Juni, 2023
Jamrud bilang ada pelangi di matamu
Tapi kok yang kulihat badai yang menyergap tanpa aba-aba
Jamrud boleh gugup
Hanya aku yang boleh dikoyak-koyak badai itu
Jamrud bilang ada pelangi di matamu
Tapi kok yang kulihat badai yang menyergap tanpa aba-aba
Jamrud boleh gugup
Hanya aku yang boleh dikoyak-koyak badai itu
Seluruh rasa bersalahku bukan milikmu lagi sejak parit
di kota ini bertalu-talu menjerit, terimpit sajak yang sakit.
Sejak
sel-sel darahku membeku seperti permata yaspis, doa dalam tanganku mengeras
jadi bentangan gunung batu.
Kelemahanku luwung berlindung dalam bening getah kesumat,
siap mengesumba kota dengan amarah imamat.
Kota ini tidak berlumut, tidak lisut akibat mulut menghasut.
Malam kota ini tak tunduk mengadu kepada bayang matahari di gigir tengkukmu.
Waktu menghapusku, sekam yang ditiup angin. Waktu memupusku, gunung terpasung
laut dingin.
Seluruh rasa bersalahku menolak membungkuk-bungkuk selain
kepada langit yang kelak memenjarakannya. Sejak pengajaran jadi
pengejaran-pengejaran melelahkan dan kekosongan seolah tak pernah landai, tak pernah
membuat ketidaktahuanku sampai.
Aku ingin mencintaimu tanpa perasaan waswas.
Kecemasan hanya boleh memberi lekuk pada tubuh malam.
Sedangkan aku cukup jadi pelintasan yang lapang.
Aku ingin mencintaimu dengan perasaan mawas para kerub yang
berjaga di jalan pohon kehidupan.
Masihkah kau terima sungkur di antara lalai dengkurku, jika
kenangan tak seharum nilam dan ranjang trauma tak berlapik tilam? Aku ingin
memujamu dengan seribu dendam yang menyatu di tembikar tukang periuk. Aku ingin
mencintaimu dengan sisa-sisa demam yang meleleh dalam nganga belanga murkamu,
meski nantinya tertimbung dosa, dibusukkan rimbun suara, lupa sejuk embun di
liang api selamanya.
Iman adalah tentang bertumbuh,
mekar,
layu,
mati,
bertunas,
tumbuh, mekar, layu, mati,
bertunas,
tumbuh, mekar, layu, mati,
bertunas,
dan begitu saja terus
sampai kelopak bunga dari dirimu
berhamburan dan,
dunia yang kita anggap menyebalkan ini
sedikit lebih membahagiakan.
aku ingin jatuh cinta lagi. sekali lagi.
aku ingin puisi puisiku berhenti menyembunyikan namamu
(karena cinta kuat seperti maut?)
karena cinta kuat seperti maut.
(maut pun takut dan enggan membawa bangkaiku yang sudah mati berkali kali)
(karena cinta kuat?)
seperti maut.. seperti maut..
Aku percaya sekali doaku didengar olehNya, begitu pula dengan kutuk dan ucapan tidak sengaja lainnya karena entah mengapa meskipun kata kataku habis untuk puisi tiga tahun terakhir, kata yang mengeja namamu tetap berbaris di lidah, gigi gigi dan tenggorokanku yang sakit.
Aku berdoa semoga kau dijauhkan dari air mata karena cinta yang kau berikan kepadanya harus berhenti besok. Aku berdoa semoga darah yang keluar dari matamu, semoga sakit hatimu sampai ke kepala, semoga cinta yang menipu engkau terus bertahan, membakar dirimu sampai mati.
Aku berdoa semoga engkau sanggup berdiri lagi dan mencintai orang lain, sebesar engkau mencintai cinta yang harus kau akhiri besok. Mencintalah engkau sampai mati, mencintalah sendirian karena engkau tidak layak dicintai karena tafsir dan perangaimu terhadap cinta.
Aku berdoa supaya aku memaafkan dirimu dan engkau pula memaafkan aku karena doaku hari ini. Semoga Tuhan memaafkan engkau. Aku berdoa hanya supaya dunia, bumi, pohon yang kusandingkan, kujadikan nama dan doaku tidak pernah memaafkanmu. Dibencilah engkau oleh air, tanah, bumi, udara, daun dan angin di dunia ini karena engkau tidak sanggup memahami yang sungguh sungguh ada dan tidak ada.
Aku berdoa perasaanku ini berhenti besok sebagaimana engkau juga harus berhenti. Jalanku masih panjang sementara nafasku berhenti, tiga tahun yang lalu di kamar, menangis karena tanggungan puisi. Karena engkau begitu membenci puisiku
Aku berdoa karena tulisan ini bukan sebuah puisi. Puisi menanggung amarahmu. Dan doa ini menanggung amarahku.
but it’s much better to be killed by a lover. - Charles Bukowski