Feminis Berkebutuhan
Feminis
Berkebutuhan
Angel
Jessica
1.
Ladies First, dong!
Sekitar beberapa tahun yang lalu saat
saya sedang sangat bersemangatnya mencari tahu lebih dalam mengenai apa itu
feminisme, dan perannya dalam kehidupan, saya menemukan seseorang laki-laki,
yang cerdas, yang sexist, tentu saja,
menyindir salah satu teman feminis yang saya jumpai di internet. Laki-laki itu
berkata, perempuan jika merasa direndahkan baru menyinggung nyinggung soal
feminisme, tapi kalau sudah urusan hak dan kenyamanan, sepertinya perempuan
justru ‘memanfaatkan’ situasi label ‘lemah’ yang melekat pada diri mereka.
Namun, menurut saya, perkataan laki laki itu ada benarnya. Sering sekali saya
melihat perempuan memanfaatkan situasi label ‘lemah’ yang melekat pada diri
perempuan dengan ocehan ocehan ladies
first.Mulai dari mengantri di supermarket, mengantri tiket kereta, sampai waiting list di restoran.
Saya sempat terkejut juga, ketika
rupanya saya duduk bersebelahan dengan salah seorang yang saya jumpai mengoceh
tentang ladies first di restoran itu ternyata mengaku sebagai seorang feminis.
Kebetulan saja, saya mendengar percakapan perempuan itu dengan teman temannya.
Dilihat dari penampilannya, jelas siapapun akan percaya bahwa ia seorang
feminis. Penampilannya anggun, rambutnya dipotong mirip laki-laki, dan terlihat
cerdas. Jadi saya mulai menimbang nimbang lagi, apa pengertian feminisme saya
yang salah, atau presepsi masyarakat, salah satunya si mbak ‘feminis’ tadi yang salah?
Banyak sekali perempuan yang
mengartikan posisi ladies first ini,
sebagai hal yang menyenangkan. Banyak yang beranggapan bahwa laki-laki yang
memanjakan kita dengan ‘ladies first’nya
adalah seorang gentleman. Didahulukan
saat berjalan, dibukakan pintu, dan sebagainya. Namun bukankah budaya ladies first itu malah menimbulkan
sebuah label yang mengikat, karakter yang melekat bahwa perempuan itu butuh
diperlakukan ‘istimewa’.
Sekarang saya mengajak anda melihat
lebih jauh lagi. Apakah budaya ladies first,
dan keistimewaan yang dilekatkan pada wajah perempuan itu sejatinya benar benar
mengistimewakan perempuan? Atau melekatkan lebih tebal lagi label ‘lemah’ di
wajah perempuan?
2.
Istimewa atau Beda?
Menjadi feminis, adalah tentang
kesetaraan. Namun, ditengah tengah masyarakat patriarki yang kita jalani
seperti ini. Apakah feminis dapat begitu saja menjalankan pemikiran dan tujuan
tujuannya. Apakah feminis justru pada akhirnya tenggelam dalam kenyamanan menjadi
manusia kelas dua yang di’istimewakan’?
Menjadi feminis di tengah
masyarakat patriarki memang sangat sulit. Masyarakat dipaksa menerima perbedaan
yang nyata sengaja diciptakan demi tetap bertahannya situasi patriarki. Masyarakat
dibentuk sedemikian rupa, mulai dari hal-hal kecil sampai ke hal-hal besar,
tentang perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Masyarakat dipaksa menerima
dan menjalankan begitu saja situasi patriarki dengan segala penindasan dan
diskriminasi yang ada. Hal-hal ini, tentu saja, bukan hanya dirasakan oleh
perempuan tetapi juga laki-laki. Mulai dari kecil, laki laki diajarkan memaknai
semua hal atas dasar pemikiran yang sexist, mereka diajar untuk mulai
men-gender-kan segala sesuatu, seperti warna pink itu warna perempuan, biru itu laki-laki. Boneka itu perempuan,
Robot itu laki laki. Menangis itu perempuan, meninju itu laki-laki. Sejak dini,
manusia yang hidup di tengah tengah situasi patriarki diajarkan untuk tidak
bebas berpikir mengenai apa pun, semuanya terkotak kotak atas gender. Mereka
seperti dipisahkan, dan dibelah menjadi dua golongan manusia yang berbeda. Dan
pada akhirnya, manusia menjadi terbiasa untuk berbeda, manusia menjadi terbiasa
mendominasi, dan didominasi hanya dengan atas pemikiran gender. Dan kita tahu,
sejak dini itu siapa yang akhirnya, diharuskan memerankan peran didominasi itu.
Betul, perempuan.
Bukan hanya itu, mulai di sekolah,
perbedaan menjadi sangat signifikan, seperti pembagian tugas piket, harus
dibedakan hal hal yang dianggap ‘tugas perempuan’ seperti menyapu, mengepel,
dan merangkai bunga untuk meja kelas dan hal hal yang dianggap ‘tugas laki laki’.
Perempuan dididik kembali untuk melihat perbedaan mana yang seharusnya
dilakukan perempuan dan mana yang dilakukan laki-laki, dan melihat itu sebagai
sebuah tanggung jawab yang dipegang perempuan. Sekali lagi, pemeranan yang
dilakukan situasi patriarki, menunjukkan dominasinya.
Lalu, dewasa, masyarakat yang sudah
melekat dengan situasi patriarki semakin menjadi-jadi. Situasi perempuan yang
dibentuk, pada akhirnya, akan disebut dengan kodrat. Kodrat perempuan memang
sudah seharusnya ini, itu, ini lagi, itu lagi. Perempuan menjadi manusia
bentukkan. Perempuan menjadi boneka, sekali lagi, mainan mereka sendiri.
Perempuan dimanjakan dengan perbedaan, yang dimanfaatkan pihak-pihak kapital
dengan sangat cantik. Seperti barang barang khusus perempuan, yang berwarna
pink, yang lainnya untuk laki laki.Perempuan dimanjakan dengan fasilitas
fasilitas perempuan, seperti kereta khusus wanita, antrian khusus wanita,
parkir khusus wanita. Pengkhususan dan pembedaan saat ini sudah mempunyai
konotasi yang berbeda, hanya dengan pembedaan kata-kata, perempuan seakan
dimanjakan dengannya. Padahal bukankah pengkhususan atau pembedaan tersebut
hanya semakin membuktikan kekuasaan patriarki atas kita, atas perempuan?
3.
Jadi Feminis?
Menjadi feminis, adalah
tentang kesetaraan. Kesetaraan. Feminis bukan hanya mencari kekuatan bagi
perempuan, feminis bukan ada untuk menjadikan perempuan superior atau unggul,
feminis ada bukan untuk keistimewaan. Feminis ada untuk kesetaraan. Feminisme
bertujuan untuk menciptakan sebuah dunia di mana tida ada dominasi, di mana
orang orang di hargai karena siapa mereka secara personal. Menjadi feminis,
adalah menentang segala bentuk pengistimewaan.
Menjadi feminis, adalah sebuah
gerakan melawan arus. Gerakan yang melawan. Melawan dan melepas label yang
selama ini melekat di wajah perempuan. Namun walaupun begitu, feminis buka
tentang pergerakan revolusioner yang keras, feminis bukan feminazi*. Banyak hal
hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk menjadi seorang feminis. Hal yang
pertama dilakukan adalah mengubah mindset.
Berhenti menggunakan alasan dan ocehan yang membuat perempuan semakin tampak ‘lemah’
dan ‘tidak berdaya’, berhentilah menggunakan alasan alasan tersebut demi
mendapatkan peng’istimewa’an yang sangat tidak istimewa.
0 komentar: