Sefer Tehilim - Adimas Immanuel
Seluruh rasa bersalahku bukan milikmu lagi sejak parit
di kota ini bertalu-talu menjerit, terimpit sajak yang sakit.
Sejak
sel-sel darahku membeku seperti permata yaspis, doa dalam tanganku mengeras
jadi bentangan gunung batu.
Kelemahanku luwung berlindung dalam bening getah kesumat,
siap mengesumba kota dengan amarah imamat.
Kota ini tidak berlumut, tidak lisut akibat mulut menghasut.
Malam kota ini tak tunduk mengadu kepada bayang matahari di gigir tengkukmu.
Waktu menghapusku, sekam yang ditiup angin. Waktu memupusku, gunung terpasung
laut dingin.
Seluruh rasa bersalahku menolak membungkuk-bungkuk selain
kepada langit yang kelak memenjarakannya. Sejak pengajaran jadi
pengejaran-pengejaran melelahkan dan kekosongan seolah tak pernah landai, tak pernah
membuat ketidaktahuanku sampai.
Aku ingin mencintaimu tanpa perasaan waswas.
Kecemasan hanya boleh memberi lekuk pada tubuh malam.
Sedangkan aku cukup jadi pelintasan yang lapang.
Aku ingin mencintaimu dengan perasaan mawas para kerub yang
berjaga di jalan pohon kehidupan.
Masihkah kau terima sungkur di antara lalai dengkurku, jika
kenangan tak seharum nilam dan ranjang trauma tak berlapik tilam? Aku ingin
memujamu dengan seribu dendam yang menyatu di tembikar tukang periuk. Aku ingin
mencintaimu dengan sisa-sisa demam yang meleleh dalam nganga belanga murkamu,
meski nantinya tertimbung dosa, dibusukkan rimbun suara, lupa sejuk embun di
liang api selamanya.
0 komentar: