Tiga Puisi Pertama Sejak di Rantau
1/ Di Kedai Kopi Anomali
Di kota ini setiap orang tak membutuhkan wisata sebab wisata terbaik di kota ini menjelajahi setiap orang. Katamu, kau menyukai tempat ini meski hanya itu saja pemandangannya. Cara pandang adalah gaun yang selalu baru meski tubuhmu itu melulu.
Kita memasuki ruangan yang dihujani aroma kopi. Tiba-tiba seluruh badanku basah. Ingatan seperti payung yang senantiasa tertutup jika teringat akan tiga hal: percakapan, rasa dataran tinggi, dan kesendirian. Ah, bagaimana mungkin ada percakapan dan ada kesendirian? Tanyamu. Mungkin, lihat saja orang kota, jawabku.
Dalam tubuh yang hiruk-pikuk, Tuhan hidup menggelandang. Tubuh yang baik harusnya punya alarm kapan harus telanjang dari bising kapan harus berpakaian sunyi. Kapan harus ditelanjangi waktu, kapan harus menelanjangi kenangan. Tetapi untuk tahu kita telanjang kita harus di tempat yang penuh cahaya. Maka aku bilang tak menyukai tempat remang karena ia menyamarkan kesadaranku: apakah aku telanjang atau berpakaian?
Tiba-tiba kau minta pulang. Alarm lain membangunkanmu. Aku menurutimu, sebab orang tua pun akan merasa seperti telanjang jika kau membangkang. Kau tak akan jadi gaun yang indah bagi mereka.
2/ Di Sebuah Café yang Kursinya Kau Sukai
Aku memasuki kafe dengan basah kuyup. Kota ini senantiasa menghujaniku dengan asap, keringat, dan kebisingan.Ya, kota ini begitu mudah basah oleh hal-hal kering, juga begitu mudah kering oleh hal-hal basah. banyak tangisan mudah kering oleh langkah kalender dan tenggat pekerjaan, dan sebaliknya.
Ah, kota ini memang berkebalikan. Seperti jungkat-jungkit dengan pengungkit yang lepas engselnya. Semua serba terbalik dan terlempar dari titik tumpunya. Akar pohon tergantung di langit dan awan-awan mengalir dari selokan ke sungai. Tiba-tiba kota yang serba berkebalikan tersedot kembali ke porosnya setelah kau memecah lamunanku: “aku orangnya mudah bosan. Mari pindah.” Aku mengikutimu. Pindah adalah cara berdiam yang tak efektif, batinku.
3/ Di Goethe
Dengan terbata-bata kau mengucap namaku. Dengan bata-kata kubangun kesadaran yang semula hanya punya pondasi dari alam mimpi: aku menemukanmu, meski tak yakin bisa sembuh dari semu.
Aku berencana membangun rumah yang bertingkat satu, sebab aku tak menyukai rumah yang terlalu besar. Rumah yang besar tak bisa mengekalkan kehangatan. Banyak celah ruangan yang dingin dan membuat penghuninya menggigil seperti sepasang kekasih yang saling menjaketkan tubuh dari terjangan ketidakpastian dengan sebuah kata mungkin.
Tapi di ruangan ini aku mendadak ingin membangun rumah yang tinggi bagai menara untuk menampung banyak nada-nada. Nada yang memayungi tingkap-tingkap bahasa di mana aku dan kau duduk di balkon utamanya sambil memandangi orang yang lalu-lalang, tak lama kita tersenyum tipis karena memikirkan hal yang sama:
Di kota ini setiap orang tak membutuhkan wisata sebab wisata terbaik di kota ini menjelajahi setiap orang .
Tiba-tiba aku ingin membentangkan sebuah peta dan mencari tahu tujuan wisata manalagi yang bisa kujelajahi hanya dengan bercakap-cakap denganmu.
0 komentar: