Perjalanan I
Yang terlihat olehku saat itu adalah butir butir air yang terus menerus tergelincir angin dan waktu yang saling berebut untuk maju terburu buru, dan jalanan basah yang berkilau merah karena lampu berbagai kendaraan yang mencoba seperti angin dan waktu itu, yang terus berebut untuk maju terburu buru.
Dan saat itu, hanya ada aku, kau, perempuan tulus sahabatku yang juga saudaramu itu, dan supir yang terdiam memaku kepada jalan yang kutahu sangat cepat berujung, yang tak tahu, kalau tiap beberapa mil aku mengucapkan doa agar jalan kami tak berujung, seperti jalan yang ditapaki air, jalan yang dilalui angin, dan jalan sakralnya waktu.
Saat itu, kau juga diam, memeluk tas yang selalu tampak berat, yang tampak kuat, yang selalu menjadi pertanyaanku tiap malam dan pernah juga menjadi bagian mimpiku sekali atau dua kali. Dan saat itu, aku ingin memelukmu. Kau pasti takkan pernah tahu itu.
Kaca yang membatasi kami dengan hujan itu selalu dingin, dan aku menyandarkan kepalaku disana.
Dari pantulan kaca, aku melihat bahwa kami juga dibatasi, seperti kami yang dibatasi dengan hujan.
Seperti kami dibatasi dengan hujan.
Seperti kau dibatasi denganku.
Kau yang tak ingin kehujanan dan kedinginan, dan aku yang tak ingin kau kehujanan dan kedinginan.
Jalan semakin gelap dan tak berujung, kelihatannya.
Namun, aku mengenal jalan ini, jalan basah berbatu yang mengingatkanku tentang hatiku sendiri,
Ujung perjalanan ini sudah mendekati akhir.
Aku memulai pembicaraan dengan perempuan tulus sahabatku yang juga saudaramu, sebut saja gadis itu Kayu Manis, dan dalam perjalanan ini juga, kau kusebut Malam, karena dalam hidupku hanya malam yang bisa membuatku begitu bahagia dan begitu terluka pada saat bersamaan, memberikanku kejujuran paling pahit dan kebohongan paling manis.
Dan kau, Malam, tertawa menikmati percakapan itu.
Itu percakapan yang singkat.
Jalan pun makin mendekati ujung, dan hujan sudah berhenti.Dan aku sadar, sejak tadi kau yang memberikan arah menuju rumahku. Apa batas itu mau memberikan celah yang bisa kupecah?
Kami berhenti, hujan sudah berhenti.
Aku turun dan berlari kecil menuju rumah. Sampai aku sadar, aku tak lagi bisa merasakan apa apa.
Malam seharusnya dingin, gelap. Sampai, tetes tetes hujan meresap dalam tubuhku.
Kutahu, perjalanan itu sepertinya belum mencapai ujung.
Karena jiwaku tertinggal, duduk, menyandarkan kepala ke kaca yang dingin itu.
Menatap bayang bayang dan mengira ngira,
Apa batas itu mau memberikan celah yang bisa dipecah?
Angel Jessica
21 Juni 2015
0 komentar: