorang laki
laki, seorang kekasih. Dan jadilah, laki laki yang sekarang duduk di
hadapannya.
Perempuan itu terkejut. Seisi kafe
apalagi. Namun, mereka diam diam memperhatikan itu. Mereka juga sangat
terkejut, namun gempar bukanlah budaya kafe mahal. Mereka kembali pura pura
tidak peduli, seperti yang selalu mereka lakukan. Suara yang terdengar adalah
bisik samar dan denting sendok yang beradu dengan pinggir cangkir yang panas.
Laki laki itu ia namai, September. Sebab
ia tercipta di bulan September. Sangat tidak kreatif, memang. Sesuai juga
dengan kemarau panjang yang terbias dari warna kopi di matanya.
September dengan cepat belajar bicara,
tentu saja, memang ia lahir dari kata kata dan hidup lewat suara. Ditanyainya
nama perempuan penciptanya.
“Namamu siapa?”
“Bulan.”
Mereka lalui malam itu bersama. Tak
lupa, perempuan itu ciptakan juga malam yang lebih panjang agar mereka tetap
dapat berbincang di bawah rembulan dan bintang bintang, kali ini, cerita yang
ia buat harus romantis. Namun, ia tak merangkaikan rumusan rumusan manusia pada
September. Biar tokoh rekaan nyatanya itu yang menentukan alur dan tanda baca
dalam ceritanya. Ia lepaskan September seumpama burung gereja yang terbang tak
ditentukan arah. Ia mau September menjadi manusia yang manusia.
September. Laki laki itu hanya tokoh
rekaan. Bagaimana tokoh rekaan bisa menjadi nyata dan begitu ada? Perempuan itu
masih takjub sendiri dengan apa yang telah dilakukannya. Memang, sejak kecil ia
percaya dengan keajaiban, ia juga percaya dengan kata kata. Tapi tetap saja,
percaya memang bukan perkara mudah.
Perempuan itu tak bisa menahan malam
lebih lama. Matahari datang dengan anggun, seperti biasanya. Dan jelas,
Matahari mengenal September. Ia mengenal cahaya berkilau yang terbias di kulit,
dan ujung bulu mata laki laki itu. Matahari mengenal hangat angin yang
berhembus ke dalam kulit laki laki itu. Matahari mengenalnya.
Bulan. Perempuan itu. Memang tak tahu
banyak tentang hangat angin, tak tahu banyak tentang cahaya, dan sejuk pagi.
Namun yang ia tahu adalah, ia jatuh cinta. Ia jatuh cinta.
Jangan dipikir perempuan itu bisa dengan
mudahnya, mengganti cerita. Ia sudah mulai kehilangan kata kata. Jelas, pagi
bukan bagiannya. Ingin sekali ia ganti alur cerita ini agar lebih romantis,
bisa saja. Namun cintanya pada September tak punya lagi kosakata. Ia tak ingin
cintanya melebur kedalam pengertian kamus kamus bahasa. Ia bahkan tak lagi bisa
bersuara.
September dan Matahari. Mereka adalah
sepasang yang selalu dinanti burung-burung dan layang-layang yang jatuh hati.
Mereka adalah bahagia tersendiri bagi mereka yang jatuh hati. Kesepian dan
kesedihan bukanlah perkara pagi hari.
Ingin sekali perempuan itu memasrahkan
September, membiarkannya jatuh entah kemana, ia tak lagi mau peduli. Namun ia
tak bisa memberi cerita itu titik atau
membiarkannya begitu saja. Ia harus bertanggung jawab. Ini sudah bagiannya. Ia
harus menyelesaikan ceritanya.
Ia tak ingin September terluka. Ia
rumuskan takdir yang hinggap di ujung jari-jari mereka sebagai cinta. Entah
pakai kosa kata mana, biar saja, biar cerita itu cepat selesai, sebelum malam
tiba. Ia rangkaikan bahagia yang mulai banyak ia lupa maknanya. Tentu saja, ia
bubuhkan sedikit konflik agar cerita itu dapat hidup selamanya.
Aku
pun berjingkat ke beranda
mengambil
parang
dan
menggergaji kenangan
jadi
serbuk jadi duri
lalu
kularung dalam selokan
di
samping taman tak bernama itu – Helvy Tiana Rosa
________________________________________
September tahu perempuan penciptanya itu
mencintainya. Jelas ia tahu. Ia mengenal baik jarak antara kata dan bait yang
selalu pandai menyembunyikan segalanya. Ia mengenal baik perasaan yang hinggap
di ujung pena sebelum berubah menjadi sejumlah tanda baca. September tahu. Tapi
ia tak tahu, apa yang harus dilakukannya sementara takdir dan penciptanya pun
sudah memasrahkannya jatuh. Bagaimana bisa penciptanya tak mengenal dirinya
sejak ia pertama kali diciptakan. Bagaimana ia bisa berani menuliskan
perasaannya tanpa bertanya. Apa ia sudah mulai lupa menggunakan tanda tanya?
Ia juga sangat kesal. Bagaimana bisa
perempuan itu memberinya nama sebelum bertanya? Jika boleh memilih, ia lebih
suka dinamai Juni. Sebab, malam selalu terlihat lebih terang pada bulan Juni.
Ia jatuh cinta pada malam. Malam yang romantis. Malam yang manis.
Namun tak apa, jika September bisa
membuatnya bahagia. Laki laki itu bahagia ketika namanya disebut, ketika ia
memanggil-manggil nama September. September baginya adalah makna, ketika
perempuan itu yang menyebutnya. Bagaimana sebuah suara sanggup memberikan
banyak makna?
Namanya, Bulan. Cantik sekali bukan?
Bulan yang teduh. Bulan yang mengingatkanmu akan kesedihan dan kesepian, yang
mengingatkanmu akan manusia yang berulang kali jatuh dan terluka.
Mengingatkanmu akan doa doa sebelum tidur yang meminta, yang berurai air mata.
Malam diciptakan sangat panjang malam
itu.Kami berbincang tentang apa saja. Tentang debur air laut yang akan mengingatkanmu
akan bau tubuh seseorang yang dicinta, tentang suara angin yang mendesir
memeluk tubuh yang menggigil, tentang rindu yang... teramat.
Perempuan itu memang tak merangkaikan
rumusan apa saja. Ia ciptakan September penuh dengan sangat manusia. Namun
tanpa ia sadari, ada satu hal yang telah ia rekatkan dalam darah yang mengalir
ricik dalam tubuh laki laki rekaannya saat ini. Dirinya.
September pikir akan ada banyak waktu
lagi, sampai pagi tiba. Tanpa suara,
tanpa bunyi apa apa. Matahari sudah menyinari mereka berdua. Bulan masih tampak
cantik. Tentu saja. Ia terpesona jelas. Jadi begitu bentuk Matahari. Tanpa
berkenalan pun ia tahu tentang Matahari. Matahari sudah menjadi bagian dari nama yang
diwujudkan untuknya. Entah mengapa.
“September
dan Matahari. Mereka adalah sepasang yang selalu dinanti burung-burung dan
layang-layang yang jatuh hati. Mereka adalah bahagia tersendiri bagi mereka
yang jatuh hati. Kesepian dan kesedihan bukanlah perkara pagi hari.”
Bagaimana perempuan itu bisa menciptakan
terlalu banyak? Bagaimana ia bisa berbuat terlalu banyak? Bukankah ia
menciptakan aku dengan bebas? Lalu mengapa dengan mudahnya, ia menciptakan takdir
cinta yang tidak kuingini maksudnya.
September dan Bulan. Bukankah lebih sesuai? Mereka adalah sepasang yang selalu
dinanti bintang yang memutuskan jatuh dengan indah. Sepasang yang selalu
dinanti penari penari cahaya dan sepasang yang dinanti ombak yang tak ingin
kembali. Mereka adalah bahagia tersendiri bagi mereka yang sakit hati.
Baiklah, jika cinta yang perempuan
penciptanya itu ingini hadir dalam ceritanya seperti ini, biarlah demikian.
Biarlah cintanya tersembunyi dibalik spasi yang hadir ditengah tengah cerita.
Biarlah cinta September menjadi rahasia.
Saban
hujan aku yang menggigil
mendengar
kau memanggil-manggil
dari
dalam selokan – Helvy Tiana Rosa
________________________________________
Rintik hujan semakin berisik ketika
perempuan itu mengaduk-aduk kopinya yang semakin dingin. Laki laki tokoh rekaannya,
September menghilang begitu saja setelah ia tuliskan titik di akhir cerita. Ia
mengakhiri cerita yang ia buat sendiri. September sudah bebas, pikirnya. Ia
bisa memilih terus menghidupi hidupnya sendiri atau tidak. Perempuan itu sudah
tak mampu melanjutkan apa apa. Ia memilih September bebas dengan seluruh
ketidak berdayaannya.
Rintik hujan semakin berisik ketika
perempuan itu melihat seseorang laki laki datang membawa tumpukan kertaas
kosong dan pena. Itu September. Minta dilanjutkan ceritanya sekali lagi.
0 komentar: